File 1.3.1 - Jeremy Take a Break

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kenapa kamu sendiri, Aiden?"

Biasanya kegiatan ekstrakurikuler diadakan di hari-hari tertentu, namun untuk klub detektif, dikhususkan berkat bantuan Dewan Siswa. Mereka bebas melakukan kegiatan grup kapan saja.

Biasanya King, Saho, dan Gari sudah berada di klub sebelum atau sesudah Jeremy tiba. Tapi sore itu ruang klub sepi. Hanya ada Aiden tengah memperbaiki cepol rambutnya yang berantakan.

"King dan Gari pergi menjenguk Inspektur Angra. Saho sih katanya ingin melihat hasil lukisan Hongfu di galeri."

"Jadi hanya ada kita nih?"

Sudah lama Aiden dan Jeremy tidak berduaan, para prior klub. Rasanya kurang tanpa Watson dan Hellen.

Mereka masih ingat suasana ramai antara keempatnya. Jeremy yang suka jahil dengan Watson. Hellen yang menegur Jeremy, bilang biarkan Watson tidur. Lalu ada Aiden menonton debat mereka.

Tapi setelah insiden Mupsi, penguntit jas kuning, dan fail Snowdown, semuanya berubah. Ditambah kepergian Watson.

Tidak adanya tokoh utama membuat cerita terasa hambar, dan hal itu terasa jelas. Padahal Aiden dan Jeremy tahu persis, sebuah kisah tidak harus fokus pada MC.

"Aku ingin bilang sesuatu, Aiden."

Tak biasanya Jeremy membuka obrolan berdenting serius seperti itu. Aiden mendengarkan dengan baik. "Bicaralah."

"Aku memutuskan homeschooling selama tiga bulan. Dimulai minggu depan."

Ruangan itu hening sejenak.

Aiden memegang lengannya. "Kenapa... tiba-tiba kamu mau sekolah private?"

Jeremy mengepalkan tangan. "Kamu tahu alasannya kan, Aiden? Aku lelah."

Siapa yang bisa bersikap normal setelah dicoba dijual oleh kakak sendiri? Aiden tahu Jeremy berpura-pura teguh selama pencarian member baru supaya tidak ada kendala. Sedangkan pikirannya bercabang.

Aiden mengembuskan napas panjang. Sulitnya menjadi sekretaris klub. "Jika kamu butuh istirahat, tidak perlu sampai homeschooling, Jeremy. Aku bisa memberimu cuti kapan pun kamu mau."

Bzzt! Bzzt! Ingatan malam salju yang membara terlintas di benak Jeremy.

"Jangan... Aku bukan perempuan..."

"Maaf, Jeremy, namun kamu barang utamanya. Jadilah adik yang baik."

"Dan inilah identitas terbaik kami malam ini! Jeremy Bari! Salah satu anggota klub detektif terkenal di Moufrobi!"

Jeremy diam. Keringat mengalir membasahi kerah seragamnya. Mau seberapa hebat dia berakting 'semuanya baik-baik saja, semuanya sudah kembali seperti semula' tidak menampik fakta cowok itu trauma.

Melihat Jeremy menunjukkan gelagat aneh, Aiden mengangguk, tidak ingin bertanya lebih lanjut. "Baiklah, Jer. Aku akan mengurus surat hiatusmu. Semoga kamu lekas membaik dan kembali secepatnya."

"Terima kasih, Aiden... Maafkan aku..."

Aiden menggeleng, tersenyum tulus. "Aku tahu. Rasanya sesak, kan? Menahan semuanya untuk terlihat baik-baik saja. Jangan khawatir. Aku akan menyampaikan pada teman-teman nanti. Beristirahatlah."

Tok, tok, tok! Pintu klub diketuk. Begitu si pengetuk membukanya, ternyata adalah Mama Jeremy alias Selise.

"Sampai jumpa, Aiden. Sampaikan maafku tidak sempat berpamitan pada King dan yang lain." Jeremy menyandeng tasnya, segera menghampiri beliau.

Selise tersenyum. Gadis itu membalas senyumannya sambil mengangguk.

Dan mereka pergi.

"Ah, sendirian lagi. Apa aku susul King dan Gari saja, ya?" Aiden bermonolog lesu, memandang panorama sekolah.

Pertama Hellen, kedua Watson, sekarang Jeremy. Menyisakan Aiden satu-satunya member prior utama. Bukannya ingin berlaku diskriminasi pada anggota baru, tapi rasanya sangat hampa.

Ditatapnya boneka pemberian Anlow di kotak kaca. Setidaknya Aiden harus bertahan demi menjaga klub detektif yang didirikan kakaknya.

"Pulang deh." Aiden ingat besok mereka harus menjemput saksi yang dikirim oleh Watson. Tidak boleh kesiangan.

Sebelum itu, Aiden menyempatkan diri untuk mencabut formulir 'open member' yang masih terpasang di dinding karena kuotanya sudah penuh. Saho dan Gari.

Ketika menuju klub mading karena King usil paling banyak menempeli poster di sana, Aiden melihat seorang cowok berkacamata bulat dengan tinggi yang stabil, memakai rompi rajut berwarna biru tua serta jam tangan hitam, headphone menggalungi lehernya, memegang sebuah laptop, berdiri di papan pengumuman sembari menatap poster klub detektif.

Dia memakai rompi. Berarti dia anak kelas satu. Berdeham pelan, Aiden mendekati lelaki itu secara alami. "Kamu tertarik?"

Reaksinya sungguh luar biasa.

Tersentak Aiden menegurnya, cowok itu langsung kabur. Tapi, hei, jangan lupakan siapa gadis di belakangnya.

Seolah tahu lawan bicaranya hendak melarikan diri, Aiden cekatan menarik rompi cowok pemalu itu, ekspresi polos. "Mau ke mana kamu? Kakak kelasmu bertanya. Sopankah kabur begitu saja?"

Akhirnya dia menampakkan wajahnya, berbinar-binar menyesal. "M-maaf, Kak... Saya tidak bermaksud tak sopan..."

Hoo? Dia manis juga. Mata Aiden menjelajah ke seragamnya, tepatnya ke bagian nametag. Caprilove.

Aiden termenung. Hah, apa? 'Caprilove'? Itu sebuah nama? Bukankah itu pelesetan dari zodiak Capricorn? Dari sekian banyak nama, kenapa harus mencolok seperti itu? Apa jangan-jangan itu marganya? Kenapa bisa nama marganya alay? Di mana nama depannya? Kok hanya tertulis satu kata? Dipikir nama sama 'gitu dengan nickname? Ini tentang nama lho. Kenapa bisa begitu?

Mengerti akan mimik ngelag yang ditunjukkan Aiden, cowok itu segera melepaskan nametag tersebut. "I-ini bukan milik saya. Saya hanya iseng mencobanya. Nama saya Dextra Chouhane."

"Jangan terlalu formal." Aiden jadi resah. Padahal dia sendiri minta agar si Dextra bertingkah tertib. Jadi ini namanya Sweet Revenge yang halus? Menggelikan.

"B-baik, Kak." Dextra menjawab kikuk.

Keheningan menyergap. Dextra gugup sebab Aiden memandanginya dari atas sampai bawah seakan sedang menilai. Gadis Penata Rambut itu heran mengapa Dextra membawa-bawa laptop.

"K-kalau begitu saya permisi dulu, Kak!" Dextra mencapai batasnya. Dia gerah terus dipandangi lantas pamit pergi.

"Aduh, aku kan belum selesai bicara."

"Anu, Kak Aiden..." Seseorang menyapa dengan napas ngos-ngosan.

Rupanya adik kelas lainnya. "Ada apa?"

"Apa kakak lihat cowok bawa-bawa laptop di sekitar sini?" tanyanya to the point.

Yang dia maksud pasti Dextra. Aku juga ingin bertanya tentang itu tadinya. Dulu Aiden akan langsung menjawab sebagai perwujudan kakak kelas yang baik, namun belajar pengalaman, Aiden memutuskan menggeleng. Dia akan bertanya lebih dulu.

"Kenapa kamu mencarinya?"

"Eh, kakak belum tahu? Wajar sih. Kakak pasti sibuk sama kasus si Moutuber gila." Dia menarik napas panjang. "Jadi begini, Kak, ada hacker misterius di Madoka. Dia seenaknya menyebarluaskan hewan peliharaan anak-anak sekolah di akunnya."

Satu alis Aiden terangkat. "Tunggu, bagaimana cara dia melakukannya?"

"Nah! Itu dia, Kak! Bagaimana cara dia melakukannya. Aku sudah interviu ke setiap murid yang kehilangan peliharaan. Kakak tahu apa yang mengejutkan? Mereka sama-sama tidak pernah memposting hewan-hewan itu di akun Mougram atau Mouter mereka, Kak!"

Deg! Aiden terdiam. Mungkinkah ini... Menggeleng, Aiden bertanya lagi, "Lalu apa hubungannya dengan Dextra?"

"Ah, kakak juga belum tahu ya." Dia menyeringai. "Dextra itu ahli komputer!"

*

Kediaman Bari.

Jeremy melempar tubuhnya ke atas kasur, memandang langit-langit kamar dengan tatapan kosong.

Apakah dia sudah membuat pilihan benar? Apakah dengan homeschooling bisa mengalihkan ingatannya pada kenangan buruk desember lalu? Apakah berhenti sementara dari klub detektif...

"Jangan pegang aku dengan tangan kotormu itu, bedebah brengsek!"

"Kamu mengambil keluargaku!"

Jeremy mengusap peluh yang entah kapan terkumpul di leher. Tangannya gemetaran. Ini tidak bagus sama sekali. Kalau terus begini, ada peluang dia mengidap PTSD...

"Nak." Selise menyentuh lengan Jeremy. "Mama panggil dari tadi lho. Guru privatmu sudah datang... Jeri? Astaga! Mukamu pucat banget. Kamu baik-baik saja? Apa ada yang sakit? Kamu sudah makan?"

"Aku tidak apa-apa kok, Ma," jawab Jeremy tersenyum paksa.

"Tidak apa-apa bagaimana? Kamu kayak mayat hidup!" Selise beranjak bangun, mengeluarkan ponsel. "Tidak boleh begini. Mama akan panggil dokter!"

Jeremy menggeleng lemas. "Serius, Ma. Jeri baik-baik saja. Terlebih guru Jeri sudah menunggu di bawah, kan? Ayo kita turun. Jeri mau lihat guru privat Jeri," ucapnya mengalihkan topik.

"Tunggu, Sayang. Kamu tidak sehat."

Jeremy mengabaikan. Dia tergesa-gesa menuruni anak tangga. Tenang saja. Tidak ada 'event' jatuh dari tangga kok. Jeremy sampai dengan selamat di ruang tamu. Terlihat Bibi Ama berbincang dengan wanita asing yang kemungkinan gurunya.

"Hai, Bi." Jeremy membungkuk sopan. "Halo, Buk Guru... Maksudku Nyonya."

"Aku akan menjadi guru privatmu, Jeremy Bari. Bukankah bagus kamu terbiasa di awal memanggilku demikian?" Wanita itu tertawa renyah, bangkit dari sofa.

Jeremy terpana sesaat.

Surai putihnya dikepang rapi, terjuntai di punggung. Kelereng biru langit tampak seiras dengan warna rambutnya. Betapa cantiknya wanita di depan Jeremy ini.

Dia tersenyum lembut. "Namaku Asha. Mohon bantuannya, Jeremy Bari."









Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro