27

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"NASA! NASA, INI KAKAK! BUKA MATAMU! KENAPA KAMU BISA SEPERTI INI?! KENAPA?!"

Aiden, Hellen, dan Jeremy menoleh ke Watson. Kode meminta arahan. Sherlock Pemurung itu mengangguk. Teruskan. Demikian maksudnya.

"P-Petugas Marc, sepertinya kita harus mundur dahulu... Dengan kondisi psikis anda yang sekarang, anda hanya akan menghambat penyelidikan. Tolong kerja samanya," kata Jeremy agak kasihan pada Marc. Terlebih mereka itu saudara kembar. Adikmu mati di depanmu, siapa coba yang tidak histeris.

"Ini salahku... Karena aku terlalu lamban mencarinya... Nasa mati karenaku. INI SEMUA SALAHKU!" teriaknya menepis pegangan Jeremy, kemudian lari dari TKP, menangis.

Hoo, hebat. Dia menjiwai. Watson mengangguk pada Ingil. "Kita harus mengejarnya, Detektif! Saya khawatir jika dia kenapa-napa!" Karena manusia bisa melakukan hal bahaya saat syok.

"Saya akan ikut!" kata Polly terisak. Malang sekali nasib Marc. Padahal hanya Marconasa keluarganya yang tersisa. Dia pasti terpukul.

Aiden, Hellen, Jeremy, Polly, dan Ingil sudah keluar dari TKP.  Meninggalkan Watson yang memberi pesan pada Nalan--dia butuh bantuan tambahan--bersama Angra yang mengelus dagu.

Selagi mereka mengejar Marc, Angra mengelilingi 'pohon natal manusia' itu, dan ada hal aneh yang luput dari mata mereka semua. Angra menyadarinya. Tidak salah lagi.

"Hei, bukankah dia hanya tidur--"

"Oi, Inspektur! Tolong jaga TKP-nya. Aku harus menyusul yang lain. Kalau nemu hal aneh, diam saja ya. Inspektur harus mengikuti alur."

Watson pun pergi. Tersisa Angra yang bingung.

Hah? Wajah Angra penuh tanda tanya. Apa hanya dia yang tidak tahu apa pun di sini?

*

Penggawa mencanangkan mereka harus hati-hati selama berada di Desa Stupido. Tempat ini sering terjadi kecelakaan. Banyak korban yang kena petaka saat tinggal di sini.

Awalnya Watson menduga itu hanya alegori yang tematik dengan desa. Dia tak percaya sesuatu seperti takhayul, momok, kutukan.  Sampai hari ini dia melihatnya sendiri.

"Tunggu, Petugas Marc! Anda mau ke mana?!"

Marc berhenti berlari. Posisinya sekarang, mereka berada di atas bukit salju dengan jalan tol di bawah sana. Tinggi bukit hanya sekitar tinggi orang dewasa. Jadi, mereka masih bisa melihat kendaraan yang berlalu-lalang. Tapi, mereka tak bisa melihat motor atau pejalan kaki. Karena perbedaan tinggi tranportasi atau entitas membatasi jarak pandang mereka.

Marc mendongak ke langit malam yang melabuhkan butir salju, tersenyum miris. "Kalian tahu? Nasa adalah segalanya bagiku. Meski kami sering cekcok dan adu pendapat sebab pekerjaan kami yang bertentangan, aku tetap menyayanginya. Dia adik kembarku."

Watson berhitung dalam hati. Apa-apaan intonasi suara Marc yang terdengar pasrah itu? Firasat detektif muram itu jelek.

Tapi, sialan... Apa Marc mantan aktor? Ekspresinya sangat mendalami dan natural. Siapa pun akan tertipu termasuk Watson yang menyusun kejadian ini. Hampir saja dia lengah.

"Menjauh dari sana, Petugas Marc!" seru Ingil mendekati pria paranoid itu secara hati-hati.

Marc berbalik, menatap Ingil dengan mata dan mimik yang kosong. "Aku tak punya alasan untuk hidup lagi. Selamat tinggal, semuanya."

Marc pun melompat terjun. Kebetulan ada mobil yang sedang melaju tanpa peringatan. Brak!! Darah mencoret wajah Jeremy dan Polly yang berada dekat dengan Marc. Terduduk.

"TIDAK, PETUGAS MARC!"

"KYAAAA!!!" Aiden dan Hellen berteriak.

Sherlock Pemurung itu berbinar-binar tak percaya. Tidak, bukan begitu seharusnya. Bukankah Watson sudah menjelaskan sebelum tiba kemari? Kenapa Marc melupakan bagian yang terpenting? Watson itu kadang-kadang perfeksionis. Makanya sekarang dia kesal.

Yah, ya sudahlah. Sudah terlanjur.

"Kenapa anda masih diam saja, Petugas Polly?
Cepat telepon bosmu dan laporkan kalau Petugas Marc sudah bunuh diri seperti yang dia inginkan! Bilang kalau kamu melihatnya dengan mata kepala sendiri!"

"Baik! Saya akan menelepon--"

Ingil dan klub detektif Madoka terkesiap, tak terkecuali Polly yang terpancing. Dia menoleh horor kepada Watson yang menyeringai.

"Kena kamu, wahai kaki tangan santa."

Polly melangkah mundur. "Apa... maksudmu?"

"Jangan berpura-pura lagi. Aku sudah tahu wajahmu. Kamu adalah bawahan Santa D-Day. Aiden, Stern, kalian tidak merasa aneh soal bom yang ada di labor komputer akademi Gijaumi? Bagaimana bisa timer waktunya tersisa 8 detik dan kebetulan kita sudah ada di sana... Seolah pelaku membaca arah tujuan kita dan tergesa-gesa membunuh sampai pohon yang dia gunakan tiap beraksi tertinggal di luar labor. Itu tidak mungkin bisa dilakukan. Kecuali jika kamu punya mata dan telinga yang memberitahu semua gerak-gerik kita."

Aiden menoleh galak ke Polly. "Kamu...! Sialan! Di mana Dextra, hah?! Kamu apakan dia?!"

"A-aku tidak mengerti apa yang kamu bicarakan, Watson. Bagaimana mungkin aku bekerja sama dengan pembunuh berantai?"

Pengelakan yang lemah. Watson memasukkan memori flashdisk dari webcam mini yang dia tempelkan di spion mobil. "Kamu masih mau menyangkal setelah melihat ini?"

Ternyata tujuan Watson mengambil kamera kecil di komputer yang dipakai Dextra adalah merekam pergerakan Polly. Saat perjalanan menuju Akademi Gijaumi, tampak Polly diam-diam memainkan ponsel. Tapi itu bukan hpnya melainkan ponsel jadul sekali pakai. Dengan gerakan mulus, dia membuang benda tersebut dari jendela, lalu pura-pura cemas.

"Apa pun bentuk sangkalanmu, itu tidak berguna jika polisi menemukan ponsel tersebut. Akan ada sidik jarimu di sana.

"Lagian aku sudah curiga darimu semenjak kamu berbisik dengan Gari ketika kami tiba di kantor polisi. Kamu bilang 'kemarin', ketika kutanya pada petugas lain, kamu tidak masuk kerja kala itu. Artinya kamu mengancam, tidak, kamu bertemu dengan Gari secara diam-diam tanpa sepengetahuan orang, terutama Marc karena dia juga masuk ke list Santa D-Day."

Lengang sejenak. Udara dingin dan salju putih menambah ketegangan. Adrenalin terpacu.

Ingil mengeluarkan taser dari sabuknya, perlahan mendekati wanita itu--dia bergeming. "Polly Kanchana, anda ditangkap dengan tuduhan kaki tangan pembunuhan. Mohon kerja samanya jika anda tidak mau..."

Grep! Bertanya-tanya apa yang sedang Polly pikirkan, ternyata dia tidak berusaha kabur, melainkan menyandera Jeremy yang paling dekat. Dengan mudah dia menarik Jeremy ke terkamannya dan mengeluarkan pistol.

"JEREMY!!!!" Aiden memegang lengan Hellen yang nekat ingin menolong Jeremy. "Lepaskan aku, Aiden! Kita harus membantunya!"

"Ya, ya, ya. Kamu bisa membantu menguburkan jasad anak ini setelah dia tewas nantinya."

"LEPASKAN ANAK ITU, POLLY KANCHANA!"

"Mendekat sedikit saja akan kulubangi perut bocah ini!" kekeh Polly mengeluarkan sifat aslinya. Tidak ada lagi Polly yang anggun dan ramah. Yang ada hanya wanita gila. Dia menoleh jengkel ke Watson. "Kamu memang genius seperti yang kudengar. Orang kayak kamu harus dimusnahkan dari muka bumi ini."

"Seseorang yang menculik dan menawan dua remaja polos, tidak layak menghakimiku."

"Masih bisa bersikap tenang, huh? Terima kasih sudah membuka kedokku, Watson! Setidaknya aku berhasil melakukan misi terakhir dari Bos, membuat Marc bunuh diri."

Watson tolah-toleh bingung, menatap Polly tidak mengerti. "Siapa yang bunuh diri?"

"Hah? Kamu mau bertingkah bodoh--"

Ringisan seseorang memotong kalimat Polly. Tampak Nalan membantu Marc naik ke bukit salju. "Apa anda baik-baik saja, Petugas? Cabainya tidak mengenai mata anda, kan?"

"Saya tidak apa, Pak Nalan. Cara mengemudi anda membuat saya kagum. Roda mobil tepat menginjak botol saus yang Watson siapkan."

Polly kebingungan. Apa maksudnya ini?

"Kamu masih heran dengan situasi sekarang, kan? Aku membuat sedikit drama untuk menipu Santa Claus D-Day dan membuatmu membuka topengmu." Watson melangkah ke tempat Nalan dan Marc yang sibuk mengibas-ngibaskan salju di pakaian. "Petugas Marc, anda salah dialog. Harusnya 'aku tidak bisa hidup di dunia yang tidak ada saudaraku di dalamnya'. Lupa, ya?"

"M-maaf," Marc cengengesan. "Saya gugup..."

"Hahaha..." Mereka semua menoleh ke Polly yang tertipu mentah-mentah. "HAHAHA!! JADI KAMU MERENCANAKAN SEMUANYA, WATSON!"

Polly dan Watson saling tatap dingin.

"Dasar, Monster."

"Kalau aku monster, kamu apa?"





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro