#15 Rahasia

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Daniel? Apa yang kau lakukan disana??"

Bagaimanapun juga, kecerobohan Daniel yang mengakibatkan sebuah pot tanah liat jatuh dan hancur sekaligus membuat Sohyun menyadari keberadaannya.

Mengejutkan memang. Ketika Sohyun sedang serius membahas penderitaan mental Min Yoongi, Daniel muncul secara dadakan. Dan tentunya, Daniel mungkin mendengar sebagian, atau bahkan keseluruhan percakapan mereka.

Sohyun menghampiri pria bermata sipit dan berperawakan tinggi tersebut. Dilihatnya, Daniel tampak begitu panik. Matanya bahkan tak mampu menatap Sohyun sama sekali. Sepanjang waktu, dua bulatan indah di wajahnya hanya memandang pemandangan hampa di sekitar halaman belakang rumah Sohyun.  Berseliweran tak jelas.

Keringatnya mulai menetes, meluncur dari kening sampai ke leher. Jakunnya tertangkap naik-turun tak karuan. Daniel gugup karena ia ketahuan sedang mengintip Sohyun dan Yoongi secara diam-diam.

"Kenapa kau bisa ada disini? Bukannya kau harusnya ada di sekolah?"

"Uh.. itu.. aku.."

Daniel menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Mencoba mencari-cari alasan buat mengelak.

"Sebenarnya.. aku sedang tidak enak badan. Aku meminta izin pulang."

"Eoh, benarkah?"

Sohyun dengan tangkas menempelkan telapak tangannya pada dahi, pipi, sampai telapak tangan Daniel. Daniel tercekat.

"Tapi kau tidak demam.."

"Ah.. itu.. ak-aku sakit perut.."

Daniel segera mengusap perutnya, berpura-pura kesakitan. Ia merintih, meringis, seolah-olah menahan lara.

"Ayo kita masuk ke rumah!"

"Tunggu?! Apa ini? Kenapa kau membawanya ke rumahmu? Dia bilang mau pulang. Biarkan dia pulang dan istirahat."

Yoongi yang semenjak tadi diam terpekur pun mulai berceloteh. Cukup aneh mendengar Yoongi memprotes tindakan Sohyun karena itu bukanlah hal yang biasa. Yoongi mengeluarkan keluhan adalah pertanda kemajuan pikirnya. Daripada ia pasif dan lebih sering menjadi penonton, alangkah lebih baik kalau dia mau berkata-kata meskipun itu tak cukup menguras energinya? Setidaknya, Yoongi harus mencoba.

Protesan Yoongi menyejukkan hati Kim Sohyun. Dia merasa senang karena akhirnya Yoongi mau berpendapat.

"Yoon.. kau tidak mengerti-"

"Apa yang aku tidak mengerti?? Dia punya rumah. Kenapa kau membawanya ke rumahmu? Ini acara membolos kita. Aku tidak ingin orang lain ikut bergabung."

Sohyun memicingkan matanya, memasang muka orang kelimpungan.

"Kau ini kenapa sih?"

"Dengarkan penjelasanku dulu, oke?"

Yoongi membuang nafas. Ia membanting asal sekop yang dipegang ke sembarang arah dan langsung berdiri di tempatnya menanam biji bunga matahari tadi.

"Daniel punya rumah. Iya itu benar. Tetapi, orangtuanya sibuk bekerja, kalau Daniel pulang, siapa yang akan merawatnya? Aku sahabat satu-satunya... jadi, cuma aku yang bisa diharapkan."

"Tapi kan?"

"Sudahlah. Kita masuk saja, lagipula disini sepi. Aman. Kakakku juga sudah berada di tempat kerjanya."

"Aku akan membuatkanmu teh hangat, Niel. Ayo!"

Sohyun memegang kedua bahu Daniel dan menuntunnya masuk ke dalam. Sementara Yoongi, ia abaikan keberadaannya begitu saja.

Yoongi pun tak dapat berkutik lagi. Disantapnya kedua sahabat itu dengan sorot mata yang jengah.

Baiklah, Yoongi sekarang dikesampingkan demi si Daniel yang sebenarnya cuma sakit bohongan.

.......................

"Apa kau makan-makanan pedas lagi? Atau maag-mu kambuh? Sudah kubilang kan kalau kau harus menjaga pola makanmu dengan teratur? Kau selalu membangkang!"

"Kau cerewet sekali. Aku sudah melaksanakan semua yang kau katakan.."

"Lalu bagaimana hal ini bisa terjadi??"

"Mungkin karena kau mulai jarang memperhatikanku lagi."

"Hah?"

Daniel tersenyum ke arah Sohyun, berniat menggoda tetapi malah Sohyun menanggapinya serius.

"Maafkan aku.. Apa iya belakangan ini aku kurang memperhatikanmu?"

Sambut Sohyun dengan polosnya. Wajahnya yang terlampau manis tampak serius memikirkan perlakuannya selama ini terhadap Daniel. Kalau dipikir ulang, ia memang jarang menghabiskan waktunya lagi bersama Daniel.

"Aww.."

"Kenapa?!!"

"Lihat. Perutku mulai sakit lagi.."

"Aduh.. gimana ini??"

Daniel membuang mukanya dan menahan tawa. Kepanikan Sohyun adalah humor baginya. Sudah lama ia tak mencuri ekspresi itu lagi dari Sohyun.

"Ekhemm.. permisi?"

Kegiatan Sohyun mengecek Daniel dari kepala sampai perut pun terhenti. Seseorang berkulit pucat itu mengeluarkan suara. Oh astaga! Sohyun sampai lupa kalau makhluk yang mendapat status teman barunya itu masih ada di sana.

"Eh, Yoon?? Ada apa? Maaf.. aku sampai lupa kalau kau disitu."

Apa tidak ada kata lebih menusuk dari ini? Batin Yoongi.

"Dimana kamar mandi?"

"Ada.. di belakang. Mau kuantar?"

"Tidak perlu. Aku bukan anak kecil."

Bersamaan dengan terucapnya kalimat itu, Yoongi bangkit dan menuju ke arah yang ditunjukkan Sohyun.

Ke kamar mandi? Ah tidak. Sebenarnya Yoongi hanya iseng mencari kesibukan daripada harus menyaksikan sikap Daniel dan Sohyun yang memuakkan. Kedatangan lelaki itu telah menyita semua kesimpatian yang Sohyun berikan pada Yoongi. Yah, walaupun Yoongi tak lagi membutuhkannya untuk saat ini sebab perasaannya mulai tenang sejak dipeluk oleh gadis itu.

Yoongi tak habis pikir. Apa sebenarnya hubungan tokoh pembunuh itu dengam dirinya? Kenapa ia selalu muncul? Tak hanya dalam mimpi, tetapi dalam imajinasi nyatanya, yang Yoongi sendiri tak sadar kalau itu cuma halusinasi.

"Apa yang harus aku lakukan disini?"

Tepat setelah pintu kamar mandi terbuka, bingunglah Yoongi. Ia tak berniat menginjakkan kakinya pada tempat yang sempit dan berair tersebut. Ia masuk saja dan menemukan sebuah westafel. Menyalakannya, mencuci mukanya yang tidak mengantuk dan mengambil tisu.

"Apa yang aku rasakan ini?"

"Huft...Aku jadi benci melihat wajah si Niel itu."

Di sisi lain, Sohyun duduk berdua dengan Daniel. Membahas sesuatu yang tak perlu dibahas. Sekadar basa-basi tanpa dasar. Obrolan ringan tak berbobot. Kenapa suasana jadi canggung setelah mereka dihadapkan pada situasi rumah yang sepi seperti ini?

"Sohyun?"

Daniel memberanikan diri untuk berbicara. Bukan tanpa alasan ia mengikuti Yoongi dan Sohyun setelah melihat mereka kabur dari sekolah sampai terpergok paman penjaga. Ia tak mau dan tak suka jika Sohyun terus dekat-dekat dengan Yoongi. Belum lagi, pengakuan Yoongi yang menjadikan Daniel sangat khawatir.

Skizofrenia bukanlah hal yang dianggap sepele. Kecenderungan bertindak kriminal, kasar, dorongan bunuh diri yang kuat, semua hal itu yang menggetarkan hati Kang Daniel. Ia getir akan keselamatan gadis yang disukainya. Cara melindunginya yang terbaik adalah, ia harus segera mengungkapkan perasaannya saat ini juga. Sehingga, ia bisa selalu berada di dekat Sohyun dimanapun gadis itu berada.

Rupanya kondisi mendukung niat apiknya. Tak ada Yoongi. Tak ada teman-teman. Tak ada lingkungan yang berisik.

Daniel menarik nafas dalam-dalam. Ia menyiapkan pikirannya untuk merangkai kata.

"Sohyun.."

"Iya?"

"Kau tau kan, kita bersahabat sudah sejak kecil. Dan kau pun pasti tau, kemungkinan apa saja yang timbul di antara aku maupun kau."

"Apa maksudmu?"

"Itu.. maksudku.. sesuatu yang membuat jantung berdebar, berirama cepat,.."

"Aku rasa.. aku sudah, mencin--"



























"Kenapa kau di rumah? Kim Sohyun??"



























"Ka-kakak?"

Sohyun dan sahabat dekatnya terperanjat bukan main. Baru sekitar satu jam yang lalu, Sohyun menyaksikan sendiri keberangkatan Jin menuju kantor barunya. Tetapi sekarang, pria berpostur tinggi dan tampan tersebut sedang berdiri dengan mata yang melotot. Mencurigai dua anak manusia yang tengah berduaan di dalam kontrakan sederhananya.

"Siapa lagi dia?"

Tanya Jin kembali ketika ekor matanya menyadari seorang laki-laki bermuka datar dan  berkulit putih keluar dari arah kamar mandi.

"Kim Sohyun, kau membolos?!"

.............................

"Kakak tidak mau tau lagi! Cukup hari ini Kakak melihat kalian membolos! Kalau kalian berulah lagi, Kakak tidak akan segan melaporkan kepada kepala sekolah atas tindakan memalukan kalian ini!"

"Dan kau Sohyun?! Kau anak gadis! Tidak pantas anak gadis sepertimu berbuat nakal seperti ini! Untung saja file Kakak ada yang tertinggal, jadi Kakak memergoki kalian!"


Kedua remaja itu tertunduk dan terdiam sambil berdiri di hadapan Jin. Tidak dengan Yoongi. Ia benar-benar tidak tahu, situasi macam apa yang kini ia hadapi.

Jauh dari orangtua, membuat Yoongi tidak pernah tahu bagaimana rasanya dimarahi. Bagaimana rasanya diberi nasihat oleh keluarga sendiri. Meskipun ia tinggal dengan paman yang merupakan kerabat satu-satunya, pamannya terlalu sibuk untuk mengurusi Yoongi setiap waktu. Pamannya muncul hanya di saat-saat terdesak, misalnya pada saat memberikan obat, terapi, atau antar-jemput Yoongi di sekolah.

Yoongi beradu tatap dengan Jin beberapa detik.

"Apa yang kau lihat?"

"Seharusnya kau juga menyesal! Mau dikemanakan masa depanmu kalau masih muda suka bolos-bolosan??"

Yoongi tak bergeming. Jin semakin geram saja sebab tatapan Yoongi seakan menantangnya.

"Hey! Turunkan pandanganmu! Sangat tidak sopan!"

"Sudahlah, Kak. Dia tidak akan mengerti dengan ucapanmu. Jangan terlalu kasar padanya. Oke, ini semua salahku. Aku minta maaf. Kami minta maaf, kami janji tidak akan mengulanginya lagi. Dan Daniel.. dia tidak membolos, tetapi dia izin pulang karena sakit."

"Sakit?? Daniel sama sekali tak tampak pucat. Jangan berbohong, Daniel.. atau akan aku laporkan kau pada Paman Kang!"


"Ja-jangan, Kak. Iya.. ak-aku mengaku kalau pura-pura sakit. Jangan laporkan pada Papa.."

Sohyun memperhatikan kesal pria tinggi di sebelahnya. Bisa-bisanya Daniel menipu Sohyun hingga ia sendiri terbuai.

"Aku akan menelpon keluargamu, berikan aku ponselmu!"

Sohyun menyikut perut Yoongi agar Yoongi mau menyerahkan ponsel miliknya. Dengan tersendat-sendat ia mengeluarkan telepon dari dalam tas.

Haruskah aku memberikan ponselku pada pria asing ototriter ini?

"Berikan saja.."

Sohyun meyakinkan.

Jin segera menyabet ponsel berwarna hitam itu dari tangan lemas Yoongi. Dibukanya kontak panggilan, dan terakhir ia menelepon seseorang dengan title  Paman.

Jin memencet tombol berwarna hijau, seketika telepon tersambung pada nomor yang ia tuju.

"Ada apa, Yoon?"

Suara besar seorang pria dari seberang telepon sedikit mendatangkan shock bagi Jin. Suara tersebut tak pernah terlupakan sampai detik ini. Suara yang mewarnai masa-masa kelamnya, membuat tidurnya tak nyaman selama bertahun-tahun. Kini ia harus mendengarnya lagi.

"Halo, Yoon?"

"Kak?"

Panggilan Sohyun menyadarkan Jin dari lamunan.

"Permisi, apa ini dengan pamannya anak berkulit pucat?"

"Namanya Yoongi Kak.. Min Yoongi.."

Kata Sohyun lirih.

Jin langsung membetulkan kalimatnya.

"Ah.. maksud saya, apa ini paman dari anak bernama Min Yoongi?"

"Iya. Anda siapa? Bagaimana ponsel keponakan saya bisa di Anda?"

"Saya Kakak... Kakak dari temannya. Bisakah Anda menjemput keponakan Anda di halte bus dekat rumah sakit Seoul?"

"Hm... baiklah."

Telepon terputus.

Satu hal yang membekas di benak Sohyun. Kenapa meminta Paman Yoongi menjemput di halte? Tidak di kontrakan mereka langsung saja??

"Kenapa harus di halte, Kak? Kan lebih enak kalau pamannya menjemput ke rumah kita."

"Bukan urusanmu. Ayo, anak pucat. Aku antar kau ke halte depan."

Sohyun sekali lagi meyakinkan Min Yoongi agar menuruti sang kakak.

Dan berakhirlah sudah acara membolos mereka yang tidak lancar.
Tinggal Daniel dan Sohyun di dalam rumah yang dipenuhi medan ketakutan Daniel terhadap Sohyun yang berhasil ditipunya.

.............................

"Yoongi, kau membolos??"

Yoongi tanpa banyak bicara bergegas masuk ke dalam mobil. Mengabaikan pertanyaan pamannya yang tidak penting.

Pria tampan itu masih ada di sana. Mengintip dari balik kaca telepon umum di seberang halte. Matanya secara tidak sengaja bertemu dengan mata Paman Yoongi. Pria itu buru-buru membalikkan badannya.

Perasaan itu muncul kembali. Rasa ketakutan, gemetaran, dan trauma yang tiada bosan menghampiri!

"Ini gawat... aku harap orang itu tak mengenaliku setelah bertahun-tahun lamanya.."































To be Continued.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro