17. Harusnya Kau Tidak Bertingkah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku pikir aku sudah mulai memahami motif Auristella meneror kami, namun nyatanya kosong. Tidak ada satu pun pendekatan yang benar. Sebenarnya apa saja yang kami lakukan sejauh ini?

Aku pikir Auristella hanya mengincarku dan teman-temanku, hanya membidik kami yang menerima surat terornya...

Tapi, apa-apaan ini? Kenapa sekarang Buk Ardena ikut kena imbas obsesinya? Apa beliau melakukan suatu kesalahan yang menyinggung Auris? Jika iya, apa?

Aku mengepalkan tangan. Perasaan tak berdaya ini... merongrong terlalu jauh.

Kulihat Opsir Sasan tengah menenangkan Mimosa dan Agacia yang terdiam syok.

Kini mereka juga merasakan perasaan ngeri yang dirasakan Serena ketika melihat Graciana jatuh dari rooftop. Mungkin cuma Hanya yang baik-baik saja selepas melihat mayat Chausila.

Alih-alih ambulans, aku menelepon Opsir Sasan. Hanya bilang Buk Ardena sudah tewas setengah jam lalu usai dia memeriksa denyut nadi dan kulit beliau. Jadi tidak ada gunanya memanggil 112.

Setengah jam lalu... itu berarti sebelum bel pulang berbunyi. Apa Auris membolos di tengah-tengah pelajaran? Kalau begitu aku bisa mendapatkan jejaknya—

"Sen," tegur Hanya. "Kita harus bicara."

*

Kami berdua segera menjauh dari TKP (rumah Buk Ardena) yang sudah ramai oleh warga sekitar dan anggota polisi.

"Ardena-sensei tak bunuh diri melainkan dibunuh," cetus Hanya tanpa basa-basi.

"Aku tahu," gumamku lesu. "Auris, kan?"

"Ya, tentu saja. Siapa lagi tersangka utamanya selain penjahat kelas kakap kurang belaian itu." Hanya bersedekap.

"Seseorang yang bunuh diri dengan cara menggantung diri secara refleks akan memegang lehernya yang terjerat tali karena asfiksia akibat adanya penekanan pada arteri karotis. Dampaknya, 8 jari kecuali dua jempol, akan meninggalkan jejak kemerahan gitu. Tetapi aku tidak menemukannya di tangan Ardena-sensei."

"Artinya?" Aku menatap Hanya serius.

"Dengan kata lain, Ardena-sensei diberi racun dahulu baru beliau digantung. Tapi aku tadi sudah memeriksa gelas-gelas yang kemungkinan diolesi racun oleh Auris, dan tak ada yang mengganjal."

Itu berarti Auristella membawa barang bukti bersamanya. "Apakah karena itu kau memperhatikan jendela yang sedikit ternganga? Auris kabur lewat sana."

"Kau menyadarinya, ya? Baiklah, itu poin satu. Tapi poin utama yang kumaksud—"

"Bagaimana cara Buk Ardena diracun..." celetuk seseorang. Kami berdua menoleh. Rupanya Abigail dan Cielo. "Itu yang tak kau pahami kan, Tuan Detektif Hanya?"

Hanya mengeluarkan suara puh pelan, tidak menyangka mereka menguping.

"Terus terang, teko air yang terjerang di kompor sangat menganggu pikiranku," gumam Cielo menyampaikan pendapatnya.

"Apa saja yang kau lihat di dapur?"

Cielo mengelus dagu, mengingat-ingat. Bagaimanapun kami tidak dapat masuk ke rumah beliau lagi karena tempat itu sudah dipalangi police line. Kami hanya bisa mengandalkan ingatan sekarang.

"Ah! Ada dua buah gelas dan... teh."

Buk Ardena ingin membuat teh? Tapi kenapa gelasnya ada dua? Mungkinkah—

"Sasan, suruh anak-anak itu pulang!"

*

Karena atasan Opsir Sasan mengusir kami, deduksi kami terpaksa tertunda. Maka dari itu kami membuat janji di grup WA agar datang cepat ke sekolah. Lebih nyaman diskusi secara tatap muka.

Aku berjalan cepat ke ruang OSIS—kami sepakat berunding di sana—mengernyit melihat Hanya memelototi kamera cctv.

"Kau sudah datang, heh? Tumben gercep."

Hanya tidak menjawab. Dia melepaskan papan nama di seragamnya—FYI, papan nama di SMA-ku terbuat dari akrilik, alias tidak mudah pecah—kemudian mengeluarkan... katapel?! Mau apa dia?!

Wush! Prang!!!

"Yowes." Hanya meniup ujung katapel yang berasap. "Tidak sia-sia aku main game FPS. Bisa tepat gitu tembakanku."

"YAK!" Aku melotot. Suku cadang kamera berjatuhan. "Apa yang kau lakukan woi?! Itu cctv milik sekolah! Mahal jancok!"

Hanya mengedikkan bahu, santai. "Aku khawatir Auristella sudah menyabotase seluruh cctv. Sekalian saja kuhancurkan. Aku kan kaya. Aku bisa menggantinya."

Apa yang harus kulakukan pada Hanya?

A. Sepak terjang.
B. Bogem mentah pipinya.
C. Pelorotin celananya.
D. Ceburin dia ke kolam.

Terlalu banyak opsi menggiurkan. Kalau bisa semuanya, kenapa harus pilih satu?

"ALSENON! APA YANG KAU LAKUKAN?!"

"Membuangmu ke tong sampah," kataku tersenyum watados, lanjut menyeretnya. Kami keluar dari singgasana OSIS.

Murid-murid yang baru datang ke sekolah, menatap bingung aku mengeret Hanya seperti membawa kantung beras. Setengah dari mereka, menonton seru.

Langkahku terhenti di areal mading yang riuh. Siswa-siswi berkumpul di situ, mengerubungi papan pengumuman.

Ah... Pasti berita kematian Buk Ardena telah diberitahukan oleh wakil kepala sekolah. Aku yakin hari ini tidak ada PBM. Kami akan melayat nanti siang.

"Kasihan Buk Ardena." Mereka pun mulai bubar dari barisan (demi menotis batang hidung ketos) melewatiku dan Hanya yang hanyut di pikiran masing-masing.

"Mungkin dia punya masalah berat sampai memutuskan mengakhiri hidupnya."

Kalian salah. Buk Ardena itu dibunuh...

"Harusnya kau tidak bertingkah."

DEG! Aku menoleh ke kerumunan murid yang heboh di lobi sekolah. Suara itu...

"Kau harus tunggu giliranmu, Alsenon."

Benar! Spektrum suaranya sama! Di antara mereka ada Auristella?! Tapi... yang mana satu?! Setidaknya ada 18 murid di belakangku saat ini. Walaupun aku berusaha menghalangi mereka satu per satu, mereka hanya akan marah membuat Auristella sadar aku mendengar gumamannya. Aku tidak boleh gegabah.

Setidaknya sekarang aku tahu, kalau Auristella sialan itu sekolah di SMA-ku!






Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro