49. Auristella is Dead

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku membuka paksa kelopak mata yang masih terasa berat, beranjak bangun. Jantungku berdebar-debar kencang. Peluh dingin menetes dan membasahi leherku.

Ini... di mana? Aku menoleh ke sekeliling yang familiar. Tidak salah lagi, ini kamarku. Jam beker di nakas berhenti di angka 9.

Tanpa pikir panjang, aku melompat turun dari kasur, menyambar jaket. Sial! Sial! Aga, Cielo, Serena, kalian pikir apa yang sudah kalian lakukan? Ini tidak benar, kan?

Kenapa mereka kompak memilih jalan berduri hanya untuk menyelamatkan MC tak berguna sepertiku?! Sejak kapan mereka merencanakan ini? Aku bisa gila!

Aku melewati ruang tamu dengan cepat, tapi seseorang muncul mencekal lenganku sebelum aku melesat keluar dari rumah.

"Mau ke mana kau?" tanya Papa dingin.

"Pergi ke luar sebentar—" Tapi beliau tidak mau melepaskan lenganku. "Pa, aku gak punya waktu banyak. Jangan menahanku."

"Oh, ya? Kau ingin aku membiarkanmu pergi untuk mati? Jangan bercanda. Aku ingin kau kembali ke kamarmu sekarang."

Aku terdiam. Sejak kapan beliau tahu?

Lamat-lamat terdengar suara TV yang tengah menyiarkan berita terbaru.

[Ledakan misterius membakar taman bermain Sky Starry pukul 7 pagi tadi...]

"Aga, Dyra, Serena..." Aku menggigit bibir. "Aku harus pergi, Pa! Teman-temanku dalam bahaya. Kalau Papa sudah tahu apa yang terjadi padaku di sekolah, Papa pasti mengerti alasan aku harus pergi—"

"PIKIRKAN MAMAMU, ALSENON!"

Aku termangu. Ini pertama kalinya Papa meninggikan suaranya seperti itu.

Papa memelukku erat. "Aku tahu hatimu sangat menderita saat ini karena kau dan teman-temanmu mengalami peristiwa mengerikan itu. Dimulai dari Gracia hingga Hanya, kau pasti tidak sanggup lagi, kan? Tapi Papa mohon, tolong jangan tinggalkan keluargamu. Mamamu jatuh sakit dan tak bisa pulang demi mendengar kabar ini."

Mataku berair. Tanganku bergerak ingin membalas pelukan Papa, tapi bayangan semua sahabatku terlintas di benakku.

"Maaf, Pa, tapi Senon gak bisa ninggalin teman-teman Senon. Mereka... berharga. Sama seperti Papa dan Mama untukku."

Aku menyambar vas bunga, memukul kuduk beliau. Papa pun jatuh pingsan. December yang mendengar suara pecahan kaca, meninggalkan ruang tamu. "Kakak? Papa?"

Kutatap December untuk terakhir kalinya. Tersenyum. "Rawat orangtua kita, oke?"

*

Dengan mudah aku menyusup masuk ke Sky Starry—tentu aku menghajar semua polisi yang menghambat langkahku. Tak terkecuali Opsir Sasan. Dia juga di sana.

Aku berlari ke sebuh gedung konstruksi yang mempersiapkan wahana baru 'turbo drop' atau kerap disebut juga 'Hysteria' setinggi 80 meter. Kudengar total biaya pembuatannya memakan uang 700 juta.

"Serena...! Aga! Dyra! Kalian ada di mana?" seruku sambil mengipasi wajah dari asap. Untunglah api baru memakan sisi Utara taman bermain. Tapi asapnya sudah tiba di sini. Aku batuk-batuk sejak datang kemari.

"Kalian di mana sebenarnya? Jawab aku, Aga! Dyra! Serena—" Kakiku menyandung sesuatu. Karena asap, jarak pandangku terbatas. Aku hampir terjatuh. "Apa itu?"

Mataku terbelalak melihat sosok yang terbujur kaku di lantai semen itu. Sebuah gelang hitam berbandul kepala kucing melekat di pergelangan tangannya.

"Se... Se..." Aku terduduk lemas. Embusan angin meniup asap di sekitarku. Jantungku seketika mencelus, terduduk. "Serena..."

Tidak hanya Serena, tapi juga Aga dan Cielo tak jauh di dekatnya. Kondisi mereka sama-sama berdarah. Tak lagi bernapas.

Sesak. Hatiku terasa sakit. "Tidak..." Aku meremas debu di lantai, menahan air mata agar tidak tumpah. "Tidak... Kumohon..."

Kenapa ini terjadi padaku? Kenapa? Apa salahku sehingga takdirku seperti ini? Aku benar-benar marah pada semuanya.

Sret! Sret! Sret!

Mataku yang nyaris menggelap, kembali menerang mendengar suara itu. Suara benda diseret dengan langkah timpang. Dan sebelum aku menoleh, pemilik langkah pincang itu tepuk tangan seakan ada yang sedang melempar guyonan di tempat ini.

"Hebat sekali! Sungguh persahabatan yang mengharukan! Rela mendatangi musuh demi melindungi seorang pecundang. Air mataku sampai menitik," ucap sosok itu.

Tanganku yang terkepal kuat, perlahan mengendur. Aku beranjak bangkit. "Oh, ya? Apa itu sangat mengharukan hingga kau dibuat pincang oleh mereka? Bahkan mereka berhasil melubangi satu matamu. Kurasa Dyra terlalu menahan dirinya untuk tidak membunuhmu Auristella, ah..."

"... Maksudku, Kak Hoshia Asteris."

Benar. Dia lah Auristella yang sebenarnya.

Kak Hoshia, tidak, aku tidak perlu memakai honorifik pada gadis gila itu. Dia tertawa lebar. "Terima kasih telah memberi panggilan yang amat bagus untukku, Sen."

Tubuhku bergetar menahan amarah yang bergerilya. "Kau tertawa? Setelah semua yang kau perbuat pada kami, kau tertawa? Kau adalah manusia paling gak waras yang pernah kutemui di muka bumi. Sinting."

"Kau tersinggung, ya? Maaf deh maaf. Habisnya aku teringat wajah bodoh kalian yang menerima bantuanku, wajah takut Serena saat aku membobol rumahnya, wajah kesalmu karena frustasi. Semua itu hiburan luar biasa bagiku. Terima kasih."

Seharusnya aku sadar cara Auristella tahu kata sandi rumah Serena sedangkan dia buta teknologi. Jelas dia memakai cara manual. Dan caranya adalah dia berdiri di depan kami, melihat baik-baik jariku yang mengetik password ponsel Serena.

"Apa kau senang melihat kami seperti ini? Gracia, Chausila, Mimosa, Buk Ardena, Noura, Abigail, Serena, Aga, Cielo... Apa kau senang kami terpuruk? Kau bahagia?"

Hoshia tersenyum lebar. "Tentu saja! Aku akhirnya menyingkirkan orang-orang yang berpotensi mengambil Hanya-ku. Ah, soal Buk Ardena, itu sih karena dia mencoba memisahkanku dengan Hanya," ucapnya, memeluk peti yang dia angkut. "Aku sedikit kesal Hanya pergi mendahuluiku. Dan itu terjadi gara-gara kalian! Kalian membuat Hanya-ku putus asa dan bunuh diri!"

Amarahku semakin membuncah. Hoshia membuka penutup peti, menampakkan jasad Hanya. Dia menjahit mulut Hanya agar jasad itu terlihat tersenyum bahagia.

"Hanya adalah cahaya baruku. Dia dengan senyuman indahnya, membantuku yang dilanda kesedihan karena kehilangan cahaya lama. Hanya segalanya bagiku."

"Bullshit," ucapku ingin muntah. "Yang Kak Alpha lakukan itu bukan perbuatan salah. Cewek obsesi macam kau, tak layak diberi kehangatan oleh siapa pun. Kau membunuh teman-temannya, kemudian membunuhnya hanya karena dia memutuskan hubungan, apa kau mengira dirimu manusia? Wkwkwk. Coba berkaca. Bercermin, Hoshia. Rupamu sudah mirip iblis tahu. Aku yakin iblis sekalipun insecure dengan perbuataanmu."

"Aku tidak peduli," sanggahnya tersenyum dengan ekspresi kosong. "Lagi pula Hanya akan menjadi milikku sepenuhnya. Semua lalat di sekitar Hanya telah kubunuh. Tersisa kau, Senon. Jika aku membunuhmu, aku bisa mencapai kebahagiaan sejati dengannya. Kami bisa bahagia selamanya!"

Orang ini akalnya sudah tidak ada.

Aku tertawa keras. "Hei, Auris brengsek, kau pikir aku datang cuma-cuma untuk kau bunuh? Maaf-maaf saja, ya. Aku ke sini memang udah berniat mati. Sahabatku udah gak ada. Untuk apa lagi hidup? Aku akan bunuh diri setelah membunuhmu."

Hoshia meloloskan pistol dari sakunya, menatapku dengan tatapan predator. "Itu gak boleh. Harus aku yang membunuhmu. Hanya bakal kecewa kalau aku gagal."

"Ayo kita akhiri ini, Auristella."

Dor! Dor! Dor!

Hoshia terbelalak. Dia hanya menembak tiga kali, namun dengan gerakan gesit, aku menghindari peluru dan tahu-tahu sudah berada di hadapannya. Dor! Dor! Aku mengarahkan tangannya yang memegang pistol ke sudut lain, melucuti senjatanya.

"ALSENON, DASAR KAU HAMA BRENGSEK!"

"Apa kau tahu?" Aku melempar pistol yang kuambil tanpa banyak pergerakan tertentu ke belakang, melangkah mendekati Hoshia. Wajah gadis itu berurat-urat emosi. "Aku pernah mengikuti lomba lari saat SD dan meraih juara pertama. Menghindar adalah keahlianku. Kau memilih senjata yang salah."

Aku menatap datar Hanya. "Ahh, kau merusak wajahnya seperti kau merusak kepala Abigail dan tubuh Noura. Bedebah."

Langit yang tadinya cerah, seperkian detik berubah mendung. Awan hitam menutupi matahari. Guntur mulai membahana.

"Aku berubah pikiran..." Tanganku terulur mencekik Hoshia. Mataku menggelap, tapi aku masih memegang kendali. Tersenyum.

"Kita mati bersama aja, yuk?"

Aku mendorong Hoshia. Kami menghantam papan pembatas, jatuh dari ketinggian 80 meter bertepatan dengan turunnya hujan. BLAMM!!!! Petir menyambar, menyamarkan suara benturan keras itu. Hujan deras.

Tetesan hujan membasahi wajahku. Aku tersenyum sekali lagi, memejamkan mata.

"Auristella is dead."






Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro