15

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kenapa, Watson? Wajahmu seram."

Perasaan ini... Seolah ada badai yang akan menerjang—oke, kiasan ini terlalu umum. Intinya jantung Watson berdebar-debar keras. Firasatnya jelek. Instingnya mengatakan dia harus pergi secepatnya.

"Ada apa denganmu?" Angra mendengus.

Watson mengepalkan tangan. Persetan lah! Pokoknya dia harus mengantisipasi firasat aneh yang menggentayanginya saat ini.

"Inspektur, beritahu alamat rumah teman Rio tempat kalian mampir sebelumnya."

"Untuk apa aku memberitahumu?"

"Aish! Kita tidak punya waktu untuk ini! Kalau tidak, anda dengan Petugas Ingil ikut saja. Kita harus kembali ke sana!"

Angra dan Ingil saling tatap, mengangguk. Baiklah. Detektif Pemuram itu tidak punya hasrat untuk membuat lelucon, berarti ini memang penting sekali. Mereka berdua mengizinkan klub detektif naik ke mobil.

Ini masih baru praduga saja, namun tiap kali instingnya merasakan keanehan, biasanya sesuatu sedang terjadi. Sialan, ini salahnya. Kenapa Watson terlalu lamban mengartikan tanggal '14 september'? Pelaku sudah merencanakan kematian Rio.

Sekitar sepuluh menitan, mereka sampai. Tanpa memencet bel atau apa lah, mereka langsung masuk ke kediaman tersebut.

"Papa, pak polisi yang tadi datang!"

"Apa ada yang ketinggalan—"

"Permisi," kata Angra melewati mereka begitu saja, bergegas naik ke lantai dua. Ingil sukarela menjelaskan ke kepala keluarga bersama sang putri bungsu yang kebingungan mengapa mereka kembali.

Watson, Aiden, Hellen, dan Jeremy menyusul langkah Angra. Tetapi Dextra tidak. Dia memutuskan tinggal di sebelah Ingil karena terlalu sumpek di atas sana.

Berbelok ke kanan, tampak lah istri dari empunya rumah berdiri di depan pintu sebuah kamar. Itu ibu temannya Rio.

"Monica, buka pintunya! Ini sudah mau sore lho dan kamu belum makan siang. Nanti maagmu kambuh lagi. Astaga, anak puber ini! Cepat keluar, bocah nakal!"

"Maaf mengganggu," celetuk Watson menyalip posisi beliau. Kini dia yang berdiri di depan pintu, memesong gerendel. "Sial, ini terkunci, Inspektur!" desisnya kesal.

"T-tunggu sebentar... Kenapa kalian—"

"Bertanyanya nanti saja, Nyonya. Maaf kami datang tiba-tiba." Aiden menarik beliau ke belakang, tersenyum kecut.

"Minggir kamu." Angra menggeser Watson, menerjang pintu kamar. Seketika terbuka.

Sekali dongkak doang? Mulut Watson dan Jeremy melongo, jatuh ke lantai. Tenaga macam apa yang Angra miliki? Kuda...

Tidak, tidak! Bukan waktunya untuk takjub. Mereka terburu-buru masuk ke dalam kamar yang gelap dan dingin. Suara kelepak gorden melantun ke langit-langit. Jendela yang dibiarkan terbuka membuat butir salju membasahi permukaan lantai.

Jplak! Kaki Watson menginjak sesuatu.

"Duh, di sini gelap banget. Stopkontaknya mana, ya?" Jeremy meraba dinding, tersenyum senang. "Ah, ketemu. Ini dia."

"TUNGGU, BARI! JANGAN NYALAKAN!"

Terlambat. Lampu menyala, menyiram kegelapan di kamar, menampakkan sebuah pohon natal dimana Monica terikat di batangnya. Agaknya Santa Claus D-Day tergesa-gesa melakukan aksinya sehingga tali lampu yang melilit pohon tak hidup.

"MONICA!" pekik sang ibu histeris.

Aiden tak kuasa menahan tubuh beliau yang memberontak kuat. Untunglah Jeremy memblokir langkah beliau sebelum dia benar-benar masuk ke zona TKP.

"Tenanglah, Nyonya! Anda harus tabah—"

"LEPASKAN AKU! MONICA! MONICA! ITU PUTRIKU! APA YANG TERJADI PADA ANAKKU?! MONICA! SAYANG, INI IBU!"

"Mama, apa yang terjadi..." Si Bungsu yang kecolongan mengintip, mematung syok. Dia menjatuhkan bonekanya melihat sang kakak tergantung di pohon. "K-kakak?"

"INGIL! BAWA MEREKA SEMUA KELUAR!"

Tidak perlu disuruh dua kali, Ingil menyeret keluarga korban agar keluar dari TKP. Sang Ayah yang melihat semua kejadian di ambang pintu, mengikuti Ingil dengan mata kosong serta langkah lemas.

"Dan, jendelanya terbuka! Lampu di pohon tidak menyala! Pelaku pasti masih ada di sekitar sini! Dia belum pergi terlalu jauh!"

Hellen mengangguk, setuju dengan Aiden. "Kita harus mengejarnya, Watson!"

Akan tetapi, Watson diam tak menanggapi seruan Aiden dan Hellen. Dia terlihat bergeming di tempat sembari menyentuh leher. Tenggorokannya terasa panas.

Apa ini? Kenapa suaraku tidak mau keluar? Watson kentara panik. Jangan bilang karena teriakan barusan? Sherlock Pemurung itu selalu lupa kondisi badannya, terutama suaranya yang pernah cedera.

"Watson! Kami butuh arahanmu!"

"Kalian tidak perlu repot-repot," cetus Angra mendesah berat. Sepertinya dia tahu Watson punya masalah urgen. "Tubuh korban sudah mendingin, sedangkan kain gorden masih terlihat kering. Dengan angin dan hujan salju yang kencang, tak wajar jika kainnya tidak basah."

"Jadi?" Ketiganya menunggu lanjutan.

"Korban sudah meninggal beberapa jam yang lalu. Tidak mungkin pelakunya masih berkeliaran di TKP. Dia tidak bodoh."

"Lalu bagaimana dengan jendelanya?!"

"Perhatikanlah." Angra bersedekap. Ada semacam alat di bingkai jendela. "Kalian sekali pun pasti tahu benda apa itu."

"Smart Window Opener... Jadi, pelaku mengendalikan jendelanya dari jauh. Tapi untuk apa dia melakukan itu? Dia ingin memancing kita supaya mengejarnya?"

"Dia pasti meninggalkan sesuatu di sini," ucap Aiden ngeh terhadap tindak-tanduk pelaku. Berani mempertaruhkan resiko seperti itu, jelas sekali pelaku kehilangan barang dan kemungkinan jatuh di TKP.

Watson menarik baju Angra, menyodorkan pisau palet ukuran terkecil yang berdarah. Ah, tenang. Kita membicarakan Watson. Anak itu pakai sarung tangan kok. Dia mengeluarkan memo kecil, menulis di sana. [Pasti dia meninggalkan benda ini.]

"Lho, Watson? Kenapa kamu pakai kertas... Mungkinkah suaramu hilang lagi?"

Sherlock Pemurung itu mengangguk.

"M-maaf, itu salahku. Seharusnya aku tidak menyalakan lampunya tadi..."

Watson menggeleng. Sudah terlanjur, demikian maksud ekspresinya. Mereka tidak bisa memutar waktu. Toh, istirahat sebentar pasti suaranya perlahan memulih.

"Kenapa ada pisau palet di TKP..." Angra memijat pelipisnya. Masa sih pelaku menggunakan benda itu untuk membunuh korban? Mana ukurannya paling kecil lagi.

"Tidak, Inspektur," kata Hellen mewakili Watson yang patah-patah menggerakan tangan: bahasa isyarat. Dia telah lama tidak berlatih, skill-nya jadi karatan. "Pisau kecil itu bukan senjata pembunuhan."

"Lalu, apa kegunaan benda ini?"

Watson menunjuk lantai. Terdapat lukisan angka '25' yang diberi jarak (jadi 2 5). Itulah gunanya pisau palet tersebut. Pelaku memakainya buat melukis simbol riddle. Kali ini bukan tanda matematika (kabataku) melainkan angka-angka.

Ah... Rasanya Angra mengerti. Diliriknya lekat-lekat pisau palet itu. "Kamu benar. Bercak darah di bagian ujung lebih sedikit dibanding di bagian bawahnya. Pelaku pasti tak sengaja terluka oleh benda ini," gumamnya tersenyum miring. "Ketangkap kamu sekarang, santa keparat. Ingil! Cepat bawa bukti ini ke forensik!"

"Siap, Pak!" Ingil melesat pergi ke NFS.

Angra bersedekap. "Kemampuanmu boleh juga," katanya menatap Watson masam. Ketika mulut dan ekspresi tak sejalan.

Sherlock Pemurung itu mengabaikan. Dia masih menatap lurus angka 2 5 di lantai. Kira-kira, siapakah korban selanjutnya...

Investigasi selesai. Mereka turuh ke lantai bawah, menghibur keluarga yang berduka.

"Dextra mana?" Aiden celingak-celinguk.

"KAK AIDEN! TOLONG AKU!!!"

Pemilik nama bersitatap dengan Hellen. Dextra berada di luar rumah, sibuk menahan seorang reporter rempong yang ingin masuk meliput berita terkini.

"Biarkan aku melihatnya!"

"Tidak sekarang, wahai wartawan menyebalkan! Satu keluarga sedang berkabung! Anda ingin flash kamera menghancurkan perasaan mereka?!"

"Hanya satu pertanyaan saja!"

Selagi mereka ribut dan ricuh, Watson berdiri di pintu yang ternganga, menatap datar pemandangan di depannya. Ah...

Wanita itu, Marconasa Nabendu.







Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro