43. Korban Kelima

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Di pagi hari yang cerah, aku sudah melamun memandangi foto Kak Hoshia dan Kak Alpha. Aku merasa ada yang aneh dari foto tersebut. Di dalam foto, Kak Alpha tersenyum lebar dengan mata terpejam, begitu pula Kak Hoshia.

Aku tersenyum miris. Mereka tampak sepasang kekasih yang saling mencintai. Andai aku juga bisa seperti mereka. Tapi genre menolak.

Lagi pula aku tidak menyukai siapa pun...

"Serena, biar aku saja. Ini bagianku."

Aku menoleh malas ke depan. Serena sedang membantu seorang cowok dari kelas kami yang bertugas menghapus papan tulis.

"Gak apa. Kau tadi kan juga menolongku. Sekarang gantian. Lagian aku gak pendek kok."

Ctik! Tanda jengkel hinggap di keningku.

Apa pula Serena sok baik di depan orang lain? Dia pasti sedang pencitraan! Setiap aku piket kelas, dia selalu merobek bukunya dan membuat sampah supaya pekerjaanku bertambah.

"Nape?" Cielo tersenyum genit. "Ututu. Babang Alsenon cembokur, ya? Makanya tembak sana."

"Mak kau. Kepalamu yang mau kutembak?"

"Kapan lagi ya kan?" Aku menatap Cielo lebih baik. Gadis itu melakukan peregangan. "Kita gak tahu berapa lama bertahan hidup. Bagaimana kalau kita mati tanpa menikmati masa muda?"

Nah, sejak kapan pula Cielo punya sisi sentimen begini? Aku menyeringai. "Ke mana perginya  Dyra yang semangat hendak membunuhku?"

"HAHAHA! Apa kau tersinggung saat itu, Sen? Wahai! Aku gak tahu Senon rupanya sensitif. Atau..." Cielo menatapku dingin. "Kau memang mau mati di tanganku? Aku gak keberatan."

"Provokasi yang gak berguna," sahutku datar.

"Bisakah kalian berdua diam? Aku mau tidur, tapi kalian terus mengoceh. Kepalaku sakit nih!"

Kami berdua menoleh ke Hanya. Hari ini dia terlihat lemas, padahal kemarin masih baik-baik saja—setidaknya sampai kami berpisah karena Hanya harus pergi melihat latihan Klub Panah.

Aku mengelus dagu. Apa Auri bertindak lagi? Mau dipikirkan berapa kali pun, aku sungguh tidak mengerti motif Auristella sebegitu terobsesinya dengan Hanya. Ini bikin pusing.

Sudah kuduga. Kalau kami akhirnya bertemu, aku sendiri yang akan melenyapkannya dari muka bumi ini. Keberadaan manusia-manusia hina sepertinya cuman membuang oksigen.

Plak! Aku menampar pipi sendiri.

Hanya mengangkat kepala, menatapku heran.
Cielo batal ingin menggeplang kepala Hanya.

"Kesambet apa kau, Sen? Berobat lu."

"Gak apa-apa," balasku sambil berdeham, sambil mengelus pipi. Pukulanku sakit juga ternyata.

Berkali-kali kubilang, jangan menuruti bisikan iblis. Semakin tersesat kau, semakin jauh kau tenggelam. Aku tidak mau membunuh lagi.

BRAK! Pintu kelas terbuka, menampilkan sosok Aga yang berkeringat ditambah pucat. Dia langsung berderap menuju meja kami.

"Apa... apa kalian sudah dengar soal Abigail?"

Mata Hanya melek, bangun. "Kenapa dia?"

Aku, Serena, dan Cielo ikut mendengarkan.

"Abigail masuk rumah sakit dan..." Mata Aga memanas. Hidungnya kedat. Air matanya jatuh.

"Dinyatakan mati otak."

*

Menurut medis, mati otak sama dengan tidak memiliki kesempatan untuk pulih sebab batang otaknya telah kehilangan fungsi. Jadi secara tidak langsung, Abigail... sudah meninggal.

Kami bergegas mendatangi rumah sakit detik itu juga dan melihat pemandangan menyakitkan.

Keluarga Abigail mengikhlaskan putri mereka dan menyuruh dokter melepaskan ventilator di tubuh Abigail. Mereka tidak ingin Abigail tidak bisa pergi dengan tenang karena alat-alat medis menempel di tubuhnya. Mereka tak kuat.

Kepalaku mendadak terasa kosong.

Eh? Apa? Apa? Abigail... meninggal? Ini tidak nyata, kan? Baru kemarin rasanya kami bercakap-cakap. Dia menghilang selama satu hari entah ke mana, namun sempat menerima panggilan dari Hanya. Lalu kenapa dia... kembali tanpa nyawa? Kenapa Abigail bisa tewas?

"Dokter, ini tidak benar, kan? Apa... apa yang sebenarnya terjadi pada Abigail? Kenapa dia... bisa seperti itu?" Cielo menggigit bibir agar pertanyaan itu berhasil lolos dari mulutnya.

Serena dan Aga menangis di belakangku. Berita ini sangat mengejutkan. Aku sendiri... tidak bisa memikirkan apa pun sekarang. Kepalaku kosong.

"Kepala korban dipukul berkali-kali memakai benda tumpul berat. Melihat cedera di kepala korban, saya rasa dia dipukuli dengan bola besi. Setidaknya 10 kali pukulan. Korban bertahan sampai polisi datang sembari terus memegang erat ponselnya. Saya rasa korban dibunuh sebab melihat sesuatu yang tak boleh dia lihat."

Auris. Abigail mendapatkan petunjuk Auristella.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro