Bab Dua Puluh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku selalu nulis minimal 1000 kata per-babnya. Dan ... inilah hasilnya.

Happy reading guys.  💜

***

"Carl?"

Tubuh saya mendadak kaku, pupil mata saya melebar melihat sosok di depan saya. Telinga saya berdengung saat nama itu kembali terdengar.

Lelaki itu menunjukkan ekspresi terkejut yang sama dengan saya. Bahkan karena rasa terkejutnya itu ia bahkan mengeluarkan sebuah nama yang tidak seharusnya terucap lagi dari bibirnya.

"Carl?" wanita di samping lelaki itu mengulang nama itu dengan suara penuh tanya. Ditatapnya saya dan lelaki itu bergantian, meminta penjelasan. "Kalian saling kenal?"

Lelaki itu mengerjap, menatap Navy yang mengerutkan dahi.

"Carl? Siapa itu?"

"Tadi kamu nyebut nama Carl, kan?"

"Nggak kok." Lelaki itu terkekeh pelan. "Mungkin kamu salah dengar, Nav."

"Tapi—"

Saya berdeham, menginterupsi kalimat Navy. Tidak hanya mengalihkan perhatian Navy, dehaman saya juga ternyata membuat lelaki itu menatap saya. Meski ekspresi mukanya sudah kembali normal, namun saya tahu, lelaki itu merasakan sesuatu yang tidak jauh berbeda dengan apa yang saya rasakan.

"Ini siapa?"

"Ah, iya, kenalin ini Rizal, anaknya Tante Dea. Itu lho, temen deketnya Mama yang tadi dikenalin ke elo."

Saya mengangguk, membenarkan letak kacamata saya sebelum mengulurkan tangan pada lelaki itu.

"Satria."

Lelaki itu tampak ragu, namun saat matanya tak sengaja beradu dengan mata saya, ia membalas jabatan tangan saya.

"Rizal."

Jabatan tangan kami langsung terlepas. Rizal langsung menatap sekeliling, sedangkan saya menarik pinggang Navy agar mendekat pada saya. Navy tentu saja terkejut dengan gerakan saya yang tak terduga itu.

"Silakan menikmati hidangan yang tersedia, saya dan Navy akan berkeliling sebentar."

Tanpa memberi Rizal dan Navy untuk mengeluarkan sepatah kata, saya langsung membawa Navy menjauhi Rizal. Sebelum berbalik meninggalkan lelaki itu di tempatnya, saya sempat melihat mimik muka Rizal yang berubah.

Navy sempat berontak, terlebih saya tidak menarik tangannya dengan lembut, melainkan menyeretmya dengan paksa. Suasana gedung yang mulai sepi sedikit menguntungkan bagi kami, karena dengan begitu, kemungkinan akn menjadi tontonan para tamu undangan akan semakin kecil.

"Satria, lepasin!"

Navy terus meronta, tapi saya tidak peduli. Sebut saya kasar pada wanita satu ini karena dengan teganya menarik tangannya untuk mengikuti langkah saya menuju parkiran.

"Satria, gue bilang lepasin!"

Navy langsung menghentakkan tangan saya. Matanya melebar, menatap saya penuh amarah. Deru napasnya bahkan memburu, membuat bahunya naik-turun.

Meski lampu yang menerangi parkiran gedung tempat resepsi kami bersinar sedikit redup, saya tetap bisa melihat mata Navy yang berkaca-kaca. Bahkan sebelum sempat lelehan air mata itu menuruni pipinya, Navy langsung menghapusnya kasar. Membuat mukanya semakin tak terbentuk lagi.

"Lo nggak bisa, ya, baik-baik sama gue? Lo sengaja buat gue malu? Iya?" pekikannya membuat degup di jantung saya melambat.

Navy membuang mukanya, mendengkus kesal.

"Ini hari terburuk gue, kalau lo mau tahu."

Navy kemudian bungkam, tidak melanjutkan kata-katanya. Membuat saya menebak-nebak maksud dari kata-katanya barusan.

Saya tidak tahu sudah berapa banyak waktu yang terbuang cuma-cuma dengan saling berdiam diri seperti ini. Saya memicingkan mata, mencoba mengatur emosi saya. Saat mata saya kembali terbuka, Navy masih betah memandang ke arah lain. Tubuhnya sedikit condong membelakangi saya.

"Kita pulang sekarang."

Saya meraih pergelangan tangan Navy. Gadis itu tersentak, dan saat sadar apa yang terjadi, ia kembali berontak. Meminta saya melepaskan cengkraman di pergelangan tangannya.

"Gue nggak mau pulang! Gue nggak mau pulang sama lo!"

"Pulang sama gue atau nggak sama sekali!"

"Mending gue nggak pulang ketimbang harus semobil sama lo!"

Navy sengaja menantang saya. Saya tahu itu. Karena itulah, saya yang semula mencoba bersabar, kini kembali terpancing amarahnya. Dengan kesal saya menarik Navy hingga tubuh gadis itu membentur tubuh saya, keras.

Saat tubuhnya sudah berada di hadapan saya, saya langsung mendekapnya erat. Navy melotot, meronta di pelukan saya, meminta dilepaskan.

"Kita pulang! Tidak ada bantahan!"

Tanpa persetujuan Navy, saya langsung memanggul tubuh gadis itu. Membuat pekikan kecil lolos dari bibirnya yang tidak mau diam.

"Lepasin gue! Lepasin gue, berengsek!"

Saya tidak mengindahkan ucapan Navy. Saya bahkan tidak peduli saat tangan Navy dengan brutal memukul punggung saya.

Begitu tiba di dekat mobil pengantin kami, saya langsung melempar tubuh Navy hingga terduduk di bangku penumpang. Setelah menutup pintu, saya langsung berlari menuju pintu kemudi.

Tanpa memberikan kesempatan bagi Navy untuk keluar dari mobil, saya langsung menghidupkan mesin mobil. Bergegas pergi meninggalkan gedung resepsi kami.

Di samping saya, Navy mulai terisak. Riasan wajahnya luntur karena air matanya. Ia memukul-mukul saya, tapi saya tetap tidak peduli.

Fokus saya hanya pada jalanan di depan kami, agar kami bisa selamat tiba di rumah Navy dan keluarganya.

Mungkin karena lelah, Navy menghentikan aksinya. Tapi tidak dengan tangisnya.

Di sela-sela tangis dan isakannya, Navy masih sempat berdesis penuh kebencian.

"Sialan lo, Satria! Gue benci elo!"

***

Saya menatap kosong langit-langit kamar yang dihiasi bunga-bunga mawar plastik beraneka warna. Di samping saya, Navy telah terlelap. Deru napasnya bahkan terdengar teratur.

Melihatnya bisa tidur sedamai ini, membuat saya tidak yakin jika Navy adalah gadis yang semalaman menangis karena ulah saya.

Begitu tiba di rumah, Navy langsung keluar dengan meninggalkan bantingan keras pada pintu mobil saya. Ia bahkan tidak mempedulikan tata krama seorang istri pada suaminya.

Suami?

Satu kata itu membuat saya hampir tersedak.

Hingga detik ini saya masih belum bisa percaya jika saya telah menjadi seorang suami dari seorang istri bernama Navy Julianarya. Wanita yang kemarin siang saya nikahi secara sah di mata hukum dan agama.

Saya bahkan tidak menyangka jika akhirnya saya berani untuk menikahi seorang wanita.

Tidak pernah tebersit di pikiran saya untuk menikah. Menjalani kehidupan rumah tangga dengan wanita yang akan membagi kehidupan sehari-harinya bersama saya.

Bahkan yang lebih gilanya, saya menikah dengan orang yang tidak saya cintai. Wanita yang belum sepenuhnya saya kenal baik.

Pernikahan ini adalah pilihan yang sulit untuk saya. Tidak terkecuali bagi Navy. Saya tahu, dia masih menganggap tawaran saya untuk menikah adalah hal ter-absurd di dalam hidupnya.

Tapi, semua sudah saya pertimbangkan dengan sangat baik.

Menikah dengan Navy adalah salah satu cara agar saya bisa melindunginya. Saya bahkan tidak tahu, kenapa saya bisa mempunyai pemikiran untuk melindungi gadis ini.

Semalaman, setelah Navy tertidur karena kelelahan menangis, saya kembali merenungkan pilihan saya ini. Apa benar menikah dengan Navy adalah pilihan yang tepat? Apa pernikahan ini terlalu terburu-buru untuk kami berdua?

Bukan malam ini saja saya memikirkan hal ini.

Bahkan, malam-malam sebelumnya juga, saya selalu memikirkan hal ini. Juga dampak yang akan terjadi jika hal ini terwujud.

Dan selalu saja, saya menemukan jawaban yang sama. Jawaban yang mengatakan bahwa ini adalah satu-satunya cara terbaik. Jalan paling efektif untuk menghindari dan menjaga Navy dari bahaya yang tengah menyambutnya di depan sana.

Bahaya yang bahkan tidak disadari oleh gadis itu.

Saya memejamkan mata, tersenyum samar. Meyakini diri sendiri jika pilihan ini sudah tepat.

Saya sudah tahu apa risiko yang akan saya hadapi. Dan apapun itu, saya sudah siap menghadapinya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro