File 1.8.10 - Empty Wharf

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

N. B. Mian, mian! Harusnya ane update lusa, tapi ane demam. Gak bisa mikir jadinya.

***Happy Reading***

Dermaga tua itu kosong. Tidak ada perahu yang tertambat. Bahkan jalanannya lapuk, sudah patut diganti. Di dalam pondok hanya diisi tumpukan kotak-kotak berdebu.

Huftt. Watson terlalu berpikir jauh. Apa yang mereka lakukan di sana sih? Bukan dermaga itu satu-satunya... Ng? Watson menoleh ke sudut pondok. Ada sebuah cermin tergeletak.

"Kenapa ada cermin di sini?" Terlebih, kaca dan bingkainya masih baru pula. Watson tak menyangka ada saja manusia yang membuang barang-barang bagus di tempat seperti ini.

"Hei, Hellen menelepon nih. Katanya kita harus menyusul mereka ke Universitas Viralas."

"Kenapa tidak langsung bilang saja?"

"Dia maunya begitu, namun tiba-tiba panggilannya terputus. Mungkin ponselnya lowbat atau sinyalnya hilang. Siapa tahu."

Tidak ada jaringan di suatu kampus? Mustahil. Hampir setiap saat mahasiswa membutuhkan internet untuk keperluan belajar. Satu dua kampus di luar sana bahkan memiliki WiFi.

"Baiklah, kita langsung ke sana—"

"Guk! Guk!" Anjing tadi menggigit kaki celana Watson. Berputar sambil menjulurkan lidah.

"Sepertinya ia mau ikut deh, Wat."

"Heh? Kamu bercanda, Bari? Kita sedang sibuk sekarang. Tidak ada waktu untuk mengurus anjing. Lagian kamu tak lihat ia punya kalung? Pemiliknya pasti kehilangan kalau kita bawa."

"Guk!" Anjing itu berputar-putar lagi, mengais-ngais tanah, membuat kepul debu.

"Aduh! Ia ngapain sih?!" Watson terbatuk, mengucek mata yang perih karena kemasukan debu. "Bari, suruh ia berhenti dong!"

"A-anjing baik, berhenti ngacak tanahnya ya?"

Ternyata anjing itu melukis sesuatu. Salib.

"Apa ini?" Jeremy melangkah mundur, ngeri. "K-kenapa ia membuat gambar salib? Jangan bilang anjing ini anjing baptis milik bapa?!"

"Tidak, kurasa bukan begitu." Watson jongkok, menatap anjing itu yang kini duduk manis. "Kamu... Apa majikanmu sudah meninggal?"

"Guuu!" Ia memanjangkan suaranya.

Pipi Watson bersemu merah (tidak tahan dengan binatang lucu). Dia berdiri kikuk. "T-tak boleh begini. Kita harus segera pergi, Bari."

"Kenapa kamu tahu pemiliknya meninggal?"

"Kalau kamu tanya dari mana... Tangan!" Anjing itu meletakkan tangannya ke telapak tangan Watson. "Lihat? Ia jinak. Pemiliknya pasti mengajarinya sopan santun. Tadi ia tidak bereaksi apa-apa, namun ia mengekas tanah setelah aku menanyakan soal majikannya. Pemakaman orang Amerika kadang-kadang menggunakan papan salib sebagai batu nisan.

"Kamu memakai psikologi pada hewan?" Agak lain orang ini, lanjut Jeremy dalam hati takut mengatakannya. "Jika pemiliknya sudah tidak ada, kita saja yang rawat, Watson!"

"Guk! Guk!" Anjing itu senang.

"Tidak! Kamu lupa kita sibuk? Ah, sial. Sudah jam segini. Kita harus cepat-cepat ke Viralas. Nanti Aiden dan Stern marah menunggu lama."

"Tunggu!" Jeremy memegang lengan Watson. "Ayolah! Kita tak bisa meninggalkannya begitu saja. Lihat ia, Watson! Menggemaskan, bukan? Aku tahu kamu juga ingin membawanya."

Watson mendengus, memperhatikan anjing tersebut yang berbinar memelas. Ukh, sial...

"T-terserahmu saja! Jangan libatkan aku!"

"Hore!!" Jeremy menggendong anjing itu, menari-nari tak jelas. "Syukurlah ya, Winter? Kamu sekarang tidak tidur di jalanan lagi!"

"Hmm?" Watson mengernyit. "Winter? Kamu langsung memberinya nama yang aneh."

"Tidak. Itu tertera di kalungnya."

Siapa yang memberikan nama seperti itu?!

-

"Kalian terlambat! Ke mana saja, heh? Kami sudah menunggu selama lima belas menit seperti orang linglung! Lalu... Anjing siapa ini? Di mana kalian memungutnya? Kalian curi?"

"Hei, watch your mouth."

"Imutnya! Namamu Winter, ya? Pasti betina nih." Aiden terdiam begitu selesai memeriksa, melotot. "Jantan?! Kenapa namanya feminin?!"

"Bukan saatnya untuk itu. Apa yang kalian dapatkan?" Watson bersedekap, menagih observasi layaknya rentenir galak.

"Kami sudah mencari ke mana-mana, tapi Kak Notei tak kunjung tampak. Kami juga bertanya pada teman-teman jurusannya, mereka bilang Kak Notei tak datang dari tadi. Ini sudah hampir jam empat sore. Padahal dia bilang dia punya kuliah siang. Apa mungkin dia membolos setelah mengantarkan ibunya ke rumah?"

Watson mengelus dagu. "Tidak ada lagi?"

Hellen mengangguk. "Iya. Hanya itu saja."

"Kalau cuman segitu, kenapa tidak bilang lewat telepon saja? Kan kami tak perlu kemari."

"Habisnya tadi batang sinyal... Oh! Sudah kembali penuh! Tampaknya jaringannya rusak."

"Grrr! Guk! Guk!" Winter tiba-tiba mendesis, lantas berlari memutar bangunan Viralas.

"T-tunggu, Winter! Kamu mau ke mana?"

Winter menuntun mereka ke toilet bekas yang sudah tak terpakai, diasingkan oleh gedung. Ia sibuk mengendus sana-sini. Entah mencari apa.

"Lho, tempat ini kan..." Aiden menggaruk kepala. "Kami menelepon kalian di sini tadi."

"Kenapa?" Firasat Watson tak tenang.

"Habisnya dilarang menelepon di dalam gedung, apalagi yang bukan mahasiswa Viralas. Satpam menyuruh kami menggunakan ponsel di sini."

Deg! Sherlock Pemurung itu terdiam. Mungkinkah memang ada yang menghambat sinyal untuk memutus komunikasi mereka?!

Hellen segera memeriksa ponsel, mendelik. "Benar, Watson! Jaringannya hilang lagi! Pasti ada yang memasang pengacak sinyal di sini!"

"Ba—" Belum juga Watson memanggil namanya, Jeremy telah menerjang pintu toilet lebih dulu.

Mereka bergegas masuk ke dalam. Terkesiap.

"KAK NOTEI?! Astaga, Kak! Apa kakak baik-baik saja?!" seru Aiden dan Hellen, melepaskan ikatan pada tubuh Notei yang tampak lemas.

Sementara itu, Watson menyapu pandangan ke sekeliling, mendongak. Aha! Dia menemukan alat elektronik kecil berkedip-kedip tertempel oleh selotip di dinding. Sebuah jammer. Sudah dia duga, ini pasti ulah si BE brengsek!

"T-terima kasih..." Notei tersengal.

"Sejak kapan kakak dikurung di sini??"

"Sejak lusa lalu... Hm? Kalian siapa, ya?" Notei mengernyit bingung. Tadinya dia berpikir yang menyelamatkannya adalah petugas kebersihan.

"Ini kami, Kak! Klub detektif Madoka! Masa kakak lupa? Kan kita baru bertemu tadi pagi."

"A-aku tidak tahu, aku tidak ingat. Seseorang menyekap dan mengunciku di sini... SEKARANG HARI APA?!" serunya meraih ponsel di tangan Hellen, berbinar-binar melihat tanggal. "Oh t-tidak! Ibuku akan melahirkan hari ini!" Notei bergegas bangkit dengan lemah. "S-semoga Kak Sanoo sudah pulang dari kemahnya dan mengantar Ibu ke rumah sakit bersalin!"

Dan Notei melenggang pergi.

"A-apa maksudnya? Kenapa dia tak kenal kita? Kenapa dia bilang Kak Sanoo masih di kemah padahal dia sendiri yang melapor pada Inspektur Angra kakaknya menghilang..."

"Jangan-jangan Kak Notei yang di kantor polisi dan yang tadi pagi itu... sebenarnya BE?"

Ujung mata Watson tak sengaja melirik sehelai bulu di lantai—sepertinya tertindih oleh badan Notei karena dia tidak melihat itu tadinya.

"Bulu elang?" gumamnya.

Seketika otaknya membuat fragmen video.

"Kalau tidak salah, kakak menemukan elang laut itu saat kemah di Sungai Pryfay."

"Bukankah ini aneh, Watson? Keempat korban BE lahir saat ada kematian anggota keluarga."

"Tahun ini kandungannya akan memasuki usia 9 bulan. Sebentar lagi adik kecilku akan lahir."

Jangan-jangan?! SIALAN KAMU, BE!

-

[Bergegaslah. Mereka menemukan mainan sampahmu. Aku sudah memperingatimu agar meletakkannya di tempat yang jauh. Bebal.]

"Tidak, hentikan itu~ Kamu kan juga tahu aku sangat ingin menguji Watson Dan. Dia sangat hebat seperti yang dibicarakan. Fufufu ♪"

[Polisi akan datang. Aku akan membuat kekacauan dan gunakan itu untuk menyiapkan yang terakhir. Jangan sampai ada kesalahan.]

Panggilan pun ditutup sepihak.

"Tapi..." Wanita itu merobek topeng kulit yang melekat pada wajahnya, membuangnya lewat jendela mobil. Dia juga melepaskan rambut wig  di kepalanya. Alhasil, surai kuning berkibar.

Wanita itu memperbaiki posisi kaca spion. Bibirnya menyunggingkan senyuman puas demi melihat 'penumpang' di bangku belakang.

Sanoo yang pingsan dan elang laut miliknya di dalam sangkar, tak bisa mengepakkan sayap.

"Watson Dan memang detektif yang manis."








Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro