File 1.5.2 - A Pause Before Other Case

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Bagaimana keadaanmu?"

"Aku sudah sehat, Kak Aiden," jawab Dextra tersenyum kikuk. "M-maaf kalau aku jadi merepotkanmu. Aku ceroboh dan pergi kelayapan ke tempat bahaya."

Aiden membungkukkan badan. "Terima kasih kontribusimu, Dextra. Kami sangat tertolong karenanya. Mulai sekarang, aku takkan melibatkanmu ke urusan klub detektif lagi. Sampai di sini saja."

"Hee?" Dextra tertegun. Gadis itu berlalu tanpa ekspresi apa pun.

Entah kenapa kalimat Aiden terdengar menyakitkan. Perasaan apa ini? Padahal Dextra bukan bagian dari klub itu, tapi kenapa dia merasa dibuang?

"T-tunggu, Kak Aiden! A-aku tidak keberatan membantu klub detektif sama sekali! Aku tak menginginkan bayaran! Aku hanya mau membantu!"

Aiden berhenti melangkah. "Dextra. Kejadian yang menimpamu masih belum apa-apa. Jika kamu bermain terlalu jauh dengan kami, nyawamu adalah jaminannya. Maka dari itu, menjauhlah. Aku minta maaf seenaknya menyeretmu ke kegiatan kami. Selamat tinggal."

"T-tunggu, Kak Aiden...!"

Aiden benar-benar takut bagaimana jadinya jika Dextra tidak bisa berenang dan tenggelam di laut. Dia hampir membunuh anak orang. Walau hati Aiden tidak enak Dextra diperlakukan tak adil seperti itu, bagaimanapun pilihan Aiden adalah untuk kebaikan dia.

"Oh!" Wajah murung Aiden langsung menguap melihat sosok Watson yang hendak masuk kelas. "Pagi, Dan!"

Watson menatap Aiden, memperhatikan rambutnya model wrapped ponytail. Terlihat cocok untuknya. Apa Aiden memang selalu semanis itu?

Plak! Sebuah gerakan impulsif. Watson menampar pipi kanannya.

"Astaga, Dan! Kamu baik-baik saja?!"

Watson masih senantiasa diam sambil mengusap-usap pipi. Apa? Apa yang kamu pikirkan barusan? Manis? Tapi otaknya tengah berperang dengan hati.

Pintu kelas dibuka dari dalam. Ketua kelas periode tahun kedua: Aevehi. Dia tampak mengenakan seragam olahraga.

"Lho, kenapa kamu pakai baju olahraga? Bukannya ini masih jam pertama?" bingung Aiden menatap benda mungil di pergelangan tangannya. Masih pukul setengah delapan pagi.

"Jamnya diganti. Kalian cepat ganti baju dan berbaris ke lapangan."

Setelah mengatakan itu, Aevehi pun melenggang pergi. Dia tidak bersama teman-temannya. Aevehi termasuk yang pendiam walau dia ketua kelas.

Sudah seminggu sejak pulangnya Watson. Teman-teman sekelasnya berbeda dari kelas satu dulu karena adanya sistem gabungan. Kiri dan Kon berada di 2-D, King dan Hellen di 2-B, sementara Watson di kelas 2-C. Entahlah bagaimana bisa dia ditempatkan di kelas sama dengan Aiden. Ini tidak ada tindak nepotisme, kan? Gadis Penata Rambut yang Barbar itu sangat mencurigakan.

Tidak ada yang Watson kenal di kelas itu kecuali Aiden. Sebaliknya, gadis itu sudah berteman dengan separuh murid perempuan. Tidak hanya skill komunikasinya saja yang bagus. Aiden juga bisa bersosialisasi dengan baik.

"Hmmm..." Aiden celingak-celinguk. Tatapan predator menunggu mangsanya.

"Kenapa sih, Ai? Dari tadi melotot mulu. Matamu tak capek?"

"Syukurlah, pagi ini lapangan hanya dikuasai oleh kelas kita. Kalau sampai jam olahraga kita bertabrakan dengan adik kelas, aku harus super waspada." Aiden mengepal tangan.

"Kenapa..." Lawan bicaranya langsung paham detik itu juga sembari melihat Watson yang sedang ambil absen. "Oh, begitu toh. Benar juga. Karena wajah dia lumayan, pasti ada yang demen."

"Bukan demen lagi! Tapi jadi rebutan! Aku mendengar rumpian adik kelas tak lama ini. Mereka bilang anak cowok kelas satu pada jelek semua. Dasar ya remaja zaman sekarang. Roasting mulu kerjaannya. Padahal menurutku mereka tidak jelek amat kok."

"Kamu harus jaga calon pacarmu baik-baik, Aiden. Kan gawat kalau ada yang sampai membidiknya."

"Terima kasih, semuanya! Aku takkan biarkan seorang pun menandai Dan!" Aiden menangis terharu. Dia punya teman-teman tiada iri maupun dengki, justru mendukungnya.

Apa yang mereka bicarakan dari tadi? batin Watson merinding. Kupingnya panas seolah sedang dijadikan subjek pembicaraan (benar).

"Jadi, kamu detektif dari New York itu? Kudengar suaramu hilang," celetuk seseorang duduk di samping Watson.

Otak Watson loading sejenak. Sial! Watson tidak tahu namanya.

"Kaif. Namaku Kaif Nuvoleon," bantunya bersimpati melihat Watson yang kesusahan mengingat namanya.

"Maaf. Aku belum sempat memeriksa daftar absen." Tadi Watson lihat pria itu tidak berseru keras ketika namanya dipanggil oleh guru.

"Tidak masalah. Toh, kamu juga baru masuk kelas seminggu lalu."

"Jadi, apa maumu?"

Kaif tertawa renyah. "Sudah masuk ke mode defensif nih? Aku hanya bertanya saja kok. Tidak ada niatan mengganggu. Kalau kamu keberatan memberitahu, yah bukan masalah juga buatku."

"Aku tidak nyaman pertanyaan yang berhubungan dengan detektif."

"Dimengerti~" Kaif tersenyum ramah.

Mereka akan bermain tenis. Salah satu cabang olahraga yang Watson benci karena tampak mengerikan. Bayangan 'bagaimana jika bolanya meleset dan menghantam badan' seketika menghantui otak Sherlock Pemurung itu.

"Tapi Watson, kamu kurus sekali. Apa kamu makan teratur?" Entahlah, si Kaif itu sedang mengejek atau khawatir pada Watson yang terlihat bisa sekarat jika terkena pantulan bola.

"Kamu ke yang sekian mengatakan itu."

"Oh, ya? Berarti penilaian mereka sama denganku. Habisnya kamu tampak bisa mati seketika oleh sentilan."

"Itu candaan?" Watson tersinggung.

"Kamu seperti kertas. Tapi otakmu seperti bom nuklir."

"Tidak ada lagi benda semacam itu setelah denuklirisasi. Kamu harus cari pengibaratan yang tepat."

"Kamu selalu bisa jawab apa saja, ya."

Buk! Duk! Pang! Suara berisik itu menyelang percakapan. Anak-anak cowok terkesima dengan apa yang terjadi di lapangan. Ini pertandingan sengit untuk seukuran cewek.

Siapa lagi kalau bukan Aiden. Gadis landak itu menang telak melawan enam siswi berbeda. Jangan coba-coba lawan dia. Dalam mata pelajaran olahraga, di klan perempuan, Aiden lah ratunya.

"Aiden! Tenagamu tolong kontrol sedikit!  Bagaimana kalau yang barusan itu mengenai mataku?!"

Pemilik nama menggaruk kepala. "Padahal aku sudah sangat pelan."

"Kamu sebut itu pelan?!"

Geleng-geleng kepala Watson dibuatnya. Aiden mencolok seperti biasa.

"Ayo, Watson. Giliran kita."

"Oke." Sherlock pemurung itu ogah-ogahan mengangkat bokong. Guru masih mengawasi di posnya. Bisa gawat kalau ketahuan bermalas-malasan.

Kaif mengambil sisi kanan, sedangkan Watson di sisi satunya. Mereka pemanasan terlebih dulu sebelum memulai sparing. Anak-anak yang selesai bermain segera menyingkir ke bangku penonton. Bukankah ini akan menarik? Mereka bisa melihat Watson si murid pertukaran bertanding.

Dan yang pakai headband amat manis! Aiden cosplay cheerleader, menepuk-nepuk balon tepuk. Dia hanya menyemangati Watson doang.

"Jangan khawatir, Watson," kata Kaif memantulkan bola. Mengambil kuda-kuda service. Dia tersenyum. "Aku takkan serius melawanmu."

Maksudnya dia meremehkanku karena badanku kecil? Tanda jengkel tercetak di wajah datar Watson. "Terima kasih pengertianmu, Nuvoleon. Tapi jangan terlalu menahan diri. Aku tidak lembek."

"Kalau begitu aku takkan segan-segan."

Bola melambung ke udara. Oke, Watson tarik ucapannya barusan. Tampaknya si Kaif itu atletis. Lihat dia! Lompatannya tinggi banget! Apa dia mau smash?!

Duk! Bola telah dipukul.

Tidak masalah. Watson masih bisa melihat ke mana bolanya melaju. Dengan mengandalkan matematika, arah angin yang tak berubah, sekitar 3 detik lagi benda itu mencapai posisi Watson.

Watson mengangkat raketnya. Yosh! Dia bisa mengembalikannya. Begitu-begitu dia tak payah banget dalam olahraga kalau bersungguh-sungguh.

Tapi tiba-tiba terdengar suara teriakan panjang dari gedung kelas satu.

"KYAAAAA!!!" Sebuah panggilan kasus.

Watson mengalihkan pandangannya. Seorang gadis bergelantungan di bingkai jendela, hendak jatuh. Astaga! Kenapa dia bisa tergelincir di tempat seperti itu?! Seseorang harus membantunya.

"Menghindar dari situ, Watson! Cepat pindah! Aduh, cepat lari!"

"DAN! AWAS! BOLANYA!"

"Bola apa—" Watson mendongak. "Ah."

Helaan napas pasrah.

Sungguh sial sekali Watson. Karena dia lengah, fokusnya pecah dan tak lagi memperhatikan bola di udara. Benda itu dengan kejam mencium kepalanya.

Semua teman sekelas termasuk guru segera berkerumun ke lapangan.

"WATSON! KAMU BAIK-BAIK SAJA?"

"Ya ampun! Kepalanya berdarah! Ketua kelas, segera antar Watson ke UKS--"

"Tidak, bukan aku yang penting sekarang. Adik kelas itu akan jatuh beberapa saat lagi." Watson menunjuk sesuatu yang merebut atensinya.

"Sungguh, ada apa dengan hari ini?!" (*)








Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro