Bab Tujuh Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Itu ... senapan, 'kan?"

Riana menatap saya dari spion tengah seraya terkekeh geli. Alih-alih menjawab pertanyaan saya, Riana melirik sekilas lelaki Asia itu yang menatap saya jengah.

"Kami nggak ada waktu buat ngasih penjelasan ke kamu!" kata lelaki itu. Dingin dan ketus.

Saya ingin menjawab perkataan lelaki itu, namun saya telan kembali kata-kata itu. Ekspresi serius lelaki itu membuat saya enggan bersuara.

"Rean, siap?" tanya Riana.

Lelaki bernama Rean itu mengangguk mantap. Ia langsung memposisikan senapannya dari celah jendela mobil.

"Sat, lo boleh tutup mata dan telinga." Riana berujar tanpa menoleh ke belakang sama sekali.

Saya menatap Rean dan Riana bergantian. Bingung dengan maksud kata-kata Riana.

Tak lama, seolah menjawab pertanyaan di benak saya, mobil yang kami tumpangi melesat bak anak panah. Suara desingan peluru berlarian menyapa gendang telinga saya.

"Arah pukul 9!" seru Rean tanpa sedikit pun melepaskan senapannya.

"Oke!"

Saya tidak tahu apa yang tengah terjadi. Suara tembakan yang menggema, ekspresi serius Riana di balik kemudi, juga suara-suara penuh perintah yang memenuhi mobil, dan tentu saja itu bukan suara Rean apalagi Riana. Saya melempar pandang ke luar jendela, terkejut menyadari telah berada di bangunan tua bekas pembangunan gedung yang tidak diselesaikan.

Saya bergidik saat menyadari sebuah mobil jeep hitam berkecepatan penuh tengah menuju ke arah kami.

Sadar akan hal itu, Riana langsung memutar setir. Mobil kami melakukan manuver singkat sebelum akhirnya melaju seperti sedia kala.

Sialnya, saat Riana memutat setir ke kanan, mobil jeep itu melaju lurus dari arah depan, menuju kami. Riana menambah kecepatan hingga ke hanya suara angin dan mesin mobil yang bisa saya dengar.

Semua terjadi begitu cepat. Mobil jeep itu menabrak kami, hingga menyebabkan spion kanan terlepas dan memecahkan kaca jendela di samping Rean. Riana sedikit kehilangan fokusnya saat mobil kami terguncang hebat dan hampir terbalik.

Jantung saya berdetak kencang, mata saya menatap nyalang sekeliling, berbanding terbalik dengan Rean dan Riana. Kedua orang itu tampak tenang, meskipun sesekali saya mendengar suara desisan Riana.

"Buka atapnya!" Rean tiba-tiba berseru.

Tanpa suara, Riana mengabulkan perintah Rean. Begitu atap mobil terbuka sempurna, Rean langsung berdiri, mengacungkan senapannya ke salah satu bagian atap gedung.

"Kamu mau ngapain?" tanya saya.

Riana tidak menjawab apalagi terkekeh seperti tadi, ia menoleh sekilas sebelum kembali fokus menyetir.

"Perlu gue kurangi kecepatannya?" tanya Riana. Tentu saja pertanyaan itu ia tujukan untuk Rean.

"Nggak usah."

"Oh, oke."

"Kalian ngapain, sih?" tanya saya lagi. Dan seperti sebelumnya, tidak ada satu pun yang menjawab pertanyaan saya.

Karena tidak ada yang berniat menjawab pertanyaan saya, saya memutuskan membuang pandang ke luar jendela. Mengikuti arah senapan Rean diarahkan.

Saat mata saya menangkap suatu objek, mata saya langsung melebar. Belum sempat saya memberondong Riana dengan pertanyaan, Rean sudah meloloskan tembakannya ke objek di atas atap tersebut.

Sosok yang semula berdiri tegap itu langsung roboh setelah dihujani tembakan. Bukan hanya satu orang, namun Rean menembaki sepuluh orang yang berdiri di atas atap tersebut.

Tidak sampai di situ. Dengan sebelah tangannya yang bebas, Riana menembaki mobil jeep itu dengan pistol yang entah ia simpan di mana.

Satu tembakan berhasil mengempiskan dua ban depan mobil jeep itu. Bahkan jika saya tidak salah lihat, Riana juga berhasil menembak tanki minyaknya.

Sadar akan kondisi mobilnya, dua orang yang berada di dalam jeep hitam itu langsung meloncat ke luar. Hal itu membuat Riana dan Rean kembali beraksi. Bak seorang profesional, Riana menembak salah satu pria itu tanpa menatap objeknya. Sedangkan Rean, menembaki rekannya yang lain meskipun saat ini mobil tidak melaju dengan stabil.

"Kamu gila?!" pekik saya. "Kamu baru saja membunuh orang!"

Saya tidak tahan lagi dengan pertanyaan yang memenuhi benak saya. Saya menatap Riana yang ternyata juga tengah menatap saya dari spion tengah. Gadis itu mendesah pelan sebelum menggeleng.

"Nanti gue jelasin."

Kata-kata Riana yang seperti bisikan itu menimbulkan berbagai spekulasi beranak pinak di otak saya. Bahkan Rean yang kini sudah kembali duduk manis di kursi penumpang pun hanya bisa mengedikkan bahu saat Riana menatapnya.

Riana mengambil ponsel di saku jaketnya, menyentuh layar ponselnya dengan gerakan terlatih sebelum menempelkannya di telinga. Ia menoleh sekilas pada saya sebelum kembali melirik Rean yang bergeming.

Setelah menghela napas panjang, Riana mulai memulai percakapan dengan seseorang yang ia hubungi, entah siapa.

"Kami kembali ke markas. Target utama tidak ada di tempat."

***

Mobil yang kami tumpangi sudah memasuki pusat kota. Selama perjalanan yang terasa panjang itu, tidak ada yang bersuara sama sekali, hanya suara siaran radio yang membuat suasana di mobil tidak kaku dan sepi.

Saya melipat tangan di depan dada. Menatap kotak hitam tempat Rean menyimpan senapannya sebelum melempar pandang ke luar jendela.

Saya tidak tahu ke mana Riana akan membawa saya. Anehnya, saya sama sekali tidak menaruh curiga ataupun takut pada Rean dan Riana. Padahal tadi, dengan mata kepala saya sendiri, saya melihat Rean menembak sepuluh orang sekaligus hingga tak bernyawa.

"Sat, nyawa lo masih di sini, kan?" tanya Riana dengan nada bercanda. Namun, saya sama sekali tidak menanggapi candaan itu. Saya masih menunggu penjelasan Riana.

"Na, kalian sebenarnya siapa?"

Pertanyaan saya membuat tubuh Rean dan Riana menegang. Riana menggaruk tengkuknya, mengulum senyumnya saat menatap saya.

"Apa untungnya buat kamu setelah tahu siapa kami?"

Rean yang sedari awal irit bicara, kini mengeluarkan suaranya.
"Kalian sadar nggak sih apa yang barusan kalian lakuin? Terkhusus kamu." Saya mengarahkan telunjuk saya pada Rean.
Rean tersenyum miring. Tatapan matanya langsung memindai saya.

"Baru lulus SMA, kan?" tanyanya meremehkan.

"Jadi kenapa kalau baru lulus SMA? For your information, saya sudah kuliah."

Rean berdecih, membuat sesuatu di dada saya mendidih.

"Baru juga jadi mahasiswa tahun pertama udah sombong!"

"Rean! Satria!"

Riana menginjak rem saat lampu lalu lintas berubah warna menjadi merah. Dengan raut kesal ia memutar tubuhnya, menghadap saya dan Rean.

"Gue mohon banget, jangan ada adu mulut di sini! Gue capek!"

Rean bungkam, namun saya dapat melihat kilatan amarah di matanya saat menatap saya.

"Dan lo Satria," Riana menatap saya dengan tatapan yang tidak bisa saya artikan. "Tolong tahan rasa penasaran lo sebelum gue kasih lihat sesuatu sama lo."

"Kamu mau bawa dia ke sana?" tanya Rean, sedikit memekik.

"Why not?"

"Are you crazy, Miss?"

"Rean, dengerin gue." Riana menatap Rean lekat, mengabaikan kehadiran saya yang menatap mereka penasaran. "Lebih baik menambah satu kawan baru ketimbang menambah satu musuh baru."

"Maksud kamu ..." Rean menggantungkan kalimatnya. "Kamu beneran gila, Ann." Ia mendesah, menyugar rambut gondrongnya.

"Yes, I am."

"Mereka nggak bakal setuju."

"Kata siapa?" tantang Riana.

"Aku tahu, kamu adik kesayangannya. Tapi Ann, ini ide yang buruk."

"Nggak ada yang lebih buruk dari melepaskan kesempatan menambah personil yang memiliki potensi."

Rean menoleh sejenak, seolah menilai saya.

"Potensi apa? Aku nggak liat dia memiliki potensi yang kamu maksud."

Saya tidak tahu seperti apa reaksi Riana sekarang. Gadis itu sudah kembali fokus ke depan, dan tidak membalas kata-kata Rean.

Saat lampu telah berubah warna menjadi hijau, saya benar-benar telah kehilangan kesempatan menonton perdebatan Rean-Riana. Karena setelahnya, keheningan kembali menyapa kami.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro