13. Korban Kedua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hanya sudah memberitahu bahwa ada polisi yang akan bekerja sama dengan kami. Namanya Sasan Derara. Kami pun bertemu di rooftop sepulang sekolah.

"Saya sudah memeriksa rekaman semua CCTV yang ada di SMA ini, tapi saya tidak menemukan sosok mencurigakan naik ke rooftop. Cuma Graciana seorang diri. Jika yang kalian katakan itu benar, besar kemungkinan Graciana ditembak oleh senapan. Tembakan jarak jauh."

"Sniper, ya?" Aku mengelus dagu.

Kalau begitu, pelakunya orang dewasa? Tapi... kenapa dia menargetkan kami? Duh! Aku tidak mengerti dan aku berani bertaruh, tak ada satu pun antara aku dan teman-temanku yang punya masalah sama orang dewasa. Kami kalem soalnya.

Tapi kalau sudah acara kumpul-kumpul, jiwa reog kami tersummon. Memalukan.

"Belum tentu juga, Sen," ucap Serena seakan membaca pikiranku. "Mana tahu pelakunya ber-uang dan berpengalaman dalam menembak. Masih ada peluang pelakunya remaja labil seperti kita."

"Maksudmu dia psikopat?" ujar Abigail.

"Sudah jelas, kan? Dia membunuh seekor kucing, meneror kita semua dengan surat berdarah, lalu menembak mati Graciana. Pelaku sialan ini Pasti kelainan jiwa."

"Sabar, Rena, sabar." Aga mengusap-usap punggungnya. "Petunjuk tentang Auristella masih sedikit. Kita harus ekstra sabar."

Sasan mengernyit. "Auristella? Kalian memberi panggilan yang terlampau bagus untuk seorang pembunuh. Impresif."

"Tanda-tanda yang ditinggalkan pelaku selalu berhubungan dengan bintang, Opsir San. Makanya kami panggil dia begitu," kataku, menatap datar surat Auristella.

"Bintang hee..." Sasan bergumam.

Apa ada yang luput dari mataku? Kami butuh lebih banyak petunjuk... Lama-lama ini mulai terasa menyebalkan! Kenapa aku harus bermain detektifan begini sih.

Hanya yang kami harapkan malah sibuk sendiri, melamun, menatap lurus ke bianglala di taman bermain Sky Starry. Aish, anak itu! Kenapa dia suka sekali memandangi kincir ria beroda bintang itu sih? Apa ada hal menarik di sana?

Kulihat dia menoleh ke samping. Satu alisku naik ke atas. Sekarang, apa yang dia pandangi? Aku ikut memperhatikan benda yang ditatap Hanya. Tiang lampu.

Tidak, tunggu. Ada cctv di sana! Benda itu menyorot ke arah gerbang sekolah.

"Opsir San, apa anda sudah memeriksa kamera di jalan itu?" Aku bertanya.

Sasan melongok ke bawah, menggeleng. "Sepertinya itu bukan cctv milik sekolah kalian. Kamu mau saya mengeceknya?"

Aku melirik Hanya yang diam saja, mungkin di-nerf, memutuskan mengangguk.

"Petugas tidak perlu formal begitu. Lagi pula kita sekarang rekan tim, kan?" kata Cielo bersedekap, mengacungkan jempol.

"Nyenye." Baru lah Hanya bersuara (amat pelan), mencemooh perkataan Cielo.

Aku geleng-geleng kepala. Dasar bocah!

*

Fiuh! Untunglah si empunya cctv mau membantu. Bahkan dia memperbolehkan kami meminjam komputernya untuk menonton rekaman. Dasar orang baik!

Tidak ada yang mengganjal di video itu. Kamera hanya merekam siswa-siswi di SMA kami yang keluar-masuk sekolah. Ada yang naik motor, ada yang bawa tas gitar besar, ada yang naik angkot, ada yang diantar mobil. Aneka ragam.

"Stop!" Hanya mendadak berseru.

"Hah? Apa? Kenapa? Ada something?"

Aku menatap Hanya bingung. Dia fokus memelototi layar komputer. Rekaman itu berhenti berputar pada siswi yang membawa tas gitar. Apa yang aneh?

"Guys!" Mimosa datang dengan napas tersengal—dia tak ikut investigasi sebab mengerjakan PR bersama Chausila. Tipe pelajar kalau bisa dikerjakan di sekolah, kenapa harus di rumah. Alias rajin. 

Tidak. Itu hanya kedok biar sesampainya di rumah, mereka tinggal berleha-leha.

"Lho, kok kau tahu kami di sini?"

Dia menunjuk Abigail. "Lilitha yang kasih tahu di WA." Mimosa mendekati kami, mengatur napas. "Sila nyusul kalian?"

Aku menarik badan. "Huh? Bukannya kalian tinggal di kelas ngerjain tugas?"

"Rencananya sih begitu... Tapi lima menit kami baru mulai nugas, Chausila pergi entah ke mana lalu tidak balik-balik."

Hanya beralih merogoh ponselnya. "Oh, dia mengirimku pesan 20 menit lalu."

"Kenapa tidak cek dari tadi?!"

"Hapeku mode silent," dengusnya, menekan balon obrolan Chausila. "Pergilah ke ruang OSIS?" Hanya mengerjap tiga kali. "Seingatku hari ini tidak ada rapat. Pemilihan kepsek baru diadakan lusa."

"Pasti dia mendapatkan sesuatu!"

"Kalau begitu tunggu apalagi? Ayo kita ke sana sekarang!" Aga berseru antusias.

*

Kukira kami akan melihat ruang OSIS yang bersih mewah, ternyata sebaliknya.

Aku manyun memperhatikan sekitar yang gelap, suram, berantakan kayak kapal pecah. Setelah kematian Gracia, Hanya pasti makin sering bermalasan karena tidak ada yang lagi menyuruhnya ini-itu. Salah satunya membersihkan ruang OSIS.

"Lihatlah debu ini." Noura mendesah panjang. "Apa kau gak pernah menyapu lantai? Aish, dasar ketos otak di kaki."

Hanya sih bersikap bodo amat, sibuk mencari Chausila. "Kami di sini, Sila. Kau di mana? Apa ada event petak umpet?"

"Aneh. Chausila sudah tidak ada."

Abigail bersedekap. "Mungkin dia sudah pulang karena dikacangin oleh samwan," ledeknya, menatap Hanya tak minat.

Aku menekan dada. Perasaan buruk apa ini? Seolah telah terjadi sesuatu...

"Sila! Kau ada di mana—Cprat!—Ng?" Hanya menatap ke lantai. Kakinya menginjak sebuah genangan air. Asalnya dari lemari. "Apa ada yang tumpah..."

Satu kata untuk Hanya: menyesal.

Dia benar-benar menyesal membuka pintu lemari, jatuh lemas terduduk. Kami melotot syok. Sasan mengepalkan tangan.

Aku berbinar-binar menyaksikan Sila tersandar di dalamnya, terbujur kaku tak bernyawa, dengan banyak jari-jari sepeda bersarang di sekujur tubuhnya.

Korban kedua telah jatuh.



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro