3. Bukan Prank Rupanya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Karakter ketiga yang terdeteksi oleh radar; Oviya O. Serena, anak emas di klub melukis. Kalau kalian bingung dan bertanya apa nama tengahnya, aku juga tidak tahu. Serena bakal mencak-mencak kalau kutanya tentang itu.

"Jadi, urusan penting apa yang membuat seorang Senon mengajak Serena berdamai?"

Kukeluarkan surat prank tadi. Serena nyimak. "Mau nanya, tulisan ini dibuat pakai wenter atau... sesuatu yang lain." Kok nyaliku jadi ciut begini sih? Tak mungkin kan itu darah.

Bukannya menjawab pertanyaanku, Serena justru menutup hidungnya seolah aku sedang memegang kaus kaki yang difragmentasikan.

"Kenapa kau?" Aku mengernyit.

"Apa kau nggak mencium apa-apa?"

Melihatku yang menggeleng polos, Serena pun mengeluarkan freshcare dengan sarung mainan detektif lantas menyodorkannya ke hidungku. Aku mengerjap. Apa yang dia lakukan?

"Rhinitis-mu belum sembuh rupanya. Jangan keseringan main debu," decaknya. "Hidungmu tersumbat. Makanya nggak kecium apa pun."

"Memangnya ada bau apaan sih?"

"Bau amis. Busuk pokoknya. Kau dapat dari mana sih? Kemarin hidup, hari ini tiada? Kau diisengin sama seseorang ya? Kenapa nggak ngadu ke Hanya sih? Dia kan jago ginian."

"Kau tamak sekali dalam bertanya." Aku mengembuskan napas panjang. Hanya tidak masuk sekolah. Lagian Serena tahu persis anak itu pemalas. Mana mau dia menolongku gratis.

Kecuali kalau kusogok dia sama sesuatu.

"Ayolah, surat sial ini membebani pikiranku. Aku cuman ingin tahu, apa ini pewarna atau—"

"Tidak. Kurasa itu bukan cat air," potong Serena menatapku serius. "Teksturnya beda, terutama baunya. Ini lebih ke bau darah."

Aku diam. Serena tahu alasan keterdiamanku.

Jadi surat ini bukan lah prank melainkan surat teror. Ada yang punya dendam padaku? Wait, diriku. Jangan berpikir ngasal begitu. Dinilai dari isi suratnya, terlalu tidak masuk akal mengklarifikasinya sebuah teror. Lagian aku cuman punya sembilan teman di SMA ini.

"Kau gitu ya, Sen. Diskriminasi teman."

Tidak kusangka Aga dan Abigail menyusulku kemari, menatapku sebal. Aduh, gawat. Aku terciduk (tanganku masih megang surat itu).

"Bukan, Ga, Lith. Ini tak seperti itu. Aku tidak bermaksud menyembunyikannya. Aku... mau memastikannya dulu ke Serena baru aku kasih tahu kalian. Jangan salah paham, oke?"

"Jingin silih pihim iki." Aga mencibir. "Nyeh!"

Tidak mau disatirin oleh mereka, aku pun menjelaskan singkat tentang surat laknat itu.

"Kemarin hidup, hari ini tiada. Apa maksudnya? Apa ini pesan kematian?" komentar Abigail setelah aku selesai mendongeng pendek.

Aku menggeleng tidak tahu. Aku tak ada ide.

"Kalau itu sebuah surat kematian, apa mungkin yang menulisnya mau bunuh diri? Pasalnya dia menulis 'hari ini'. Kali saja nanti siang?"

Celetukan Serena sukses membuatku dan Abigail terdiam. Aga pun sampai mematung.

*

Seharusnya aku tidak terlalu mempedulikan kalimat Serena, namun aku tak bisa menampik fakta bahwa celetukannya benar-benar mengganggu otakku. Iya, soal bunuh diri itu.

Perkataan Serena tidak sepenuhnya salah. Si penulis membuat 'kemarin hidup', itu berarti dia masih punya keinginan hidup. Dan 'hari ini tiada', dia kehilangan hasrat untuk hidup.

Hanya!!! Kau kenapa tak masuk sekolah sih?!

"Psst, psst." Di tengah penerangan materi, Abigail melempar bola kertas yang sudah diremukkan jadi sekecil upil ke wajahku.

Aku melotot. "Kenapa?" balasku berbisik.

"Bagaimana kalau kita ke rooftop pas jam istirahat nanti?" Dia payah dalam bahasa isyarat, kenapa mengerak-gerakkan tangan? Yang kulihat dia hanya melambai-lambai saja.

"Buat apa—" Aku tersentak. Jangan bilang Abigail juga kepikiran dengan surat itu dan celetukan Serena? Aku baru tahu Abigail tertarik dengan hal-hal berbau misteri begini.

"Antisipasi, antisipasi. Jaga-jaga kalau yang nulis surat itu betulan mau bunuh diri." Dia memperjelas tujuannya ke rooftop, tempat strategis pertama untuk membuang nyawa.

Aku berdeham, perlahan mengangguk. Terus terang isi surat itu membuatku resah sekaligus heran. Satu pertanyaan terbit di kepalaku...

Jika dia mau bunuh diri, kenapa harus bikin surat kematian dan terlebih, meletakkannya ke lokerku? Aku yakin ke-9 temanku tidak punya keinginan untuk bertemu Tuhan dengan cepat, jadi tidak mungkin mereka yang menulisnya.

Ah. Mendadak aku jadi melankolis.

*

Sementara itu, di latar yang berbeda tepatnya di belakang gedung sekolah, ada satu siswa dan satu siswi berusaha menjelaskan soal "kertas berdarah" yang mereka temukan di Bank Sampah ketika membuang sampah kelas  yang sudah menumpuk kepada anggota PKS.

Seorang gadis baru bergabung ke sana.

"Jadi, kalian menemukan surat yang ditulis pakai darah dengan kalimat 'kemarin hidup, hari ini tiada' tergeletak di tong sampah..."

"Haruskah kita melapor pada Ketua Osis?"

Hand badge PKS (patroli keamanan sekolah) berwarna merah, menempel di lengan seragam gadis itu. Sorot matanya serius dan tegas.

"Sepertinya, ada yang bermain-main dengan kematian." [Nourasta Cheverly. Ketua PKS.]





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro