Miracle - 19 - Bangkit Kembali dari Keterpurukan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

SESOSOK manusia berwajah pucat yang berbaur dengan bayang kegelapan, terlihat mengukir senyum miring. Raganya menghitam, asap bekas terbakar membumbung di beberapa tempat.

Siapa pun pengendali tubuh tersebut, dia bahagia bisa melihat rupa seorang wanita membias di mata hampanya. Dia senang binar netranya menampakkan beberapa orang lain di sana.

Kabut hitam terselip petir-petir kekuningan lalu muncul tak jauh darinya. Seekor makhluk seterang matahari kemudian meloncat keluar dari sana dengan apik, menakuti kelelawar-kelelawar yang mencicit dan beterbangan riuh.

Urat menyembul di mata Malphas saat membelalak pada makhluk tersebut. Badan Leggebra tangguh laksana singa dengan kepala serupa rajawali perkasa. Jambul bulu panjangnya membingkai dahi dan sesekali memercikkan warna emas, sayap lebar yang seakan mampu meratakan pegunungan, juga mata sebengis ujung tombak membuatnya begitu sakti.

"Cahayamu selalu kembali, apa kau begitu menyukainya?" Decak remeh menyapa saat dilihatnya hanya ekor makhluk tersebut yang berwarna hitam.

Leggebra tak memberi reaksi, selain menggerak-gerakkan kepala ke kiri dan kanan.

"Kalau begitu, mari kita tunjukkan kembali betapa bebasnya kau dengan kegelapan murnimu."

Hanya sekali sentuhan, keindahan Leggebra tergantikan warna hitam pekat dengan petir keunguan memencar ke sekujur tubuh.

"Selamat datang kembali ke dunia kegelapan." Malphas tersenyum bangga, berganti kekeh kecil yang lambat laun mengalun bebas ke seantero terowongan.

***

"Apa maksudmu?!" Elda mendorong Eleanor hingga terimpit ke dinding.

Brute tampak kehilangan kata untuk sekadar melawan bentakan Elda setelah mendengar cerita wanita itu.

"Aku minta maaf, Elda." Berkali-kali Eleanor mengulang kalimat yang sama, tapi Elda seolah ditulikan amarah.

"Kalau saja kau tak memanggilnya keluar, aku tidak perlu kembali ke terowongan sialan itu terus-terusan, tidak perlu dilupakan keluargaku sendiri, dan tidak ... perlu ... mengorbankan ... wargaku semuaaa!" Tangan kanan Elda menumbuk-numbuk dinding kala memuntahkan sejuta deritanya ke wajah Eleanor.

"Aku lelah memendam semua ini sendirian!" Elda menarik lengannya dalam-dalam hendak melayangkan tinju terkuat hingga Eleanor menoleh dan terpejam erat, berharap bisa terhindar dengan gerakan sekecil itu.

Setelahnya, dentum dahsyat terdengar mengoyak senyap. Menggetarkan debu langit-langit.

Eleanor tak merasakan sakit apa pun, selain paru-paru yang berjuang meraup oksigen di tengah rasa takut. Perlahan matanya pun terbuka, mendapati Elda kini bersimpuh tak berdaya. Ia juga bisa melihat bercak darah tercetak di susunan bata retak.

Hantaman semengerikan itu seharusnya tak bisa dilakukan manusia biasa. Apa ... mungkin?

Rintihan Elda yang sayup memenuhi ruangan, membuat jalur pikiran Eleanor beralih. Brute bangkit hendak mengambur ke arahnya, tapi Eleanor lekas mengembangkan telapak tangan, mencegahnya datang. Wajah wanita itu memancangkan sirat yang memastikan Brute tidak akan ada masalah apa-apa.

Hati-hati Eleanor menekuk lutut di dekat Elda. Menarik napas panjang sembari berujar, "Elda, boleh aku tahu apa maksudmu tadi dengan kata mengorbankan warga?"

Isak Elda berhenti.

Eleanor tercenung melihat reaksi tersebut. Apa benar ia tak keliru menebak? Apa ada kesalahan yang telanjur terjadi tanpa sepengetahuannya?

Debas terdengar. "Perlu kauketahui, Elda, makhluk kegelapan adalah makhluk terlemah, terutama jika sudah keluar dari dunia bawah. Mereka bagai tumpukan pasir yang bisa musnah kapan saja, tak terkecuali iblis." Pelan-pelan Eleanor kembali menjelaskan. "Sayangnya, Iblis pintar menjanjikan kesenangan palsu dan manusia pintar memercayai kepalsuannya."

Elda sedikit mendongak.

"Ketika mulai tergila-gila, apa pun akan diberikan manusia, termasuk tumbal yang menguatkan mereka." Pelan-pelan Eleanor kembali menjelaskan.

"Apa maksudmu menjelaskan ini?" tanya Elda.

Eleanor menggeleng. "Tidak ada maksud buruk apa-apa. Ketika orang lain masuk ke dunia sesat atas kesenangan diri sendiri, kau berkorban untuk orang lain, meski akhirnya mereka harus berakhir satu per satu sebagai santapan iblis itu. Kau hebat, Elda."

Eleanor membalas tatapan Elda. Air mata darah menetes dari manik merah sebelah kirinya. "Kini giliranku."

Eleanor perlahan mengeluarkan buku tua hitam dari rak yang tak jauh darinya. Pupil suaminya bergerak goyah melihat bagaimana ia memandangi buku berhias ukiran pentagram merah kuno tersebut.

Pikiran wanita itu mengarungi peristiwa silam saat Malphas menghabisi seluruh sukunya di Desa Nebula, kampung halaman yang kini tak lebih dari abu.

"Aku akan menyingkirkan Malphas," imbuhnya.

"Aku ... tak mengizinkanmu pergi. Apa pun yang terjadi." Entah sejak kapan Brute sudah di dekat Eleanor, memutar bahu wanita itu yang digenggam erat.

"Sudah lama aku menjadi pengecut, Brute. Maaf, tapi aku harus menebus kesalahanku sekarang." Eleanor mengesah kala melirik Elda di balik bahu, seraya menangkis tangan suaminya. "Derita Elda hanya akan menjadi makanan yang kembali menguatkan Malphas."

Elda membelalak. "Apa maksudmu maka--"

Eleanor sekejap merasakan kedut nyeri luar biasa pada mata kirinya. Iris sewarna darahnya menyala terang kala ia terbanting ke meja, menjatuhkan apa pun yang ada di sana hingga berantakan, sebelum akhirnya tertelan pusaran kegelapan bersama Brute, Tutu, dan Sera. Menjatuhkan buku yang bergeser ke arah Elda.

"Eleanor! Brute!" Elda berteriak hendak menarik mereka keluar, tetapi bagai selimut berkibar, ruang tamu mendadak tertutupi kelam abadi dan sambaran kilat keunguan. Meluas dan terus meluas diikuti gumpalan awan kelam bagai ombak hingga tak ada ujung terlihat.

Kini, hanya ada wanita itu dan Malphas, juga seekor makhluk di belakang pria itu yang membuat Elda menelan napasnya.

Malphas menahan tawanya dalam nada rendah. Dia mengelus Leggebra sembari menatapi Elda yang memucat. "Bukankah dia lebih indah seperti ini?"

"Leggebra .... Bagaimana aku bisa melupakannya?" rintih Elda. Makhluk dengan jiwa setengah kegelapan dan setengah cahaya yang dapat menundukkan ribuan hellhound itu, rahangnya bagai cabik penghancur. Sangat kuat, tapi tak akan pernah ada kepribadian pasti. Rapuh; setipis kertas, hanya bisa mengikuti kata pemiliknya.

"Masukkan saja dia lagi ke mantra segel terlarang kalian yang katanya hanya bisa dibuka suku Lux itu, meski aku ragu kau bisa," sindir Malphas.

"Eleanor, Brute, anakku, dan kekasihnya tidak ada hubungannya dengan ini semua." Elda mengabaikan sarkasme tersebut.

"Oh, tentu saja." Malphas menyetujui. "Kau tak perlu khawatir, mereka akan baik-baik saja. Aku hanya menginginkanmu."

Pria itu menoleh ke suatu sudut hampa. Tidak ada apa-apa, tapi Elda tahu di baliknya pasti terdapat kedua orang yang mati-matian mengerahkan suara meski tak bisa didengar.

Malphas menyeringai ke arah mereka saat Elda bergerak mendekati Leggebra. Memberinya cahaya tersisa sambil membuka halaman mantra, merapalnya cepat!

"Non est umbra sine luce. Omni luci est umbra. Tenebrae et lux sibi succedunt invicem. Espice, adspice, prospice. Medio tutissimus ibis. Ubi concordia, ibi victoria!"

Hening.

Tidak terjadi apa-apa.

Satu ayunan gusar melayangkan Elda dari tanah dan mendekatkannya kepada Malphas. Pria itu menjambak Elda dan melayangkan hantaman dahsyat di mata kanan wanita itu hingga terhantam ke dinding. Lemari besar yang menerima tekanan tubuhnya turut jatuh perlahan dan membentur punggung Elda telak.

"Elda!" Eleanor menghantam dinding kegelapan berpola mistis ungu dengan kepalan tangan terlindung kuasa kegelapannya. Suatu dengung membuatnya terpental jauh. Brute segera membopongnya berdiri. "Lepaskan kami, Iblis Bajingaaaaaan!"

Elda terbatuk mengeluarkan percikan darah. Mungkin tulang di punggungnya hancur, tapi rasa sakit itu tak mengalahkan sensasi berat yang mulai mendera kepala.

"Selama ini kau selalu mencoba kabur dariku, bukan? Akan kuturuti sekarang. Mari putuskan kontrak."

Elda tersenyum miris. Ah, itulah sebabnya ia jadi melemah. Iblis sialan itu tak lagi membutuhkannya.

"Kurasa nyawamu adalah hadiah perpisahan manis. Bagaimana menurutmu?" Malphas mengatupkan tangan erat hingga urat-urat di lengannya menyembul.

Jeritan Elda berpadu dengan suara tulang di sekujur tubuh yang dipatahkan tenaga tak kasatmata, sebelum lagi-lagi Malphas memberi Leggebra warna kelam di antara elusan penuh penekanan.

Elda menggerung. Apa ia tak punya kesempatan lagi? Sungguh, Elda ingin selamat dari kegelapan.

Wanita itu tahu ia selama ini menolehkan kepala dari-Nya. Ia sudah lama menahan laju doa dalam batin selama memandangi kelip bintang di terowongan. Ia sudah lama tak ingin kabur dari kegelapan karena merasa tak lagi pantas berubah. Ia juga semakin berkubang dosa pekat tak termaafkan, tapi kali ini saja, ia memohon pengampunan kepada Tuhan.

Tolong bebaskan dia dari derita ini.

"Derita Elda hanya akan menjadi makanan
yang kembali menguatkan Malphas."

Elda termenung di sela penyiksaan yang tak lagi sanggup dirasa saat suara Eleanor terngiang.

Di balik bayang-bayang ganda nan meremas otak dan mata bengkak membiru, ia tiba-tiba mendengar rintih ketidaknyamanan Leggebra. Bibirnya berkedut saat suatu deduksi menjeda semua.

"Sekarang barulah saat yang tepat membacakanku dongeng dari buku itu. Silakan." Malphas melempar buku mantra yang mulai terjilat api kepada Elda untuk membaca seluruh isinya.

"Sayangnya, beda dengan mantra pemanggil, dongeng ini tidak akan berpengaruh jika kau sendiri tak paham apa isinya. Ayo, silakan dipahami terlebih dahulu sebelum hangus sepenuhnya."

Perasaan Elda saat ini bagai benang kusut masai ketika berupaya menekannya kuat seraya menyisir kata-kata yang tertuang di buku.

Non est umbra sine luce.
(Tidak ada bayangan jika tidak ada cahaya.)

Omni luci est umbra.
(Selalu ada bayangan di mana pun cahaya berada.)

Tenebrae et lux sibi succedunt invicem.
(Kegelapan dan cahaya saling mengait keberhasilan.)

Espice, adspice, prospice.
(Lihat belakang, lihat sekarang, lihat depan.)

Medio tutissimus ibis.
(Kau akan memperoleh keamanan di tengah.)

Ubi concordia, ibi victoria.
(Di mana ada persatuan, di situlah tercipta kemenangan.)

Bulu kuduk Elda berdiri tegak. Setetes bening meluruh di sudut mata. Mantra itu ... seolah ingin berkata bahwa Elda sudah berada di jalan yang benar selama ini.

"Kau sudah tahu dia adalah suku Tenebris, bukan?"

"Jus--justru itulah, aku ingin membuktikan kalau suku Tenebris tidak berbahaya. Aku mau mematahkan diskriminasi di desa kita."

"Mereka dijauhi karena mereka berbahaya, Elda!"

"Elda! Kau berani melanggar ucapan Ibu?!"

"Kalau saja aku memercayai Ibu dari awal ..."

"Aku akan pergi bersamamu."

"Post tenebras lux."

Dipandanginya Leggebra kemudian. Elda ingat dahulu makhluk itu dibisikkan ibunya agar terus menolak kegelapan, tapi sekarang ia tetap menerimanya meski terlihat kewalahan.

Elda beringsut keluar dari timpaan lemari tanpa melepaskan tautan mata dengan Leggebra, terutama ketika tersadar masih ada sejumput cahaya mungil di telinga makhluk itu. Ia menyembunyikan rasa sakit di balik bibir yang merapal sesuatu. Ada binar harapan semakin bersinar saat tatapannya dibalas.

Ya, ia sudah paham sekarang.[]

10 April 2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro