5

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Namaku Chaka Canderton. Dia Gita Tabitha. Aku senang bisa bertemu dengan kalian, Klub Detektif Madoka. Pertunjukan kalian pada Moufrobi terkenal di kalangan remaja."

Jeremy memanyunkan bibir. Pertunjukan katanya? Mati-hidup melawan penjahat pedofil... Para massa sepertinya kehabisan ide membuat kata-kata pada poster iklan.

"Jadi, bagaimana kesaksian kalian?"

Chaka menghela napas. "Kami tiba ke Hedgelea pukul delapan pagi. Kami sengaja cepat datang supaya kami bisa pulang sebelum pantai sesak oleh pengunjung. Saat hendak berenang, aku melihat ada banyak burung pada satu batu besar berlumut. Lantas kami menemukan mayat itu."

Chaka merangkul bahu Gita yang merinding jeri mendengar cerita ringkasan Chaka. Menjadi saksi tidak semudah yang dikira.

Hanya itu? Aiden dan Hellen bersitatap.

Jam delapan, ya. Itu masih terbilang pagi. Erika berkacak pinggang. "Apakah kalian menemukan sesuatu di sekitar mayat?"

"Ah, iya!" Chaka mengangguk cepat, mewakili temannya. "Gita memungut kayu pendek yang sudah lapuk. Kukira itu pecahan sendi-sendi kayu yang menempel di kepala korban."

Deg! Grim dan Erika terkesiap.

"Kenapa?" Jeremy segera bertanya.

"Tidak bisa kukatakan di sini." Grim bangkit, membungkuk sopan. "Terima kasih atas kerja sama kalian berdua. Kesaksian kalian amat membantu penyelidikan. Jangan khawatir, para petugas akan menjaga kalian sampai pelakunya tertangkap. Kalau begitu kami permisi dulu."

Sudah? Begitu saja? Tidak ada pertanyaan lain? Aiden ikut berdiri, mengejar Grim yang melangkah keluar dari rumah Sammy.

Tiga kali dengan ini Watson tertinggal. Seharusnya orang normal mulai merajuk dan marah ditinggal berturut-turut. Tapi karena itu Watson, tiada kemarahan atau kecemburuan.

Mereka berlima semangat sekali. Watson mengembuskan napas panjang.

"Ngomong-ngomong...!" celetuk Chaka patah-patah. Watson menatapnya datar, mengernyit melihat perubahan latar. "Aku tahu waktunya tidak tepat, namun kamu adalah member Klub Detektif Madoka favoritku! Setiap melihat dokumenter aksi kalian berempat, aku selalu fokus pada analisismu. Sungguh genius."

Watson diam.

"Kalau kamu butuh bantuan kami, tidak usah segan menghubungi. Kami bangga bisa berkontribusi pada Detektif Madoka." Chaka memberikan secarik kertas yang tertera nomor.

Watson menerimanya tanpa banyak bicara, mengangguk anteng.

*

"Cepat sekali kalian keluar, tidak seperti biasa. Kalian sudah mendapatkan sesuatu dari saksi?" Deon bertanya, langsung menghampiri setelah selesai menggali informasi dari Sammy.

Dibanding menjawab pertanyaan kedua, Erika lebih tertarik pada kalimat pertama Deon. "Tidak seperti biasa?" ulangnya menatap Aiden, Hellen, dan Jeremy. "Memangnya yang seperti biasa mereka bagaimana, Inspektur?"

Deon bingung. "Lebih hati-hati mungkin?"

"Hah! Sepertinya aku terlalu berekspetasi tinggi pada kalian," ucap Erika menatap remeh mereka bertiga. "Kalian tidak berkembang sedikit pun. Kutebak, kalian pasti hanya mengandalkan Watson Dan."

Aiden tersinggung. "Apa maksudmu?"

"Erika! Jaga bicaramu." Grim berseru memperingati. "Kamu sudah berjanji padaku."

"Yeah, aku janji. Tetapi ini keterlaluan, Grim! Mereka sama sekali tidak berkembang. Menurutmu, bagaimana perasaan Kak Anlow di atas sana melihat adik beserta teman-temannya stuck di tempat sama? Kamu tahu aku sangat menghormati dia. Aku tidak mau Kak Anlow kecewa!"

Aiden menundukkan kepala. Hellen mengepalkan tangan. Jeremy kesal. Lagian Erika tidak sepenuhnya salah. Mereka bertiga memang terlalu bergantung pada Watson.

Tap! Seseorang berhenti melangkah di depan rombongan tersebut, berekspresi datar. Yang disebut-sebut panjang umur.

"Bisakah kamu berhenti memonten orang lain?" cetus Watson dingin. "Apa kamu merasa dirimu paling pintar di dunia ini? Setiap manusia berkembang dengan sendiri-sendirinya. Siapa kamu memangnya berani sekali mengatur perkembangan mereka. Kalau mau, aku bisa saja menyelesaikan kasus ini cukup bersama Aiden, Hellen, dan Jeremy tanpa bantuan kalian sekali pun. Kamu pikir aku benar-benar menahan diri?"

Keringat di dahi Deon mengalir, menatap Watson. Perasaannya saja kah?

"Hoo." Erika menyeringai, mendekat kepada Watson. Tatapan tertarik. "Jika kamu lebih pintar dari kami," Dia mengeluarkan sesuatu dari celananya, selembar kertas. Ada coretan angka 27 di ujungnya. "Tampaknya detektif pemurung genius pun punya kelemahan juga."

Itu lembar ulangan sejarah Watson!

Sudah cukup berdiam diri. Aiden menyambar kertas tersebut, tapi Erika cekatan menghindar. "Berikan itu padaku, Rika! Jangan mempermainkan orang!"

Erika tertawa jahil. "Siapa yang mempermainkan siapa. Aku ingin tahu reaksi orang genius melihat kekurangan dirinya—"

Aiden dan Erika berbarengan menatap Watson. Keduanya juga berbarengan diam.

Muka Watson merah padam. Malu luar biasa. Padahal sudah sok-sokan menceramahi, eh tahu-tahunya berbalik ke diri sendiri.

Asdfghjkl! Damage macam apa ini?! Aiden dan Erika mengumpat indah di hati.

Deon menghela napas singkat. "Yah, semua orang punya batasan. Kuharap kalian tidak bertengkar konyol demi menunjukkan siapa yang paling pintar. Aku yakin kalian cukup dewasa bersikap demikian di TKP."

Erika membuang muka. "Hmph."

Tidak mau terlarut dalam suasana canggung lebih lama, Grim berdeham. "Bisakah kita kembali ke sekolah? Hanya di ruang klub satu-satunya tempat yang bisa membuat otak bekerja lancar."

"Kalian mau balik? Apakah tidak ada yang perlu ditanyai lagi pada saksi? Atau sekiranya memeriksa ulang TKP." Ini aneh! Klub detektif Madoka tampak lebih profesional karena cowok bernama Grim itu! Bawaannya tangkas dan akurat daripada Watson.

Grim mengangguk. "Bisakah Pak Inspektur mengantar kami? Kasus Mupsi sama seperti kasus penculikan. Lamban, maka kita tertinggal selangkah. Satu remaja bisa terbunuh lagi."

"Baik, aku paham. Naiklah ke mobilku."

*

Satu jam kemudian. Papan diskusi sudah penuh dengan data pembunuhan Mupsi. Meja diskusi padat oleh berbagai dokumen tentang kasus Mupsi. Grim memimpin rapat tersebut.

"Jadi, siapa yang mau memulainya?" Grim menatap Aiden yang cuek—tak suka kalau harus Grim mengepalai. "Bagaimana pendapatmu?"

"Entah. Aku kan bodoh, tidak sepintarmu dan Rika. Mana aku tahu." Aiden menjawab ketus, mengangkat bahu.

"Aiden... Aku memohon padamu, sekali saja bersikap serius. Kita harus menangkap pelakunya supaya Kak Anlow tenang dalam tidurnya."

Percuma. Sekuat apa Grim membujuk, Gadis Penata Rambut itu mendengus. Menghela napas lelah, Grim melirik Watson—anak itu malah asyik menulis, tidak memperhatikan diskusi.

Dia lebih pendiam dari kemarin. Ketua baru Klub Detektif Madoka masih belum unjuk bakat juga. Grim mendesis.

Bagaimanapun, Grim harus membuat Watson memperlihatkan deduksinya. Grim tahu Watson menyembunyikan sesuatu. Grim tidak percaya Watson tidak menahan diri. Ucapannya tadi hanya gertakan kosong.

Grim mengatupkan rahang. "Kalau kamu, bagaimana pendapatmu, Watson Dan?" tanyanya melempar umpan.

Watson diam. Jemarinya senantiasa menari di buku diari kesayangan. Aiden tahu persis bahwa Watson tidak boleh diganggu jika sudah masuk ke istana pikirannya.

Hellen mengalah. Dia sukarela membuka topik pembicaraan. "Tadi, apa yang kamu dapatkan dari Chaka? Kalian berdua kesentak begitu mendengar tentang kayu yang terpisah. Pasti ada maksudnya kan."

Akhirnya dimulai juga.

Erika bersedekap. "Apa kalian tahu nama alat pengendali boneka Marionette? Itu lho, kayu silang berbentuk X dengan benang-benang."

Tsk! Cewek itu terlalu meremehkan mereka. Aiden berdecak. "Tentu saja kami tahu. Marionette adalah nama boneka yang dikendalikan. Sementara Puppeteer adalah yang mengendalikan kayu peraganya. Pada situasi tertentu, banyak yang salah paham dan salah mengartikan perbedaan keduanya. Aku sendiri juga tidak terlalu yakin. Makanya Marionette dan Puppeter digabung menjadi satu yang berarti boneka pertunjukan."

Grim menggambarkan kerangka Marionette. "Benar. Umumnya boneka pertunjukan memakai kayu ulin atau wooden, kayu yang bertahan lama dimainkan beberapa kali. Akan tetapi, Gita menemukan patahan sendi-sendi kayu yang keropos. Hal itu menandakan bahwa tubuh korban sudah lama diletakkan di pantai Hedgelea."

Sorot wajah Aiden, Hellen, dan Jeremy berubah serius. "Estimasi?"

"Perkiraanku tiga hari. Kita tidak bisa melupakan kadar garam air laut."

"Eh? Aneh sekali. Tiga hari itu cukup lama. Kenapa tidak ada yang menyadari sebuah mayat tergeletak di bibir pantai?"

Erika menyeringai. "Bagus! Aku suka kesimpulanmu, Aiden. Dengan kata lain..."

Tuk! Mereka berlima menoleh ke Watson. Pena di tangannya jatuh menggelinding, dan BRUK! Kepalanya mengantuk permukaan meja. Watson tiba-tiba pingsan.

"Dan? Dan!" Aiden beranjak dari kursinya, menepuk-nepuk punggung Watson. Antara panik dan cemas. "Bangun, Dan."

"Kenapa dengannya?" Grim dan Erika saling tatap bingung.

"Narkolepsi Watson kambuh?"

Hellen menggeleng, setelah menyentuh kening Watson. "Kurasa ini bukan narkolepsi deh," gumamnya tersenyum simpul. "Badannya panas."

"Eh?" Mereka menelengkan kepala.

Napas Watson tak beraturan. Mukanya merah. Tubuhnya perlahan mengeluarkan sensasi panas. Keringat berkumpul.

Hellen tersenyum kikuk, menggaruk pipi. "Kurasa Watson terserang demam musim panas."

"HEE?!!!!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro