File 1.5.4 - I Thought, The Fell Was Strange

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ugh, aku benci sejarah.

Mau segenius apa Watson, tentu dia punya kelemahan di beberapa bidang. Pertama olahraga dan kedua pelajaran tentang histori. Sherlock Pemurung itu tidak mengerti materi yang diajarkan. Kenapa negara A berperang dengan negara B hanya karena negara C.

Lebih baik memikirkan cerita misteri yang baru-baru ini berhasil memancing perhatian Watson. Tapi, ugh, dia tidak mau mengkhianati Sherlock Holmes dengan membaca novel lain! Bintangnya itu akan kecewa Watson berpaling.

Insiden adik kelas kemarin terlintas di benak Watson. Dia meletakkan penanya di samping buku, menoleh ke lapangan, menopang dagu. Mau berapa kali Watson memikirkannya, dia menduga, ada yang aneh dengan jatuhnya si adkel.

Apa dia tergelincir sehingga terjatuh? Tapi dilihat dari gerakannya, dia seperti dikagetkan oleh sesuatu. Haruskah Watson menanyai korban? Tunggu, ini bukan kasus serius. Kenapa Watson terlalu memikirkannya sih.

"Watson Dan." Guru memanggil membuat pemilik nama terciduk. Tanda jengkel tercetak di keningnya. "Apa pelajaran saya dongeng untukmu?"

"Maaf." Ini salah otak Watson yang kelaparan minta disuapin kasus. Tapi begitu kasus itu tiba, ia tidak melakukan pekerjaannya dengan benar.

"Jika kamu merasa dirimu sangat pintar, bisakah kamu jelaskan bagaimana proses terbentuknya sebuah pulau?"

Ah, sudah geografi ya? Watson berdiri.

"Pulau terbentuk karena adanya aktivitas vulkanisme atau pergerakan lempeng tektonik sehingga bagian tanah naik ke atas karena tumbukan yang terjadi di bawah laut. Penjelasan lainnya, inti perut bumi diisi oleh lava cair bersuhu tinggi. Semakin dalam tekanan air laut maka semakin tinggi pula suhunya. Ketika ada celah atau lubang yang dihasilkan oleh tenaga endogen, cairan itu pun merembes keluar. Ketika mencapai permukaan bumi, suhu menjadi dingin dan menyebabkan lava tersebut membeku lantas membentuk batuan atau kerak. Pemadatan lava yang membesar adalah asal-muasal terbentuknya suatu pulau."

Sunyi sejenak. Si sherlock muram itu jangan coba-coba dipancing. Dia takkan sungkan menunjukkan kepintarannya.

"O-oke, kamu boleh duduk."

Aiden di kursinya terkekeh kecil. "Dasar si Dan, tak mau menahan diri."

Keheningan menjamah kelas itu, menyisakan suara decitan spidol yang bertemu dengan permukaan papan tulis. Suasana tenang namun terasa tegang.

Watson berhenti (pura-pura) membaca buku, menatap datar lapangan sekolah yang panas karena terik matahari.

-

Sesampainya di ruang klub, Aiden dan Watson mendengar percakapan yang lebih dari dua orang. Ngomong-ngomong rambutnya model messy space buns, terikat dengan pita pink-putih dan menyematkan jepitan kecil bermacam jenis bunga di bulatannya.

"Sepertinya ada orang. Jangan-jangan klien baru? Asyik! Kasus baru!"

Klek! Watson memutar gerendel pintu. Dugaan gadis itu salah. Mereka mungkin mendapatkan kasus baru, tapi kliennya bukanlah orang asing melainkan korban dari insiden kemarin. Si adik kelas. Dia datang ke klub bersama temannya.

"Oh, pangeran dan putri sudah datang?" Entahlah itu ejekan atau sarkastik. Soalnya tampang Hellen selepas keluar dari rumah sakit selalu terlihat sus.

"Kak Watson! Kami sudah menunggumu dari tadi!" seru Kapela melambai-lambai. "Mereka hendak melaporkan sesuatu yang mungkin menarik didengar."

"Hoo?" Watson menoleh ke mereka. Si korban tampak skeptis, sementara temannya berdiri gelisah. "Baiklah. Tapi, bisakah kamu jangan memanggilku 'kak'? Kita sama-sama 16 tahun, Riri."

. . . . . ?

Sebentar, Watson bilang apa barusan? Riri? Maksudnya Gari Gariri? Kalau diingat-ingat, Aiden belum sempat memperkenalkan Kapela dan Kapela sendiri tak terpikirkan mengenalkan diri. Wajar jika Watson mengira dia Gari merujuk dia member baru. Padahal sebenarnya Gari sudah diusir oleh King.

Bagaimana sekarang? Aiden mau saja membenarkan, tapi melihat Watson si genius yang keliru akan identitas seseorang, membuatnya jadi gemas. Sisi lengah Watson sedang terbuka lebar.

"Anu, kak Watson..."

"Apa?" Pemilik nama mengernyit, mau tak mau membungkukkan badan karena Kapela mau membisikkan sesuatu.

Sedang memberitahu.

"Benarkah?" Yah, tidak ada gunanya untuk Kapela berbohong. Sherlock Pemurung itu melayangkan tatapan datar berpadu dingin ke King yang seketika bersenandung tak tahu. "Aku akan minta penjelasannya nanti, Krakal."

King menelan ludah. "B-baik~"

Skip time.

"Sejujurnya, aku tak mau menceritakan hal ini ke klub kakak sekalian. Karena sudah berlalu, aku rasa itu tidak penting lagi dibahas. Tapi temanku terus memaksaku." [Lav, korban.]

"I-ini demi kebaikanmu, Lav! Kamu harus memberitahu klub detektif untuk mengungkap apa yang terjadi padamu kemarin!" [Ori, teman korban.]

Lav menatapnya malas. "Iyakah? Bukan modus untuk bertemu Kak Watson?"

Tuk! Ori menendang kaki Lav sembari meletakkan jari ke bibir. Wajahnya sudah merona merah. "Diam dong, Lav! Ini bukan kesepakatan kita."

"Jadi," Watson membuka suara supaya mereka fokus pada pembicaraan. "Apa yang mau kalian keluhkan?"

"S-soal kejadian kemarin, Kak," ucap Ori malu-malu melihat Watson. "Sebenarnya Lav jatuh didorong oleh sesuatu."

Watson senantiasa berekspresi datar.
Aiden dan Kapela saling tatap.
Hellen ber-hoo tertarik.
King mengintip dari buku novel.

Sesuai dugaan Sherlock Pemurung itu, ada yang aneh dari jatuhnya Lav. Sebuah kasus di Madoka setelah sekian lama semenjak penemuan mayat pada pohon sakura di taman belakang. Sepertinya ini akan menyenangkan.

"Memangnya siapa yang mendorongmu?" Aiden bertanya, sesekali melemparkan tatapan posesif pada Ori yang curi-curi pandang ke arah Watson.

"Serigala." Lav berkata singkat.

"Pfft!" sembur King di sofa. Dia sebenarnya mau menghentikan tawanya, namun jiwa recehnya tak mengizinkan.

Kapela oknum kedua yang gelaknya tak tertahan. Dia dan King tertawa kocak mendengar ucapan Lav.

Hellen mengulum senyum. Serigala?

Ada apa sih dengan mereka? Memangnya itu lucu? Aiden menoleh ke Watson. Sherlock pemurung itu masih bertahan dengan muka tripleknya.

Lav mengembuskan napas panjang, seolah menebak inti pertemuan ini. "Ayo kita pergi, Ori. Aku tadi juga sudah bilang padamu, sekali pun mereka pahlawan Madoka, mereka takkan percaya. Kita hanya membuang waktu."

Entah dia kecewa atau apa, Lav mengangkat kakinya, pergi dari klub. Tapi disambut dua orang yang hendak mengetuk pintu. Alisnya bertaut.

"Lho, Oren? Barengan sama Al lagi."

"Aku dengar kamu akan memberitahu klub detektif tentang itu, jadi aku bergegas kemari. Lalu dia seenak hati mengikutiku." [Orenjia, teman Lav.]

"Izin mengoreksi, kita hanya kebetulan satu tujuan. Aku memang sudah niat ke sini dari pagi." [Alfizar, teman Lav.]

Orenjia bersedekap, wajah datar. "Kamu berkata seolah peduli padahal kamu hanya berformalitas."

"Jika demikian, tak mungkin aku bela-bela datang kemari menyusul Lav. Mau bagaimanapun dia temanku," jawab Alfizar sama dinginnya.

"Lantas kenapa kamu tak menunjukkan bukti kalau kamu memang teman Lav?"

"Kehadiranku di klub detektif saat ini adalah salah satu buktinya."

"Itu tak cukup disebut setia kawan."

Aliran listrik terpercik di kilatan mata kedua orang itu. Tatapan tak mau kalah, ingin menjadi pemenang dari adu mulut.

"Yak! Cukup! Janganlah bertengkar di depan kakak kelas. Kalian membuat jiwa ship-ku terombang-ambing di lautan." Seseorang datang ke tengah-tengah Orenjia dan Alfizar, menengahi mereka yang gemar berdebat. "Tidakkah kalian sadar kakak-kakak detektif sedang mengawasi?" [Ssy, teman sekelas Lav.]

Dibanding memperhatikan keluhan, atensi Watson jatuh ke nama-nama para adik kelasnya itu. 'Ssy'? Itu sebuah nama? Betapa eksentriknya.

"Bagaimana? Kalian sudah kasih tahu?"

"Sudah. Tapi..." Ori tak bisa berdiri dengan tenang. Kak Watson dilihat dari dekat amatlah manis! Tuhan, tolong kuatkan imanku. Begitu teriak hatinya.

"Mereka tak percaya, ya?" tebak Alfizar tepat sasaran. "Memang benar itu sulit diterima. Lagi pula Lav pasti sudah memperkirakannya sebelum kemari."

"Tak usah sok. Kamu pertama juga sukar mempercayainya." Orenjia kembali mendeklarasikan bendera debat.

"Kalau kamu hanya ingin cari masalah denganku, lebih baik diam saja." Alfizar mengalihkan pandangannya datar.

Ssy mendesah pasrah, tak berniat melerai mereka yang bertengkar konyol. "Tapi ini di luar perkiraan. Aku pikir mereka akan percaya--"

"Yang bilang tidak percaya siapa?" King menyeka air di pelupuk mata. "Kami tertawa bukan karena menertawakan keluhanmu, tapi bayangkan jika kalian di posisi kami, seseorang datang membawa kabar diserang serigala. Apa kalian bisa menahan tawa?"

"Woah, kak King sepertinya tersinggung." Kapela tak ikutan ah. Tapi memang terdengar konyol. Seekor serigala di sekolah menengah pada pagi hari.

"Bukan begitu, Pak Ketua?"

Aiden menoleh ke Watson yang sibuk bergumul dengan pikirannya.

Serigala, huh? Menarik. (*)



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro