File 1.7.4 - Who is Lying?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Beginilah hidup sebagai detektif.

Tak cukup satu jam penyelidikan, belum genap sepuluh menit tiba di Arohara, mereka sudah dihadang dinding buntu. Jilian menerima sekaligus memberikan informasi yang salah. Bagaimana cara mereka melanjutkan investigasi jika mereka tidak tahu siapa yang berbohong?

Apa ada alasan mengapa Theo bercerai dengan Qenea? Lalu bagaimana dengan hak asuh? Apa benar ucapan Ketua Lurah bahwa Theo sama sekali tidak peduli pada anak-anaknya? Sial! Tidak ada informasi yang jelas.

Klub detektif Madoka tidak bisa mengulur waktu. Polisi akan datang cepat atau lambat. Apa sebaiknya yang harus Watson lakukan? Haruskah dia menghambat kedatangan polisi? Tapi apa gunanya? Mereka juga tidak tahu mesti menyelidiki apa karena narasumber yang kelabu.

Haa... Kasus yang merepotkan datang di saat-saat dia lelah dengan semuanya. Bisakah Watson menyelesaikan ini di kala dirinya masih diselimuti rasa duka? Watson tak percaya diri. Tapi, baiklah. Seorang ibu diperlakukan tidak adil oleh satu desa. Watson harus membantunya.

"Di mana Nyonya Qenea saat ini?" Akhirnya dia membuka mulut setelah diam dua menit.

Jillian melirik jam di dinding. "Sepertinya Qenea sedang berada di sekolah. Seingatku anak-anaknya memang pulang di jam segini."

"Hah? Sekolah dasar macam apa memulangkan murid-murid di siang hari?" ceplos Aiden dengan impulsif. Normalnya mereka pulang pukul 10 pagi. Atau mungkin sistem PBM Arohara berbeda dari kota? Merujuk tempat itu sebuah desa.

Jillian tidak menjawab. Hanya tertawa canggung. Watson menangkap keganjilan itu. Apa ada hal lain yang dia tahu namun dia tahan?

"Jadi, mereka sekolah di mana?"

-

Shoredemo Secondary School, itulah nama sekolahnya. Jarak tempuh 2,0 kilometer dari kampung Arohara. 25 menit berjalan kaki dan 7 menit menaiki kendaraan. Sesampainya di sana, tempat itu sunyi dan lengang.

Apa-apaan? Kata Jillian jadwal pulang di sekolah ini siang hari, tapi kok sudah sepi? Mungkinkah... lagi-lagi dia berbohong pada mereka? Tidak, tidak. Watson tidak bisa menarik kesimpulan yang tak berlandaskan apa-apa.

"Ada seseorang di dekat pagar!" Saho berseru.

Mereka menyipit, berdecak pelan. Itu Qenea! Sang korban! Sedang apa dia celingak-celinguk di gerbang sekolah dasar yang sepi? Terlebih, fokus klub detektif Madoka lurus pada karung-karung di belakang Qenea. Apa yang dia lakukan di sana?

"Dilihat dari sudut pandang kita, Qenea terlihat seperti pedofilia yang mengincar anak kecil..." Kenapa Qenea membuat dirinya seolah orang jahat? Aduh! Dia mempersulit situasinya sendiri.

Watson diam. Saho memperhatikan. "Kenapa?" tanyanya kepo, beringsut ke sebelah cowok itu.

"Entahlah. Aku merasa ada yang tidak beres."

"Apa kamu meragukan pernyataan Jillian? Sekolah ini sudah sepi sebagaimana mestinya, namun dia bilang anak-anak Qenea masih berada di sekolah... Sebentar. Kalau tidak salah dia bilang 'memang', kan? Dia berbicara seperti..."

"Ya, kamu benar. Itu hanya ditujukan pada anak-anak Qenea, tidak untuk pelajar lain."

Saho tertegun. Dengan kata lain, kedua putra Qenea memilih tinggal di sekolah lebih lama karena mereka tidak mau pulang. Tapi kenapa... Mungkinkah mereka takut pada rumor ibunya?

"Apa kita harus bertindak?"

"Kurasa tidak usah. Jika kita terburu-buru, kita takkan mendapat informasi tambahan. Aku ingin kita mengawasinya dulu. Kita bisa menghampiri kalau situasinya mulai tidak terkendali."

"Baiklah." Saho mengangguk patuh.

Angin menerpa wajah dan membelai lembut rambut. Ah, musim panas benar-benar sudah berakhir. Cuacanya menjadi lebih sejuk. Watson memandangi surai pink milik Saho yang uh... Dia gatal ingin mencoba mengelusnya. Kok bisa ya warna rambut Saho begitu mencolok?

Tenanglah. Watson salah tingkah sendiri, mengalihkan pandangannya. Orang-orang dan para pembaca bisa salah paham, mengira Detektif Muram itu belok. Toh, tak ada larangan cowok memiliki rambut pink. Suka-suka dia.

Benar, benar. Di manhwa yang pernah King lihatkan, banyak kok tokoh laki-laki yang punya rambut pink. Wajar jika ada yang begitu di RL. Jeremy saja rambutnya warna abu-abu.

Tapi apa benar Saho itu pria tulen? Watson tidak melihat sisi 'kejantanan' darinya...

"Jangan menatapku dengan ekspresi yang meragukan genderku," cetus Saho terkekeh canggung. "Aku laki-laki sungguhan. Aku sudah terbiasa dikira perempuan oleh teman-teman."

Ah, sial. Watson ketahuan.

Saho menukar posisinya agar berhadapan dengan sherlock pemurung itu, tersenyum. "Walau rupaku seperti ini..." Dia membuka mata yang perlahan menggelap, namun senyumnya masih terpatri.

"Aku pernah memperkosa seorang gadis lantas membunuhnya dan membuang mayatnya."

Watson tercekat. "Apa... yang barusan kamu..."

"OH! LIHAT! Dua orang anak keluar dari gerbang sekolah! Pasti mereka anak-anak Qenea!" Seruan Jeremy menyentakkan Watson. Nice timing.

Rasanya tenggorokan Watson tiba-tiba kering demi mendengar ungkapan di luar dugaan itu. Apalagi Saho mengatakannya dengan nada lurus dan tatapan tak bersalah. Untunglah Jeremy 'menyelamatkan'-nya dan beranjak pergi dari hadapan Saho yang senantiasa tersenyum.

Mustahil. Tidak mungkin Saho melakukan hal bejat itu. Tapi, dia tidak kelihatan berbohong.

"Dan, kamu kenapa? Narkolepsi kambuh?"

"T-tidak. Aku baik-baik saja." Untuk saat ini, Watson harus fokus pada kasus Qenea. Mungkin benar Saho hanya bercanda demi menghiburnya.

Kembali ke tujuan utama, Watson dan yang lain memperhatikan interaksi anak-anak itu dengan Qenea. Sang klien (yang dicurigai korban/pelaku).

"Mama, harus berapa kali kukatakan agar Mama mengerti? Jangan pernah menjemput kami lagi. Ayolah, Ma, kami sudah besar. Berhenti menyusahkan kami dong. Teman-temanku enek berteman denganku karena aku punya ibu gila."

DEG! Kelimanya membulatkan mata, tercenung di tempat. Apa yang baru saja mereka dengar? Apa kalimat-kalimat kejam itu benar-benar keluar dari mulut anak kecil? Kau pasti bercanda.

"Mama khawatir. Nanti ada penculik."

"CL kan sudah ditangkap. Apalagi yang Mama takutkan? Mama hanya mencari-cari alasan agar kami luluh. Kami tidak suka itu, oke?" Kini giliran adiknya yang membalas jawaban Qenea.

Kakaknya mengusap-usap anak rambut. "Inilah mengapa aku tak suka Mama. Kenapa Mama membawa sampah-sampah itu ke sekolah? Rumor Mama sudah sangat buruk. Kamu mau membuat kami dibuli oleh teman-teman sekolah, huh?"

Qenea mengusap-usap lengannya. "Mama harus cari sampai sebanyak mungkin... Makanya sekalian Mama bawa itu semua. Kalian mau kan bantu Mama mengumpulkan sampai di sekolah--"

"Kenapa pula kami harus? Temanku menunggu di warnet. Ayo, Adik." Si Kakak pergi lebih dulu.

"Jangan terlalu malam ya, Ma. Kami nanti kelaparan." Adiknya pun menyusul langkahnya.

"P-pastikan kalian pulang sebelum jam 5 sore! Jaga adikmu baik-baik! Kalau ada orang aneh, cepat jauhi dia atau cari bantuan—"

"Berisik! Aku tahu apa yang harus kulakukan."

Akhirnya mereka benar-benar pergi.

Rahang Aiden mengeras. Urat-urat di leher Jeremy bermunculan. Mereka mendengar semuanya, betapa tidak pedulinya dua anak itu pada ibunya sendiri. Anak-anak itu keterlaluan!

"Rasanya aku ingin memanggang dan menyate mereka. Dasar bocah kecil bau kencur! Bisa-bisanya mereka bersikap seperti itu?!"

"Terlalu mudah, Jeremy. Harusnya kita santet saja mereka agar memohon ampun pada Qenea."

Watson melirik Qenea yang mulai mengumpulkan botol, bekas snack cemilan, bekas kaleng minuman, dan mengecek kotak bank sampah.

"...." Sherlock Pemurung itu tak berkomentar.







Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro