16

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Frisson Espresso, New York.

"Apa benar ini tempatnya?"

"Small place but have a great coffe. Aku yakin ini tempatnya. Dia butuh uang untuk kelangsungan hidup. Kafe ini posisi yang strategis."

"Tunggu apa lagi, kita masuk sekarang."

Dua remaja memakai jaket gombrang masuk ke dalam kafe. Yang satu menyembunyikan kepala dan muka, sementara temannya menyapu pandangan ke pelanggan lain.

"Welcome, young boys. May i know what you guys want?" Staff perempuan menyambut ramah. Tangannya sigap memegang kertas catatan.

"Hello, cute lady. I want ask something. Do you know about Mupsi?"

Staff itu terdiam. Tangannya gemetar menggenggam pena, berdeham. "I'm sorry, kid, but i don't know what you are talking about," katanya secepat kilat menormalkan mimik wajah.

"If so, i'll change my question." Remaja itu melepaskan tudung kepalanya. Surai merah menyala merebut seluruh atensi pelanggan, menatapnya berbinar-binar. "Do you know me, cute lady?"

Staff perempuan tersebut menoleh ke depan. Para pelanggan curi-curi foto ke arah remaja berambut merah itu. Dia mengangguk. "Of course i know."

"Dia tahu tuh. Bagaimana sekarang?" tanyanya pada temannya yang sedari tadi diam menyimak.

"Anda bohong, Nona," ucap teman si rambut merah maju selangkah. "Anda memeriksa sekeliling yang menunjukkan keantusiasan pada partnerku dan mengikuti mereka supaya kami tidak curiga."

"Pardon?"

"Aku akan bertanya sekali lagi, apa Anda tahu Anlow Eldwers? Dia tewas ketika menyelidiki kasus Mupsi. Jika Anda menolak buka mulut, maka sia-sia mendiang Anlow melindungi Anda."

Staff perempuan itu menatap tajam mereka berdua. "Who the hell you guys?"

*

Hari ke-12 bulan musim panas. Aiden datang dengan rambut dua donat berhiaskan butir mutiara putih. Dia tiba di bangunan sekolah, mendongak menatap lambang Madoka. Tanda yang mengganggu pikiran Watson.

Apa yang menarik dari lambang itu? Kalau Watson sampai kepikiran, itu berarti pasti ada sesuatu di balik lambang sekolah. Tetapi apa? Aiden tidak sepintar mereka. Mana bisa Aiden menebak apa artinya.

Aiden mengepalkan tangan. Apa gunanya menjadi adik pendiri klub detektif jika Aiden ragu beranalisis. Aiden harus memikirkan satu hipotesis dari sudut pandangnya.

Oleh karena itu, Aiden berangkat ke klub. Kosong. Belum ada yang datang. Maklum karena masih pukul setengah tujuh pagi.

Mupsi meninggalkan simbol pada tubuh korban. Gambar bentuk dua tiang dengan bendera segitiga yang ujungnya saling bertemu.

Aiden mencoba menggambar ulang.  "Eh?" Dia terkesiap. "Kenapa jadi mirip huruf M? Ini kalau tidak salah, Scandinavion runes. Tidak, tunggu! Ini bukannya lambang Madoka?"

Aiden melongok ke luar jendela, menatap gambarnya dan lambang sekolah secara bergantian, menelan ludah. "Ini benar-benar mirip. Apa Dan benar? Ada sesuatu disembunyikan di balik simbol Madoka?"

"Kamu serius sekali. Memikirkan sesuatu, ya?" celetuk seseorang tepat di telinga Aiden.

Gadis Penata Rambut itu terlonjak, melotot. "GRIM! Kamu mengejutkanku!"

Grim tertawa, duduk di sebelah Aiden. "Habisnya kamu tidak merespon ketika aku masuk, jadi kupikir kamu sibuk berpikir."

"Baiklah akan kumaafkan. Selain itu, coba lihat ini. Simbol milik Mupsi mirip dengan lambang sekolah. Apa kamu tahu maksudnya?"

Grim memeriksa gambar Aiden, tersenyum. "Kamu berkembang ya, Ai.

Aiden ikut tersenyum. "Itu semua karena petualanganku bersama Dan sepanjang tahun. Berbagai kasus kami selesaikan. Dan sendiri tidak mau kami menjadi beban di TKP, makanya dia mengajarkan satu dua hal."

"Kamu menyukainya, kan?" Pertanyaan yang tertahan sejak lama.

"Eh?" Aiden kikuk.

"Caramu melihatnya, membicarakannya, kepedulianmu, terlihat jelas. Aku berani bertaruh, kamu pasti menyukai Watson."

Aiden diam. "Sekentara itu kah?" gumamnya meringis.

"Kalau kamu menyukainya, aku akan ikhlas dan mundur. Jika tidak, maka aku akan berusaha memperbaiki hubungan kita."

Aiden menatap Grim yang bersungguh-sungguh mengatakan itu, menghela napas. "Entahlah, aku tak yakin. Dan terlalu misterius. Aku ragu kalau menyukainya."

"Jadi jawabannya gantung nih? Berarti aku bisa maju dong." Grim menyeringai.

Aiden berkacak. "Enak saja. Kamu renungi sana perbuatanmu! Lagi pula ya, aku tertarik sama Dan karena dia pintar dan baik hati. Tipekal banget deh."

"Kalau kamu bilang itu di depan orangnya, kamu nanti didamprat lho. Hati-hati."

"Berhenti meledekku dong!"

Di luar pintu klub, Watson bersandar di dinding, menundukkan kepala. Dia mendengar semuanya.

Skip time.

"Jadi, apa yang kita bahas hari ini? Apa ada petunjuk baru?" Erika membuka obrolan.

Watson membalas dengan menguap. Mata sayunya menatap datar Grim dan Aiden yang serius saling melempar deduksi.

"Akhirnya cemburu nih?" Alis Jeremy naik-turun, menoel-noel pipi Watson. "Ayolah, Watson. Apa susahnya mengatakan kamu cemburu melihat interaksi mereka."

"Aku tidak cemburu, Jeremy! Harus berapa kali aku mengatakannya? Lihat dengan siapa kamu berbicara!" ketus Watson mendengus.

"Kenapa kamu bersikeras menyangkal sih? Rahangmu mengeras, tanganmu terkepal, matamu berkilat-kilat. Jelas kamu cemburu!"

"Aku hanya—"

"Jangan mengelak lagi deh, Wat! Kamu itu cemburu! Cem-bu-ru!" Jeremy menekankan kata cemburu.

"Kamu masalahnya apa sih?! Aku bilang tidak ya tidak! Bukankah kamu yang bersikeras di sini?" Watson mulai dongkol.

"Halah! Pembohong!"

Hellen manyun. Kenapa mereka jadi bertengkar... Tak biasanya Watson terpincut emosi begitu. Jeremy juga, menggoda Watson mulu. Dasar laki-laki!

Cowok ini, Erika memperhatikan Watson lekat-lekat, mengernyit. Apa itu barusan? Apa aku salah lihat? Ada gerakan tak lazim pada wajahnya...

"Aku hanya ingin menangkap Mupsi secepatnya, Jeremy. Kamu salah paham." Watson mengembuskan napas, berusaha menahan jengkel. "Kita mentok, tidak ada petunjuk. Terlebih, kita belum mulai mengeliminasi murid-murid Madoka yang akan ditargetkan oleh Mupsi. Kenapa suasana klub malah damai? Aku tidak bisa berpangku tangan. Kita bisa merasakan damai setelah Mupsi tertangkap."

"Kenapa kamu terburu-buru sih, Watson?"

"Bukan aku yang tergesa-gesa, kalian lah yang terlalu bersantai!" Watson malah melampiaskan kekesalannya pada Aiden dan yang lain. "Seorang penjahat berkeliaran di sana, tapi kalian justru enak-enakan. Aku tidak bisa menerimanya. Walau harus sendiri, aku akan mencari Mupsi."

"Tunggu, Dan!" Aiden mencengkram lengan Watson. "Kamu mau ke mana? Jangan marah-marah dong. Kita pikirkan jalan keluarnya bersama-sama."

"Aku tidak ingin bekerjasama dengan para pemalas, itulah pantangku. Aku akan mencari petunjuk ke hotel Martenpuce. Kalian dukung saja dari sini." Watson melepaskan pegangan Aiden, berlalu dari klub.

"Dan..." Aiden menoleh jengkel. "Ini gara-garamu, Jeremy! Tak henti-henti menggoda Dan. Lihat, Dan jadi ngambek kan."

Jeremy menggaruk tengkuk. Tak punya pembelaan diri. Mana tahu Watson jadi seemosional itu. Tampaknya Watson terlalu memikirkan tentang kasus Mupsi.

Atau mungkin pengalihan dari rasa cemburu? Jeremy menampar pipi. Berhenti menggodanya ah! batinnya mengelus bekas tamparan.

"Bagaimana sekarang?" Aiden menatap Grim.

"Tentu saja kita ikuti dia."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro