BAB 12 ☎

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Diandra melangkah gontai meninggalkan "tempat persembunyian" di belakang warung fotokopi kantin. Jethro sudah pergi lima menit lalu, meninggalkan Diandra dengan tugas besar dan berjuta tanda tanya yang tak sempat ia berikan. Diandra menghela napas. Sekali lagi ia melihat amplop cokelat di tangan kanannya. Sedari tadi tangannya gemetar, masih memikirkan bagaimana nasibnya semester depan kalau tugas ini justru akan menjatuhkan citranya.

Amplop cokelat ini sudah Diandra tolak, namun Jethro bilang ia bukan sedang memberikan pilihan. Diandra menghela napas. Ia memutuskan untuk melewati kelas siang dan menitip presensi pada Rachel. Langkahnya terus membawa Diandra semakin jauh dari gedung fakultasnya, dan berhenti pada gedung R, di mana ada banyak ruangan bak indekos berupa ruangan-ruangan kesekretariatan UKM.

Diandra memejamkan mata, meyakinkan diri untuk meneruskan langkahnya menuju lantai tiga gedung, menyusuri koridor hingga ruangan ketiga dari tangga.

Layang Biwara.

Ruangan yang dituju sudah berada di depan mata. Dari rak sepatu di depan ruangan, Diandra sudah bisa tahu siapa yang sedang berjaga di dalam. Alvi, kakak tingkat dua tahun di atasnya yang menjabat sebagai ketua tahun ini. Diandra membuka pintu ruangan, lantas bersitatap dengan satu-satunya orang di dalam ruangan. "Kak Alvi, sendirian?"

Laki-laki yang tengah fokus pada laptopnya itu mengedarkan pandangan sejenak, lalu menggeleng. "Nggak, Di. Sama Belinda, nih. Kenapa?"

Belinda itu nama laptop kesayangannya. Seisi gedung UKM sepertinya sudah tahu.

Menanggapi jawaban tersebut, Diandra hanya mengangguk, lalu mendekat ke meja Alvi. Ia meletakkan amplop cokelat yang Jethro berikan padanya. "Kak, dikasih ini sama Kak Jethro. Minta dimuat ke koran daring mingguan sore ini, Instagram, sama dicetak untuk pasang di mading tiap fakultas. Gue udah bilang nggak memungkinkan untuk masuk sore ini, tapi, Kak Jethro bilang, kalau sore ini nggak bisa, kita yang harus telat terbit jadi besok pagi."

"Artikel atau pengumuman, Di? Se-urgent itu, ya?" tanya Alvi sambil meraih amplop cokelat tersebut, lalu pelan-pelan membukanya. Laki-laki itu membacanya dengan saksama, dengan mata sesekali memicing dan alis bertaut heran. "Di—"

"Kak, sumpah, gue nggak tau. Gue merasa kayak dijebak. Tadi, dia cuma minta kesaksian gue soal dana acara DIREKTUR yang disuruh kover pakai uang kas. Terus, dia bilang, kasus begitu bukan cuma di kita, dan ini kejadiannya udah dari 2020. Dia mau usut kasus ini sampai tuntas, dan sampai dapet bukti kalau Pak Baharrudin nggak main kotor," terang Diandra setengah panik. "Kak, sumpah demi apapun, gue nggak nerima sogokan dari atas. Tapi, gue nggak tau siapa yang nyebarin kabar ini pertama kali. Tadi dia nanya, apa gue sempet disogok supaya nanti bikin LPJ dengan rincian anggaran biaya palsu buat acara DIREKTUR."

Alvi masih membaca tulisan yang Jethro print out di kertas dengan beberapa coretan hasil editan manualnya. Seselesainya, laki-laki itu berdengkus. "Tapi lo serius hampir disogok, Di? Emang, apa katanya? Kok, lo nggak cerita sama gue, sama anak-anak?"

"Jujur gue takut, Kak. Gue pikir, dengan gue nolak aja udah cukup. Gue takut kena masalah kalau ngelaporin ini," aku Diandra.

Punggung Alvi jatuh ke sandaran kursinya. Ia tahu Diandra salah karena tetap diam, tapi, entah bagaimana, Alvi percaya akan ketakutan yang Diandra rasakan. Juniornya ini masih duduk di kursi semester kedua, belum ada satu tahun berada di kampus. Wajar jika Diandra masih takut akan banyak kemungkinan yang tidak bisa ia prediksi. Laki-laki itu mengangguk paham. "Gue ngerti. Nggak apa-apa, Di. Yang penting, gue nggak mau ada LPJ palsu nanti. Lo bikin sesuai dengan semestinya. Tulisan Jethro nanti gue yang atur. Kita jadi terlambat rilis minggu ini, tapi nggak apa-apa."

Diandra bernapas lega. Setidaknya, kini Diandra tahu ia sebenarnya akan dilindungi oleh Alvi dan Jethro sekaligus. Atau mungkin termasuk Ilyas dan Devano? Dan, akan selalu ada Rachel yang tetap mendukungnya. Terasa aneh memang membayangkan orang-orang tersebut akan jadi guardian angel seandainya kelak ia tersandung masalah.

+ + +

Dua jam berselang sejak artikel yang Jethro tulis dimuat sebagai koran digital pada website resmi Layang Biwara. Diandra tak henti-henti me-refresh halaman yang sama demi melihat peningkatan jumlah viewer yang membludak. Ia benar-benar cemas kini. Namanya tertulis di sana sebagai editor. Jantungnya bahkan sedang tidak bersahabat kini. Sudah dua jam Diandra mengurung diri di dalam kamar dan terus menyusuri media sosial. Banyak sekali mahasiswa yang mengunggah hasil screenshot dari artikel terbaru pada situs Layang Biwara. Tak sedikit pula akun-akun resmi Himajur dan BEM Fakultas yang langsung mengunggah posting baru pada Instagram mereka.

Keluarlah para aktivis dari yang Diandra kenal sampai tidak Diandra tahu sama sekali. Malam terasa sangat panjang. Semua orang membicarakan artikel milik Jethro mengenai dugaan kasus penyuapan dan penyelewengan dana yang dilakukan rektornya sendiri. Selain nama Jethro jadi trending topic karena keberaniannya yang ambil langkah dengan cepat, nama Diandra jelas terseret. Diandra Mutia, mulai malam ini akan dikenal karena mendampingi Jethro meloloskan artikel tersebut sampai terbit kilat tanpa proses kurasi panjang.

Hingga pagi menjelang, jumlah pembaca yang mengakses halaman artikel milik Jethro sudah mencapai angka ribuan. Diandra semakin panik. Kalau sebanyak ini sih, pasti bukan hanya mahasiswa yang membaca artikel milik Jethro. Bisa jadi, belasan, atau bahkan puluhan dosen sudah mengakses halaman yang sama dan turut menyebarkannya di grup prodi mereka masing-masing.

Belum lagi dengan mahasiswa kampus lain yang mungkin turut meluncur ke halaman yang sama karena melihat unggahan temannya. Rasanya kepala Diandra mau pecah memikirkannya. Mungkin bagi Jethro ini adalah sebuah langkah awal menuju kemenangan, tapi untuk Diandra, tidak sama sekali. Ia masih cemas bukan main. Bagaimana jika namanya akan terseret pada buku kasus karena telah menjadi saksi dalam niat haram Pak Baharrudin?

Pukul dua belas siang. Ponsel yang tidak Diandra lepaskan dari tangannya bergetar panjang, menampilkan nama Rachel pada layarnya yang redup. Ia yakin Rachel hanya akan menanyakan kabarnya. Diandra tak buang-buang waktu, langsung menerima telepon masuk dari Rachel pada detik pertama.

"Halo, Di. Lo di mana?"

"Di rumah. Chel, sumpah, gue deg-degan banget nih, takut," balas Diandra sambil mengetuk-ngetuk meja belajarnya dengan jari-jarinya yang bertengger di sana. "Chel, sini dong ke rumah gue. Temenin gue. Nggak tenang banget gue, tau. Lo lagi di mana?"

"Gue lagi di ... luar, sih. Ya udah nanti gue ke sana, deh. Agak sorean, ya, Di?"

"Lo lagi sama siapa?" Rasa tegang yang melingkupi perasaan Diandra seketika sirna. Samar-samar, barusan ia mendengar Rachel saling berbisik dengan seseorang di seberang. "Kalau lo lagi sibuk, atau lagi jalan, nggak usah Chel, nggak apa-apa deh."

"Tuh, kan, ih ... eh, eh nggak apa-apa, Di. Nanti gue ke sana. Jam tiga gue jalan, oke. Pokoknya lo jangan ke mana-mana, gue ke sana nanti," balas Rachel, yang lagi-lagi malah bicara dengan orang lain. Tak lama, sambungan telepon terputus begitu saja. Lagi-lagi Diandra tidak mendapatkan kesempatan untuk mendengarkan jawaban Rachel. Seketika Diandra teringat pada hari di mana ia baru saja menceritakan hubungannya dengan Ilyas kepada Rachel. Diandra ingat, Rachel masih punya utang dengannya.


Jethro berdecak sebal, lantas menyandarkan tubuhnya ke punggung sofa. "Ya elah, kita bahkan belum berangkat, kamu udah planning ke rumah Diandra?" gerutunya. "Batalin."

Rachel menggeleng tegas. "Nggak mau, Je. Diandra needs me."

"Ya aku juga butuh kamu, Chel. Kamu pikir aku nggak butuh kamu?" balas Jethro dengan nada yang meninggi. Tubuhnya kembali tegap. Tangannya menadah di depan Rachel. "Mana sini HP-nya. Diandra kan sahabat kamu, dia juga pasti ngerti kok. Tadi juga dia bilang nggak apa-apa."

Rachel memicingkan mata, menggeleng heran kepada pacarnya yang kian hari kian aneh. "Je, bisa nggak sih? Kita setiap hari ketemu, weekend ketemu. Ini temen aku lagi gelisah gara-gara artikel yang kamu tulis, loh. I have to be there for her. Right, now."

Jika Rachel pikir pembelaannya adalah sesuatu yang akan mempermudah usahanya untuk membatalkan kencan sore ini demi pergi ke rumah Diandra, maka Jethro rasanya ingin menertawakan kekalahan Rachel duluan. Apa pun alasan yang sedang Rachel simpan, Jethro sudah tahu jawaban apa yang harus ia berikan. Rachel takkan pernah memenangkan debat dengannya.

Maka, kini senyum Jethro yang mengembang. "Sumpah, udah gila kamu," tukasnya. "Kamu tau nggak, anak-anak BEM sekarang lagi pada di sekret? Mereka lebih butuh aku ketimbang Diandra butuh kamu. Tapi aku bisa ngeluangin waktu aku buat kamu. Kamu sendiri gimana? Masa nggak bisa ngelakuin hal yang sama dengan apa yang aku lakukan? Kita ini hubungan dua arah, nggak, sih?"

"Aku gila?" tanya Rachel tenang. tak sempat ada respons dari Jethro selain matanya yang menajam. Rachel tertawa mengejek. Segera, Rachel menarik sling bag-nya untuk berdiri dari sofa, bertepatan dengan tangan Jethro meraih pergelangan tangannya. Rachel menahan sakitnya, untuk tetap mempertahankan amarah yang ingin ia luapkan. "Hubungan dua arah? Selama ini hubungan kita juga cuma satu arah, kok. Kapan sih kamu pernah mikirin perasaan aku? Aku ikutin semua mau kamu, aku nggak pernah marah ke kamu, aku bahkan nggak pernah kasar ke kamu loh, Jethro. Mana timbal balik yang baik dari kamu?"

Jethro berdesah. "Kok kamu bisa, sih, bilang aku nggak mikirin perasaan kamu? Aku selalu ada loh, Chel, buat kamu. Aku mungkin kadang kelewatan, tapi kan semua itu juga pada awalnya gara-gara kamu. Kamu yang nggak pernah ngerti perasaan aku, Chel. Kamu nggak pernah ngerti betapa aku takut kalau hubungan kita kecium sama mahasiswa dan berakhir jadi gosip. Aku tuh berpikir panjang, loh, Chel. Demi kebaikan kita."

Beruntung sekali Jethro siang ini. Rumah Rachel sedang kosong, sehingga ia bisa bebas bicara dengan nada tinggi begitu tanpa ketahuan keluarga Rachel. Mungkin nanti Rachel akan memberi selamat, seandainya ia sendiri sukses selamat dari kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi setelah ini.

Rachel diam-diam menyalakan ponsel di sebelah tangannya, ia menghubungi nomor Diandra hingga terdengar sambungan telepon, lalu menampilkan layarnya di depan mata Jethro ketika akhirnya telepon diterima. "Bilang sekarang sama Diandra kalau kamu lebih butuh aku daripada dia," titah Rachel, masih dengan penuh ketenangan.

"Halo, Chel, kenapa?"

Jethro menelan ludah. Cengkeramannya yang sudah meninggalkan bekas kemerahan pada pergelangan tangan Rachel perlahan mengendur. Matanya menyorot lurus pada layar ponsel Rachel, mengamati detik durasi yang masih berjalan. Tidak mungkin Jethro akan bicara kepada Diandra. Gadis itu akan mengenali suaranya, dan setelah ini Rachel akan memberikan bukti kekerasan fisik yang baru saja dilakukannya.

Sial, Jethro dijebak pacarnya sendiri!

"Kenapa diem? Tadi katanya anak-anak BEM lebih butuh—" kalimat Rachel berhenti di sana ketika tiba-tiba saja tangan Jethro menamparnya. Refleks, Rachel mengumpat sambil memegangi pipinya. "—anjing!"

Jethro tetap diam tanpa bicara apapun. Matanya sudah benar-benar memberi sorot mematikan. Ini adalah kabar buruk untuk Rachel, seandainya ia tidak tersambung ke telepon pada Diandra.

"Rachel, lo di mana? Lo lagi sama siapa, sih? Woi! Siapa lo, ngapain temen gue, bangsat?!" Diandra ikut mengomel dari seberang. "Rachel, lo di mana?!"

"Sayang, bisa nggak, tolong jawab ke Diandra aku lagi di mana?" Rachel mengoper pertanyaan tersebut kepada Jethro. Laki-laki itu tetap geming. "Nggak berani, ya?"

Tangan Jethro mengepal kuat. Rachel jelas menyadarinya, dan ia cukup tahu Jethro mungkin tidak akan memukulnya lagi karena kini teleponnya dengan Diandra masih tersambung. "Ya ampun, orang nomor satu ini ternyata pengecut. Aku nggak suka, ah. Kita putus aja. Aku maunya sama laki-laki yang gent—"

Dering dari ponsel Jethro di saku menghentikan kalimat Rachel. Amarah Jethro mereda sedikit. Ia gegas meraih ponselnya, melihat nama Ilyas yang tertera di layar.

Rachel tetap tidak mengakhiri teleponnya dengan Diandra, dan Jethro kini menyingkir jauh untuk menerima telepon dari Ilyas. Hal itu Rachel manfaatkan untuk segera kabur dari rumahnya sendiri. Bodo amat lah kalau nanti orang tuanya akan marah. Setidaknya, yang Rachel mau tahu adalah ia harus selamat dulu dar Jethro.

Tanpa pikir panjang, Rachel langsung memesan ojek online dan menandai titik penjemputan agak jauh dari rumahnya. Urusan Jethro akan marah berkelanjutan biarlah ia pikirkan lagi nanti. Yang penting, sekarang Rachel harus kabur ke tempat yang aman, dan ia tahu Jethro takkan berani datang menjemputnya di rumah Diandra.

"Di, gue jalan ke rumah lo. Nanti gue ceritain."


[first published 07/07/2022 unedited]

an: asik putus :))) apakah kalian sudah senang fren?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro