Bab Dua Puluh Dua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Lo mau ke mana?"

Pertanyaan yang bersumber dari sosok di belakang saya membuat langkah saya terhenti seketika. Saya melirik sekilas arloji di pergelangan tangan kanan saya sebelum menoleh ke belakang. Navy dengan penuh selidik menatap saya lekat.

"Ke kantor. Kamu pikir ke mana lagi saya pergi kalau bukan ke kantor?"

"Emang lo gak ngambil cuti?" tanya Navy dengan sedikit menguap.

"Ada banyak hal yang harus saya urus."

Tanpa menoleh lagi, saya mengambil tas laptop di sofa. Meninggalkan Navy yang masih berdiri di dekat dinding pembatas antara ruang tengah dan ruang tamu.

"Gue rasa nggak masalah kalau lo ambil jatah cuti buat seminggu lagi. Orang-orang juga ngerti kalau lo baru nikah."

"Ada urusan penting yang harus saya tangani langsung." Saya dengan sengaja menekan kata-kata yang saya ucapkan.

Navy membuka mulutnya, membuat ekspresi mengantuk yang disengaja.

"Apa elo segitu workaholic-nya kah? Sampe memperpanjang cuti aja nggak mau."

"Memangnya kalau saya memperpanjang cuti, saya harus ngapain?"

"Ya liburan dong. Emang nggak suntuk apa kerja terus? Gue aja suntuk pake banget. Untung aja orang kantor ngasih cuti lumayan karena gue nikah. Terus—"

"Jadi, kamu mau kita honeymoon kayak pengantin baru lainnya? Itu maksud dari kata-katamu?"

"Ya nggak gitu juga kali. Emang siapa juga yang mau honeymoon. Mending gue istirahat aja di rumah," jawab Navy langsung.

"Ya, bisa saja kamu mempunyai niat terselubung."

Saya sudah akan masuk ke dalam mobil saat Navy berkata, "Bukannya itu elo, ya? Elo punya niat terselubung, kan? Lo juga nggak pernah jawab pertanyaan gue tentang alasan lo sebenarnya."

"Saya sudah jujur saat saya mengatakan akan melindungi kamu."

"Melindungi?" Navy berdesis. "Gue nggak tahu apa yang mesti lo lindungi dari gue. Lo pikir gue nggak bisa jaga diri? Iya? Lo salah, Sat. Salah besar!"

"Saya tidak mau berdebat."

"Lo pengecut, Sat!"

Saya tidak tahu sejak kapan Navy berdiri di dekat mobil. Kata-kata Navy yang sangat ingin saya abaikan, malah membuat saya seketika tidak berkutik.

"Kenapa lo diem aja? Baru nyadar kalau omongan gue bener? Lo bener-bener pengecut, Sat! Nggak gentle banget sih jadi cowok!"

"Waktu saya terlalu berharga untuk meladeni ucapan kamu."

Tanpa membiarkan Navy berkata lagi, saya langsung menutup pintu mobil. Begitu mesin mobil telah dihidupkan, saya bergegas menginjak pedal gas. Pantulan wajah Navy yang terlihat kacau tampak jelas di kaca spion tengah.

Setelah mobil yang saya kemudikan bergabung dengan kendaraan lain di jalan raya, barulah saya bisa bernapas normal. Saya menundukkan wajah, menghela napas panjang.

Kata-kata Navy kembali terngiang di kepala saya. Membuat sesuatu yang semestinya saya lupakan kembali menari di ingatan saya.


***

Kantor Silver Group tampak lenggang seperti biasa. Dua orang penjaga keamanan dengan siaga berjaga di pos satpam, di dekat gerbang yang terbuka sebagian.

Setelah memarkirkan mobil di tempat biasa, saya kembali mengawasi pergerakan di Silver Group.

Meski sang waktu sudah menunjukkan pukul 9 pagi, tidak ada pergerakan berarti dari kantor yang tingginya begitu mencolok itu. Bahkan, dari pengamatan saya, si tua George belum juga menampakkan batang hidungnya hingga detik ini.

Saya melirik arloji saya untuk ke sekian kalinya sebelum mengambil kacamata hitam di dashboard. Setelah memastikan keadaan di sekitar saya aman, barulah saya keluar dari mobil.

Jas hitam yang tadi saya kenakan sudah ditanggalkan. Menyisakan kemeja biru dengan garis putih berbentuk vertikal yang melekat erat di tubuh saya.

Berbaur dengan rombongan pejalan kaki yang lain, saya menyusuri pedestriam di depan Silver Group. Semuanya masih sama dengan hari terakhir pengintaian yang saya lakukan. Aktivitas di sekitar kantor pun berjalan dengan normal. Membuat saya yakin, penduduk sekitar tidak mengetahui kedok asli pemilik Silver Group.

Senyum satu garis membuat bibir saya berkedut. Bayangan sosok George beberapa tahun silam membangkitkan sesuatu di dalam diri saya.

Tanpa saya sadari, tangan saya mengepal erat. Rasanya, semua emosi yang saya rasakan tengah berkumpul menjadi satu di kepalan tangan saya.

Pelupuk saya tiba-tiba memanas. Dada saya sesak mendadak.

Semua bayangan masa lalu kembali berputar. Seperti ada sebuah potongan film yang berputar-putar di kepala saya.

Adegan yang membuat saya terus hidup demi sebuah tujuan untuk membalas perbuatan seseorang.

Saat kaki saya sudah melangkah menjauh dari Silver Group, kepala saya mendongak. Menatap langit biru yang dihiasi awan putih yang berarak pelan.

Saya membuang napas dengan kasar saat nyeri menghimpit dada saya.

Rasanya menyakitkan. Membuat saya membenarkan kata-kata yang Navy lontarkan pada saya tadi.

Pengecut!

Meski hingga detik ini saya tidak mau mengakuinya, saya sadar, sikap saya selama ini sangat pengecut. Saya berdiam diri, hingga luka di dada saya semakin melebar. Hingga suatu hari saat saya merasa lelah, saya memutuskan untuk membalas.

Terasa lambat, memang. Tapi, saya tahu, saat ini adalah saat yang tepat untuk membalas semua hal yang terjadi di masa lalu.

Sebuah kesedihan akhirnya akan terbalas.

Pelupuk mata saya kembali memanas. Sebuah senyuman dan tawa renyah terbayang di ingatan saya. Bayangan seorang wanita yang tertawa riang bersama saya, membuat senyuman terlukis di wajah saya.

Meski rasanya menyakitkan, saya harus tetap bertahan. Saya harus bisa membuktikan pada seseorang di masa lalu, kalau saya akan membuat kepergiannya tidak sia-sia.

Tekad saya kembali membulat. Hanya dengan membayangkan senyuman itu, bisa membuat sesak di dada saya perlahan memudar.

Setelah menarik senyum sekali lagi, saya memutuskan kembali ke tempat di mana mobil saya diparkirkan. Sekali lagi, saya memastikan keadaan sekitar dalam kondisi aman, tanpa mata-mata atau anak buah George.

Dengan langkah pelan saya menyusuri jalan. Awalnya, saya kira pengintaian saya kali ini tidak diketahui orang lain. Nyatanya saya salah. Sekitar satu meter dari mobil saya, saya menghentikan langkah. Seseorang yang berdiri tepat di samping mobil saya membuat saya langsung waspada.

Saya tidak tahu siapa orang yang tengah membelakangi saya itu. Dari yang saya lihat, lelaki berkaus polo hitam itu tidak terlihat berbahaya. Tapi itu tidak membuat kewaspadaan saya langsung memudar.

Dengan langkah pelan, nyaris tanpa suara, saya mendekati lelaki itu. Tinggal sepuluh langkah lagi, lelaki itu mengeluarkan kata-kata yang membuat saya bergeming dan langsung menghentikan langkah.

"Tetap waspada seperti biasanya, Satria."

Lelaki itu kemudian berbalik. Memperlihatkan senyum tipis yang sedikit bersahabat.

"Mau kamu apa?" tanya saya tanpa tedeng aling-aling.

"Hanya ingin bertemu teman lama. Apa salah?"

"Saya sibuk."

Saya langsung melangkah, tidak peduli lelaki itu kini tengah menatap saya dengan alis terangkat.

"Jangan berpura-pura tidak mengenalku, Satria." Lelaki itu kembali bersuara.

"Saya mohon, jangan berbelit-belit! Mau kamu apa, Zac?"

"Wow! Nama itu! Oh oke, baiklah ... Carl."

"Jangan membuang waktu saya, Rizal! Mau kamu apa!?"

Rizal tersenyum, menatap sekeliling sebelum kembali menatap saya.

"Kita perlu tempat untuk berbicara. Dan, itu bukan di sini."

Saya berdecih, membuka pintu mobil dengan kesal.

"Cepatlah! Sebelum saya berubah pikiran!"

Rizal tergelak, menggeleng perlahan.

"Kamu tetap tidak berubah, Sat."

"Sebaiknya kamu diam sebelum saya benar-benar berubah pikiran!"


Rizal kembali tergelak. Menyadari Rizal yang memang sengaja memancing amarah saya, saya langsung tancap gas berlalu dari basemen sebuah gedung kosong, tempat saya biasa memarkirkan mobil jika bertandang ke Silver Group.

***

Kuotaku habis. 😂😂😭😭😭

Tapi nanti bakal update kok. Kalau ada wifi.

Happy reading guys.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro