Bab Dua Puluh Enam

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ini terakhir kalinya saya memperingati kamu untuk berhenti melakukan investigasi terhadap Silver Group."

Navy yang baru memegang gagang pintu kamarnya langsung menoleh. Keningnya berkerut setelah kata-kata itu saya ucapkan.

"Atas dasar apa lo ngelarang gue?"

Navy berkacak pinggang. Menatap saya dengan mata melotot tajam.

"Saya berhak karena saya suami kamu, dan juga karena liputan kamu ini membahayakan keselamatan kamu."

"Lo sinting! Setiap kerjaan bisa membahayakan keselamatan kita. Kalau udah takdirnya celaka, ya celaka. Lo nggak berhak ngelarang gue buat berhenti dari kerjaan gue ini."

"Saya suami kamu!" kata saya penuh penekanan.

"Jadi kenapa kalau lo suami gue? Urusin aja kerjaan lo! Nggak usah ngurusin kerjaan gue!"

"Kerjaan saya berhubungan dengan pekerjaan kamu."

Meski saya mengucapkan dengan pelan, saya tahu Navy mendengarnya.  Navy yang semula sudah berbalik dan membuka pintu kamarnya langsung bergeming dengan tangan yang masih melekat di handel pintu.

"Maksud lo apa?"

"Silver Group itu berbahaya, Nav. Kamu dan teman-temanmu seharusnya berhenti sejak teror itu kalian dapatkan."

"Gue nggak diteror!" Navy masih terus membantah. "Gue nggak diteror. Itu cuma kerjaan orang iseng aja."

"Kamu tidak tahu kalau Silver Group memiliki koneksi dengan orang-orang kriminal. Kamu tidak tahu sebenarnya pemilik Silver Group itu orang seperti apa."

"Gue tahu! Gue udah dapetin data tentang George. Si pemilik Silver Group itu. Jadi tolong, jangan menghalangi pekerjaan gue."

"Tolong berhenti. Nyawa kamu taruhannya jika kamu masih mau meneruskan investigasi kamu."

Navy tergelak. Sorot matanya seolah mengatakan bahwa saya hanya membual saja.

"Asal lo tahu, gue nggak akan dengan mudahnya mengakhiri apa yang sudah gue mulai."

"Termasuk jika hal itu mengancam nyawa kamu?"

"Ya. Termasuk jika nyawa gue taruhannya."

"Kamu perempuan yang sangat keras kepala."

"Gue tahu. Tanpa perlu lo bilang juga gue tahu kalau gue keras kepala."

"Ini terakhir kalinya saya memperingatkan kamu," kata saya lelah. "Terserah kamu mau menuruti larangan saya atau tidak."

"Ini pekerjaan gue, dan gue nggak bakal berhenti."

"Terserah kamu. Saya sudah sering memperingatkan. Jangan menyesal jika suatu hari kamu sadar ucapan saya benar adanya."

"Ya, ya, ya. Terima kasih atas perhatiannya, Bapak Satria Augusta."

Kali ini saya membiarkan Navy masuk ke kamarnya. Saya memilih bungkam, tidak menahan Navy dengan kata-kata saya lagi.

Dengan gusar saya mengusap wajah. Memikirkan George dan kemungkinan yang akan terjadi membuat kepala saya mendadak pusing.

Saya maju beberapa langkah hingga berhenti tepat di depan pintu kamar Navy yang tertutup rapat. Saya mendesah lelah. Tidak tahu lagi harus bagaimana agar Navy sadar jika ia dalam bahaya.

Pintu di depan saya tidak terbuka sama sekali, meski sudah sekian menit berlalu semenjak saya berdiri di sana.

"Kamu tidak tahu betapa berbahayanya George. Saya tidak ingin kejadian yang sama akan terulang untuk kedua kalinya."

***

Navy menghindari saya. Gadis itu marah karena saya terus melarangnya melakukan investigasi itu.

Sudah beberapa hari ini dia sengaja pergi lebih pagi dari biasanya dan tidur lebih cepat dari biasanya. Awalnya saya mengabaikan sikapnya. Tapi lambat laun, saya merasa ada yang kurang.

Navy memang membuatkan saya sarapan dan makan malam seperti biasa. Tapi suara sibuknya di dapur yang tengah mempersiapkan sarapan tidak pernah lagi terdengar.

Kesibukan saya di kantor sedikit mengalihkan perhatian saya dari aksi protes Navy terhadap saya. Bahkan saya menuruti keinginannya untuk tidak mengintainya saat melakukan tugasnya sebagai jurnalis. Saya sengaja memberi ruang pada gadis itu untuk bergerak bebas. Seperti saat sebelum saya hadir di hidupnya.

Sudah seminggu berlalu, dan tampakmya amarah Navy belum juga mereda.

Malam telah larut saat saya tiba di rumah. Lampu-lampu di ruangan yang tidak terlalu digunakan telah dipadamkan. Entah kenapa, beberapa hari terakhir saya merasa kesenyapan menyelimuti rumah ini.

Dengan langkah pelan saya menapaki tangga. Ayunan kaki saya otomatis terhenti saat berada tepat di depan pintu kamar Navy.

Seperti hari-hari sebelumnya, pintu itu tertutup rapat. Saya menghela napas, dan memutuskan untuk berlalu dari sana. Namun saat saya hendak melangkah, tidak sengaja tangan saya menyenggol daun pintu.

Pintu yang saya kira terkunci itu perlahan-lahan terbuka dan menampakkan isinya.

Saya langsung panik. Takut si pemilik kamar terbangun karena suara pintu yang terbuka. Saat saya hendak meraih gagang pintu, sesuatu tertangkap mata saya.

Jantung saya berdetak kencang. Sinkron dengan langkah panjang saya saat memasuki kamar yang ditempati Navy.

Saya langsung bergerak cepat meneliti setiap inci kamar. Namun sosok Navy memang tidak ada di kamar ini. Bahkan tempat tidurnya terlihat begitu rapi, seolah sudah tidak didatangi pemiliknya selama beberapa hari.

Mata saya nyalang menatap sekeliling. Segala spekulasi bermunculan di benak saya. Meskipun Navy seorang pemberontak dan tidak suka diatur, saya yakin gadis itu tidak akan memilih kabur dari rumah ini.

Pemikiran Navy kabur dari rumah saya langsung lenyap saat saya mendapati semua baju beserta koper milik Navy tersimpan rapi di dalam lemari.

"Sialan! Di mana gadis itu?"

Saya mengerang kesal bersamaan dengan ponsel saya yang bergetar di saku celana. Dengan amarah yang berapi-api, saya merogoh saku celana, meraih benda kecil yang terus bergetar itu.

"Apa?!" bentak saya langsung.

"Apa Navy ada di rumah?" tanya Rizal dengan nada khawatir.

"Memangnya kenapa kamu nanyain dia?" pertanyaan Rizal membuat amarah saya semakin tersulut.

"Gue tanya sekali lagi, apa Navy ada di rumah lo? Dalam pengawasan elo?"

"Bukan urusan kamu!"

"Satria! Gue serius! Apa Navy ada di rumah lo?" Rizal mulai kehabisan kesabarannya.

"Nggak. Dia nggak ada di rumah saya," aku saya jujur.

"Shit! Sialan! Berengsek!" maki Rizal. "Lo bangsat Satria!"

"Maksud kamu apa? Jangan memaki di telinga saya!"

"Lo bilang mau jaga Navy, tapi lo malah biarin Navy dalam bahaya. Dari awal gue nggak percaya saat lo bilang Navy bisa aman dalam jangkauan lo."

"Maksud kamu apa? Saya tidak mengerti."

"Rekaman terakhir cctv di jalanan yang dilalui Navy merekam sosok gadis itu tiga hari yang lalu." Ada nada frustasi yang saya dengar dari suara Rizal. "Dan hingga detik ini, kamera cctv ini tidak juga memperlihatkan gambaran mengenai Navy dan mobil yang dia kendarai."

"Maksud kamu?"

"Gue rasa mereka tahu tentang Navy. Dan kemungkinan terburuknya, Navy ada di tangan mereka. Entah dalam keadaan hidup atau sudah tidak bernyawa lagi."

Mata saya melebar maksimal, kaget dengan penuturan Rizal. Degup jantung saya terasa melambat saat membayangkan Navy berada dalam tawanan George.

Tanpa sadar genggaman saya di ponsel mengeras. Bahkan suara Rizal tidak mampu mengikis bayangan sosok George dari pikiran saya.

"Gue bisa minta bantuan orang pusat kalau lo mau. Lagipula, sampai saat ini misi kita juga belum selesai."

Saya memejamkan mata. Sesak itu kembali memenuhi rongga dada saya saat Rizal membahas tentang misi yang hingga bertahun-tahun tidak saya selesaikan dengan baik.

"Sat, ada rahasia yang tidak kamu tahu." Rizal berkata dengan sangat pelan. Seolah ada sesuatu yang menahannya untuk mengucapkannya. "Ini mengenai Navy ... dan seseorang di masa lalu."

Seluruh indera saya seolah tidak berfungsi saat sebuah informasi yang Rizal berikan masuk ke telinga saya. Tubuh saya mendadak kaku, napas saya melambat. Saya bahkan tidak menyadari kapan Rizal memutuskan sambungan teleponnya.

Pandangan saya mengedar ke sekeliling dengan gerakan lamban. Kaki saya pun rasanya sangat sulit untuk digerakkan.

Saya kembali memejamkan mata saat suara Rizal kembali terngiang. Juga sebuah rahasia yang benar-benar tidak pernah saya ketahui.

Saat mata saya telah terbuka, saya langsung mendekati laci meja rias Navy. Membuka lacinya satu per satu dengan tatapan awas dan kecepatan seperti orang kesetanan. Gerakan saya seketika terhenti saat selembar foto jatuh dari buku agenda Navy yang saya pegang.

Mata saya memanas mendapati tiga potret wajah manusia yang abadi dalam selembar foto. Dengan tangan gemetar saya meraih foto itu. Tiga sosok manusia dengan jenis kelamin yang berbeda itu tampak tersenyum lebar ke arah kamera. Si lelaki berada di tengah, diapit oleh dua perempuan yang tengah memeluk lengannya erat.

Saya mengenali ketiga orang itu. Rega yang mengenakan seragam putih-merah dengan Navy kecil yang memeluknya di sisi kiri, dan satu sosok di sisi kanan Rega langsung membuat setetes air mata jatuh ke pipi saya.

Demi Tuhan dan seluruh isi dunia, saya begitu merindukan sosok di sebelah kanan Rega. Sosok yang seolah tengah tersenyum menatap saya itu, tidak akan pernah lagi menampakkan senyumnya di hadapan saya secara langsung.

Tubuh saya merosot jatuh ke lantai. Air mata masih terus mengalir dari kedua sisi mata saya. Sesak di dada saya semakin menjadi saat sekelebat kisah di masa lalu menari indah di pikiran saya.

Saya tidak pernah tahu jika takdir bermain dengan begitu kejamnya.

***

Untuk bab selanjutnya ... siapin hati kalian, ya.

Siap-siap menuju ending.

Xoxo

WindaZizty

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro