File 1.1.1 - Looking For New Member

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dalam suatu kisah yang memiliki kelanjutan, setiap karakter akan diperkenalkan kembali. Sebenarnya tidak ada yang istimewa dengan hal ini, hanya sekadar formalitas yang basi.

Brak! Meja digebrak kuat, membuat beberapa barang di atasnya bergoyang. Siapa lagi yang punya kebiasaan itu selain sang sekretaris klub nan gemar menghiasi rambut. Lihat rambut pirangnya itu, jenis Half-Up Pigtail dengan ikat rambut sayap kupu-kupu. Silau mentari melantun menyinari anting-antingnya yang senada.

"Sudah enam bulan klub ini buka lowongan, tapi kenapa tidak ada satu pun yang tercantol bergabung?! Masih hanya kita bertiga! Minus Hellen lagi istirahat." [Aiden Eldwers, 16 tahun.]

"Itu karena syaratmu keterlaluan susahnya, Aiden. Masa kamu ingin cari orang sepintar Watson? Yang benar saja! Dipikir Watson punya jurus doppelganger apa. Pikir saja sendiri penyebab tidak ada yang mau mendaftar." [Jeremy Bari, 17 tahun.]

Aiden menggelembung kesal. Dia jelas tidak mau disalahkan. "Eh, hei, kalau tidak coba deh kamu yang bikin tulisan di pamfletnya! Aku kan hanya mengikuti kata hatiku."

"Iya, kata hatimu yang bucin Watson. Aku paham." Jeremy memasang muka respek.

Aiden gregetan, seperkian detik menyeringai mendapatkan ide jahil untuk membalas ledekan Jeremy. "Fufufu! Ada orang, pakai kacamata, rambutnya kelabu. Menangis seperti bayi sambil memeluk kelon Dan. Siapakah itu."

Sontak muka Jeremy memerah. Astaga, jangan bilang Aiden sedang mengungkit kejadian Snowdown. Dia segera menyanggah. "Aiden, bukan begitu. Aku tidak memeluk Watson. Aku masih normal-"

Aiden memutar sebuah memori rekaman di tape mini yang baru dia beli pekan lalu. Cekikikan kayak setan.

[Terima kasih, Watson. Meski aku tidak berhasil membawa pulang kakakku, tapi aku bersyukur karena kamu memberiku keberanian mengakui kalau aku pantas berada di keluarga Bari. Sungguh, aku tidak tahu lagi bagaimana berterima kasih padamu.] Demikian isi rekamannya.

"PFFT!" Yang ketawanya tersembur bukanlah Aiden, melainkan sosok ketiga nan tengah sibuk membaca novel di sofa. Surai kecokelatannya diembus oleh kesiur angin.

Jeremy berkacak tak santai di depan sosok tersebut, tersenyum jengkel. "Kamu barusan menertawakanku, kan?"

"T-tidak. Mendengarnya sekali lagi entah kenapa terasa geli." [King Krakal, 18 tahun.]

"Ambil sarung tanganmu, kawan. Kita bertumbuk detik ini juga."

"Hamba yang semut ini tidak berdaya di hadapan naga level bos, Tuan. Sudikah Anda memaafkan hamba, si incaran seluruh kaum hawa ini? Kalian tahu siapa aku, kan?" King berkedip nakal. Mengancam.

"Apa sih ah, King! Cepu!" Aiden melempar pemilik nama dengan tutup pulpen.

"Eits, tidak kena." King menghindar dengan gaya, malahan terlihat lebay di mata Aiden. Kalau khilaf, Aiden bisa saja mengirim bogeman bertenaga dan dapat dipastikan King terkapar pingsan di detik berikutnya.

"Eh, hei, jangan mengalihkan pembicaraan. Kita masih ada urusan tumbuk-menumbuk." Jeremy menyingsingkan lengan seragam. Tak sengaja netranya membaca judul novel yang King baca, seketika niat marah menghilang. "Lho, kamu baca novel itu lagi?"

Lupakan sejenak kesablengan King. Gadis Penata Rambut itu ikut memperhatikan. Mereka memang melihat King belakangan ini suka membaca novel 'Please Find My Brother'. Entah apa bagusnya sampai King membawanya setiap hari.

King mengangkat bahu. "Aku takut."

"Takut kenapa?"

"Otak suci kalian bisa ternodai sebelum waktunya. Sebagai anggota tertua di sini, aku tak mungkin membiarkan itu terjadi, kan?" King tersenyum penuh arti. Dua detik kemudian, dia membuang muka. "Bohong sih. Ini cuman novel drama biasa."

"Aku menemukannya, King!"

"Menemukan apa?" bingung King.

"Akhlakmu yang jatuh."

-

King bersenandung menuju ruang Dewan Siswa. Saat ini dialah yang menjabat posisi ketua sementara sampai Watson kembali ke Moufrobi. Awalnya King menolak, namun setelah ditatap maut oleh Aiden, akhirnya cowok itu mengalah pasrah. Hidup masih terlalu panjang untuk mati konyol kawan.

Aiden sendiri tak semata-mata asal memilih King untuk mengisi kursi ketua. Dia tahu King adalah orang tepat untuk menggantikan Watson, bahkan mungkin Watson sangat menyetujui ide Aiden.

"Cintai papamu, jajan banyak tiap hari~"

"Siap-siap saja ATM-mu papa blokir."

"ASTAGA KUNTI!" King terlonjak kaget demi melihat kepala sekolah tiba-tiba muncul tanpa peringatan di sampingnya seperti hantu. Ponsel di tangannya dia lemparkan entah ke mana. "Satu, dua, seratus..."

Bagaimana rumusnya dari dua langsung loncat ke seratus? Karena itu King Krakal, jadi maklumin saja ketidakwarasannya.

"Kenapa kamu berkeliaran? Kamu tidak masuk kelas?" [Chalawan Del Krakal. Kepsek Madoka sekaligus ayah King. 49 tahun.]

King selesai menormalkan detak jantungnya, berdiri tegak, bersungut-sungut. "Ke ruang anggota konsil buat memperpanjang pencarian member baru. Kan anak Papa yang ganteng, dermawan, dan rajin hambur uang ini mendadak jadi ketua. Apalah aku pria minimalis yang beruntung."

Hufft. Bagaimana Chalawan bisa mempunyai anak senarsis ini? Padahal dulu-dulu kepala King tidak rusak sampai sebegininya. Apakah pengaruh dari klub detektif? Yah, setidaknya dia tidak lagi bermalas-malasan.

Chalawan hendak mengusap kepala King, namun King lebih dulu menghindar. Ah. King tidak sadar dengan perbuatannya. Mereka berdua seketika canggung.

Chalawan mendesah pelan. "Kamu pasti kecewa dengan Papa, kan? Berniat menggantikan Mamamu secara diam-diam."

"Maaf, Pa, tapi King harus mengantarkan surat izin perpanjang ini ke Kak Apol. Nanti keburu bel." King memilih pergi. Entahlah, tidak ada yang tahu gambaran perasaannya sekarang. Wajah cerianya tidak hilang, namun kentara bahwa King merasa tidak nyaman.

"Nak." Beliau memanggil.

"Ya?" King menoleh. Mimik datar.

"Kapan kamu pulang? Papa kangen sama kamu. Sudah sebulan kamu meninggalkan rumah." Chalawan berkata lirih.

King diam sejenak. Dia buka mulut. Hendak mencairkan suasana. "King mau bertanya sesuatu, Pa," tanyanya super serius.

"Kenapa, Nak?" Chalawan menelan ludah.

"King anak hasil giveaway, ya?"

Chalawan tersenyum anteng. "Ya Tuhan. Anak macam apa yang Engkau berikan pada saya?"

-

Setelah menurunkan level persyaratan, benar saja kata Jeremy, ramai siswa-siswi mengantri di depan klub detektif. Wajah mereka terlihat antusias, tak sabaran ingin bergabung ke kelompok pahlawan sekolah. Jeremy juga melihat di antaranya berdiri gugup, cemas kalau-kalau tidak diterima.

"Tuh, kan, harusnya kamu lakukan ini sejak pertama kali buka slot member."

"Iyain." Aiden mencibir. Tidak bosan-bosannya bilang begini: hari baru, gaya rambut baru. Dia menguncir rendah rambutnya dan memakai pita kain medium berwarna biru bergaris-garis. Mahkota kebanggaannya itu jatuh berkibar di punggung.

"Fokus! Kita mesti memprioritaskan anggota bergender perempuan biar Aiden punya temannya," kata King diselingi nada trauma.

Syaratnya cukup simpel. Para calon detektif harus membuka sebuah ponsel yang terkunci dalam waktu 20 menit. Petunjuknya berupa wallpaper Holmes, gambar ikatan erat, sebuah gambar teknologi dengan kalimat 'something you always count on', dan kata KONSERVATIF.

"Memangnya kamu tahu nomornya, Aiden?" celetuk Jeremy juga mencoba membuka kata sandi ponsel tersebut. Secara, yang membuat ujian masuk adalah Aiden seorang. Mereka tidak diberitahu jawabannya.

Aiden mengangkat bahu, terkikik melihat Jeremy gagal keempat kalinya. Dia sibuk menyusun surat pendaftaran yang menumpuk.

Bagaimana dengan King? Dia bisa membukanya dalam sekali coba. Berpikir dua menit.

"Just how?!" pekik Jeremy.

"Aku tidak memelihara otot. Aku memelihara otak." King tersenyum penuh arti, menepuk pundak Jeremy yang cengo. "Kur! Kur!"

Jeremy baru paham kalau King menyindirnya. Dia refleks mencekik temannya itu. "Apa katamu, hah?! Aku kan laki-laki, malahan keamanan klub! Menjaga otot tubuh itu penting!"

"Cih baperan." King mendengus.

"Cih cacingan." Jeremy balik mendengus.

Civil war.

Kembali menyorot Aiden. Dia menatap satu surat lamaran yang menurutnya menarik dibaca. "Gari Gariri, heh? Nama yang unik. 16 tahun. Asalnya dari Desa Stupido. Lho, kok nama desanya terdengar bodoh (stupid), ya? Tahu deh."

Terus terang, Aiden tidak tahu mesti menerima berapa orang. Dia tidak tahu kapan Watson kembali, juga kapan Hellen selesai dengan hipnoterapi-nya. Satu orang atau tiga? Aiden menghela napas.

"Sudah kepalang tanggung. Kita terima empat puluh delapan orang saja!" celetuk King menggebu. Benjol di pipi kanan.

"Kamu ingin buat grup musik dadakan? Koisuru Fortune Cookies~ Begitu? Lima belas saja, Aiden!" seru Jeremy. Lebam di mata kiri.

"Kamu ingin main sepak tendang gol?"

"Daripadamu. Bencong."

Civil war part 2.

Aiden menatap prihatin dua sahabatnya itu. Kenapa bisa Jeremy dan King jadi suka bertengkar karena perkara sepele? Dia tersenyum. Yah, setidaknya suasana klub detektif jadi lebih gaduh.

"Tapi sekarang..." Bruk! Aiden mengambil alih dengan membenturkan kepala mereka satu sama lain. Tersenyum maut. "Kita harus mengurus pendaftaran dulu. Ini sudah jam dua siang. Waktu pulang."

Jeremy dan King bertekuk lutut. Patuh. "Maafkan kami, Tuan Putri!"

Hingga pukul empat sore, sudah dua puluh pendaftar yang ditolak. Tidak ada yang mendekati kriteria, bahkan mereka sama sekali tidak punya jiwa misteri!

"Mereka ini niat bergabung tidak sih?!" umpat Aiden hampir membelah figur kesayangan King. "Apa mereka pikir ujian ini main-main? Aku susah payah membuatnya!"

Jeremy tidak bisa menenangkan. Apalagi King. Dia hanya menatap sedih figurnya di ambang kematian.

Di saat seperti ini, hanya Watson yang bisa menetralkan emosi gadis itu. Hanya Watson yang bisa menyelamatkan figur King. Lebih tepatnya Aiden tidak peduli apa pun, memusatkan semua perhatiannya ke sherlock pemurung tersebut.

"Kita telepon calon mantannya?" bisik King.

"Aku ragu Watson mengangkatnya."

Satu bulan semenjak Jeremy menggalau tidak ada Hellen, satu bulan semenjak Aiden kedapatan berbicara sendiri karena merindu, sudah satu bulan semenjak King kehilangan seluruh kewarasannya. Mereka semua tahu kalau Watson sangat sibuk di New York.

Watson mulai jarang muncul di grup chat. Anak itu tidak pernah menerima video call dari Skype klub. Tidak lagi memberi pemasukan tiap mereka bertiga mendapat kasus. Mendadak jadi karakter pasif.

Aiden, Jeremy, dan King memaklumi kegiatan Watson. Mungkin saja anak itu terlalu fokus pada pemulihan suaranya sampai-sampai tidak sempat memberi kabar ke Moufrobi.

Pendaftar berikutnya masuk ke dalam. Mereka bertiga serentak menoleh. Terpana. Seorang murid berambut pink acak-acakan dengan manik mata seiras, berdiri gugup sembari memainkan anak poni.

"C-cantik sekali!" seru King.

"Imut, sialan. T-tapi aku setia." Jeremy mengalihkan pandangannya. Sok kuat iman.

Aiden menjulurkan tangan. "Boleh kulihat suratmu?" katanya tiada basa-basi.

Dia malu-malu menyerahkan secarik kertas di tangan. Sekilas Aiden melongok, ternyata gadis itu memakai celana. Aiden tidak dapat melihatnya sebab tertutup meja. Mengangkat bahu, Aiden mulai membaca isi kertas itu. Mungkin roknya lagi basah.

"Saho Shepherd, heh? 17 tahun."

Gulanya kelebihan kyaa! Namanya manis kayak orangnya! Jeremy dan King terbang ke langit.

"Baik. Langsung saja kita mulai ujiannya. Kuharap kamu berbeda dengan pendaftar lainnya," tutup Aiden mendorong ponsel yang telah disiapkan. "Kamu pasti sudah membaca syarat untuk masuk, kan?"

Saho mengangguk. Menghela napas singkat, dia mulai berpikir mencari nomor-nomor yang bisa membuka ponsel keramat itu.

Hanya butuh empat puluh detik, Saho berhasil membukanya. Mengalahkan rekor King, membuatnya melongo sebesar mulut goa. Jeremy tak mau kalah, ikut cengo.

Aiden tersenyum. "Aku tak mungkin melepas bibit unggul sepertimu. Kamu lulus. Selamat datang di klub detektif, Saho."

King menembakkan semburan terompet. Menyengir. "Selamat dibabu, Shepherd!"

Anak itu berkaca-kaca, mengusap ujung mata. "T-terima kasih... A-aku tak percaya langsung diterima begitu saja... Padahal aku sudah takut setengah mati ditolak seperti yang lain..."

Dia menangis saking senangnya? Astaga, lucunya! Jeremy dan King memanjat dinding untuk melampiaskan hasrat keuwuan.

"Nah!" Aiden mengeluarkan sebuah kotak. Di dalamnya ada dua jenis dasi. "Ini adalah tanda pengenal klub detektif yang baru kupikirkan beberapa detik lalu. Dasi lurus untuk laki-laki sementara dasi kupu-kupu buat perempuan. Kamu harus memakainya setiap berada di sini."

Saho mengangguk semangat. Tangannya terulur mengambil dasi lurus.

Aiden mengernyit. "Kamu mengambil dasi yang salah, Saho," katanya menggeleng. "Itu untuk cowok. Yang cewek di sebelahnya."

"S-salah, ya? Tapi aku laki-laki."

Deg! King berhenti mencuci ponsel.

Deg! Jeremy mengambil figur King, melepaskannya dari tangan agar menambah kesan keterkejutannya.

Deg! Aiden cosplay menjadi patung.

Saho Shepherd tak lain tak bukan Si Gender Ganda bergabung dengan klub detektif! Dunia misteri sedang tidak baik-baik saja.  []






Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro