9. Korban Pertama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku benar-benar lupa kalimat Hanya di episode tujuh. Dia menyuruhku supaya bertanya pada Abigail, Aga, dan Serena, apa mereka juga dapat surat teror itu atau tidak. Bagaimana bisa aku teledor?

Kupikir kejadian serius tidak datang lagi dalam hidupku merujuk tiga hari ini berjalan tentram. Aku terlalu cepat menyimpulkan semuanya sudah berakhir. Masalahnya bahkan belum dimulai.

"Kapan kau mendapatkannya?" tanya Cielo, masih dalam mode terkendali.

Serena berdeham. "Kemarin di lokerku."

Brakk!! Tak bisa mempertahankan mode kalem lagi, Cielo menggebrak permukaan meja. Beberapa anak di kelas tersentak.

"Kenapa kau baru mengatakannya??"

Abigail menepuk bahu Cielo, menggeleng. "Santai. Anak orang itu. Bukan anakmu."

"WOI! GUA MASIH REMAJA!"

Aku mengusap wajah. Kenapa aku punya teman beraneka ragam sih? Pemalas, emosian, peninju ketos, kayak zombie, pengoleksi kue pisang, dan sebagainya.

Kemarin Hidup. Hari Ini Tiada.

Aku menatap datar. Dalam hati, aku sudah muak dengan permainan konyol ini. Siapa pun yang melakukan ini, tidak seharusnya mengusik kedamaian kami. Apa tujuannya? Menulis surat teror.

Kalau mau bunuh diri, ya bunuh diri saja sana. Kenapa harus bermain riddle.

Aku menggelengkan kepala. Aduh, keluar lagi sifat jelek ini. Insaf, wahai diriku. Mari menatap masa depan yang buruk.

"Yang nulis surat sialan ini mau turu atau ngapain sih? Aku juga punya kesabaran lho. Kalau saja aku tahu siapa orangnya, akan kuturut ke rumah bapaknya." Wes! Bahkan Aga juga kesal.

Debat kami berhenti karena suara petikan gitar. Kami menoleh ke Hanya.

"Suara dengarkan lah aku~
Apa kabarnya, pujaan hatiku~"

Cielo bersedekap. "Bisa diem nggak?"

"Ck, ente ngapa sih? Tidur salah, nyanyi salah. Serba salah." Hanya berdecak.

"Kita sedang diteror ini. Bisakah kau sekali sajaaa, sedikit sajaaa, tunjukkin sisi ketosmu, heh? Kau selalu santai."

"Aku sudah mengingatkan seseorang, tapi seseorang itu lupa. Apalagi?"

Heh. Aku menatap Hanya, tersinggung. Maksudnya secara tidak langsung aku penyebab dari Serena mendapatkan surat teror? Dia tak bisa menyalahkan orang yang lupa! Toh, lagi pula aku tidak sengaja melupakan perkataannya.

"Tapi Hanya," Mimo angkat suara. "Kau tak apa-apa? Kau berkeringat dari tadi."

Cielo berhenti marah-marah usai dijinakkan Noura. "Kenapa kau, heh?"

Aku menatapnya. "Apa kau demam?"

Hanya mendengus, melonggarkan dasi. "Apa sih kalian. Sok tahu jadi manusia."

Gantian. Giliran Cielo yang menahan Noura. Gadis itu hendak melayangkan kursi ke Hanya. Dia masang watados.

"Di mana Cia?" tanya Hanya tiba-tiba.

Baiklah. Coba kita absen. Chausila, sedang contek PR. Serena ada, habis kami omeli. Aga ada, lagi khotbahin Cielo dan Noura agar mengurangi main kasar dengan ketos namun mereka menolak. Mimosa ada, sibuk scrolling IG cari meme seperti biasa. Lalu Gracia...

Aku menoleh ke bangkunya. Kosong.

"Bukannya kau yang lebih tahu, Hanya? Dia kan wakilmu." Noura bersedekap.

Hanya menggeleng. "Gracia tidak datang ke ruang osis selepas istirahat."

Dia hadir kok hari ini, kami melihatnya. Tapi di menit-menit terakhir jam pelajaran keempat, dia permisi ke WC.

Aku mengecek ponsel. Tidak ada pesan terbaru di grup Kita Rehat Sejenak. Hmm, haruskah kutelepon dia? Baiklah.

Niatku keduluan oleh Abigail.

(Anggap saja lagi dengar nada dering).

Kepala demi kepala tertoleh ke meja Gracia. Abigail mengernyit. "Lho?" Dia merogoh laci meja, mengambil ponsel pintar di dalamnya. "Dia tak bawa hp."

Aku dan teman-teman menyusul Abigail ke bangku Gracia kecuali Serena yang masih sedih (perihal tidak memberitahu dia mendapatkan surat). "Kenapa, ya?"

"Mungkin tadi dia kebelet boker kali. Terus nggak sempet ambil ponsel."

"Bukannya ini terlalu lama?" kata Mimo.

Saat itu aku belum tahu...

Selagi kami sibuk cipika-cipiki, Serena yang ingin menyusul kami, langkahnya terhenti demi mendengar sesuatu dari luar jendela. Karena kelas sedikit berbisik, suaranya jadi samar-samar.

Serena menoleh. "Apa—"

Lewat kaca jendela, tampak Gracia yang kami cari-cari meluncur jatuh dari rooftop. Braakk!! Darah menyembur ke dinding bangunan sekolah begitu tubuhnya mencium permukaan tanah.

Masalah teror ini bukan masalah sepele.



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro