3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Otak merupakan organ paling unik.

Meski bentuknya kecil, namun ia mampu menampung ribuan informasi. Manusia yang menganggap dirinya pintar, sejujurnya mereka hanya menggunakan 10-25% kemampuan otaknya.

Lalu ke mana sisanya pergi? Simpel. Semua itu terkunci di alam bawah sadar, bersama ingatan-ingatan sepanjang hidup. Kita tak mungkin bisa mengingat apa saja yang kita lakukan sejak kecil, kan?

Yeah, kecuali jika kalian menderita Hyperthymesia, maka kalian takkan pernah lupa satu hal kecil pun. Tapi jangan berbangga hati, jangan senang. Karena penyakit ini adalah penyakit kutukan yang membuatmu tak bisa melupakan apa saja yang pernah menimpamu.

"Ingat kata Mama, oke? Tunggu Papa. Jangan pulang sendiri. Berbahaya."

Andai saat itu aku tetap di sekolah.

"Kumohon... Jangan... Lepaskan aku..."

"Tidak apa. Ini tidak akan sakit kok. Semua akan baik-baik saja, Watson. Bukankah itu namamu? Kamu memiliki nama yang genius. Oleh karena itu, kamu diberkati otak yang pintar."

Maka hal itu takkan pernah terjadi.

DEG! Watson membuka matanya, memaksa beranjak bangun. Sedetik kemudian meringis merasakan sekujur tubuhnya yang berat. Aduh lemas. Lehernya juga sedikit kaku. Berapa lama dia pingsan? Diliriknya ke luar.

Ah, sudah malam rupanya.

"D-Dan, kamu sudah baikan?"

Watson menoleh. Tampak Aiden, Hellen, Jeremy serta Dextra menatapnya cemas. Detektif muram itu mengusap wajah. "Ya. Aku baik-baik saja. Pilihan bagus, Stern, tidak membawaku ke rumah sakit."

Hidung Hellen kembang. "No problem."

"Tapi serius kamu tidak apa, Watson? Kamu mengigau dan berteriak-teriak. Mimpi buruk kah? Dikejar Jam lagi?"

Aiden menampar mulut Jeremy. "Hus! Jangan sebut-sebut namanya. Lalu kamu, bukankah ada yang harus kamu katakan?"

"Maafkan aku, Watson. Aku tak bermaksud menepuk punggungmu terlalu keras. Sumpah, aku tidak pakai tenaga sedikit pun! Aku melakukannya amat pelan!"

Watson tersenyum kecil. Dia mempunyai teman yang baik dan jujur. "Tidak apa, lupakan saja. Aku tahu kamu tidak berniat kasar padaku. Aku pingsan diracuni, bukan karena pukulanmu. Stern, penyebabnya?"

"Coba sentuh lehermu."

Watson meraba lehernya, meringis. "Apa ini? Lumayan sakit. Bekas luka?"

"Itu berasal dari jarum suntik yang diisi potasium sianida. Kamu beruntung imunitasmu kuat dan bisa memblokir zat racun itu sebelum mengenai organ."

Entah keberuntungan atau tidaknya, dari dulu Watson memang sering sekarat dan ujung-ujungnya berhasil bertahan hidup. Mungkin Tuhan senang melindunginya.

"K-kurasa ada orang yang mengawasi kita. Mungkin orang itulah yang menyerang Kak Watson..." Dextra kembali memanggil formal—takut dipelototi Aiden.

"Kita akan membahas itu nanti," kata Watson turun dari kasur. Saat ini mereka berada di UKS sekolah. "Sekarang kita harus menemukan Kak Rani. Oh iya, kalian dapat apa dari warnet itu?"

Aiden dan Hellen saling tatap, menghela napas panjang. "Kak Rani kabur dari pertandingan itu. Timnya kecewa dan berakhir kalah telak oleh lawan mereka."

Sesuai dugaan. Watson mengatupkan rahang. "Kak Rani diculik. Dia bukan menghilang atau kabur dari lomba itu."

"Apa kita akan ke rumahnya, Dan?"

"Tidak. Kurasa kita takkan mendapatkan apa-apa di sana. Kita perlu mencari ponsel Kak Rani yang kemungkinan jatuh saat penculik menyeretnya."

Aiden mengernyit. "Memangnya kita dapat apa dari ponsel Kak Rani?"

"Ada hal yang menggangguku." Kenapa Rani menyalakan ponsel padahal tahu peraturan. Pasti dia membutuhkan sesuatu hingga membuatnya melanggar.

"Baiklah. Kalau begitu, apa kamu punya titik tempat dimana kita akan mulai?"

Watson memasang jaket bulu miliknya, juga syal pemberian Tiara (anak yang dia selamatkan di kasus Andeng). "Pertama, tentu saja ke warnet. Pasti ponselnya terjatuh di sekitar situ."

Mereka mengangguk, menyusul langkah Watson, keluar dari gedung sekolah. Kelimanya asyik berceloteh tentang 'kegiatan apa yang akan kamu lakukan di hari natal enam hari lagi', Dextra menoleh. Ada jejak kaki yang terlihat baru.

"Eh, Kak Aiden. Lihat deh."

"Jejak kaki misterius di sekolah pada malam hari," Jeremy bergumam. "Itu bukan kabar baik. Jelas sus banget"

Watson membungkuk. "Ini bukan kaki cowok melainkan perempuan," katanya membandingkan jejak di tanah (salju) dengan kaki Aiden dan Hellen. "Sepertinya ada yang bermain petak umpet hee."

"Melihat arahnya, bukan itu berasal dari UKS? K-kita diintip oleh stalker?!"

Hellen menarik kuping Jeremy. "Suaramu, Jer, terlalu keras. Bagaimana kalau stalkernya masih di sini dan mendengar?"

"Ampun! Ampun, Nona! Sakit...!"

"Coba bilang sekali lagi."

"Apa?" Jeremy mengelus-elus telinga.

"Coba panggil aku 'Nona' sambil melas. Aku ingin mendengarnya lagi."

"Hei, Hellen! Apa yang kamu pikirkan?!"

Gemas permintaannya dikacang, Hellen pun mencubit pipi Jeremy. "Kubilang, coba panggil aku begitu sekali lagi."

"Benar-benar deh. Apa yang merasukimu?!"

"Oi!" Watson berseru jengkel, menatap mereka geram. "Bisakah kita serius di sini? Kalau kalian mau pacaran, sana jauh-jauh."

Jeremy dan Hellen bersiul tak tahu.

"K-Kak Watson itu orangnya tegas ya..." bisik Dextra hati-hati, tersenyum simpul.

"Hahaha." Aiden terkekeh canggung.

Agaknya kita harus kasihan dengan karakter Dolok. Pasalnya, dia menjadi sopir anak-anak itu, mengantar mereka ke sana-situ tanpa gaji tambahan. Beliau sukarela membantu Aiden.

Watson menatap tiang listrik yang dipasangi CCTV. Dia lengah sesaat karena fokus memperhatikan benda itu.

Disentuhnya lehernya, mengatupkan rahang. "Berani sekali kamu mencari masalah denganku. Baiklah, kuterima tantanganmu. Aku akan menangkapmu dan melemparmu ke penjara, Bajingan."

"Dan!" Aiden memanggil. "Di sini! Kami menemukan ponsel Kak Rani!"

Secepat ini? Tuh, kan, Watson sudah menduganya. Rani diculik ketika dia masih di warnet. Si pelaku cukup bernyali juga.

"Di mana?" Watson celingak-celinguk.

"Tepat di sebelah toilet. Wah, sepertinya warnet ini mengutamakan kebersihan ya, karena punya kamar mandi outdoor."

"Tidak ada di antara kalian yang menyentuhnya, kan?" tanya Watson cepat sambil memasang sarung tangan.

Mereka berempat menggeleng serempak. Itu barang bukti. Mereka tak bisa asal memegang. Sidik jari mereka akan tinggal.

Sherlock Pemurung itu memperhatikan ponsel pintar tersebut. Tidak ada yang rusak seperti layar retak. Ketika dinyalakan, tertera sebuah kata sandi dengan wallpaper Charles Babbage. Berpikir sebentar, Watson pun menekan empat angka dengan yakin. Terbuka!

Dextra melotot. "BAGAIMANA BISA?!" teriaknya spontan. Aiden sampai menutup kuping karena seruannya yang keras. Wow, dia bisa mengeluarkan suara tinggi?

"Ckckck!" Hellen dan Jeremy geleng-geleng kepala, sudah terbiasa. "First time?"

Sial! Tidak ada yang menarik di sana! Kontak Rani pun cuman segelintir—keluarganya dan anggota Dewan Siswa. Bagaimana cara Watson menemukan petunjuk di mana penculik menyekapnya?

"Sebenarnya kenapa dia menyalakan ponsel? Apa tujuannya? Apol bedebah." Watson melampiaskan kekesalannya. Ini semua karena ketua organisasi siswa itu!

Saat melepaskan ponsel, mengalihkannya ke Aiden, detektif muram itu mengernyit melihat bercak merah pada sarung tangan bagian kedua jempol. Dia menghirupnya. Bau anyir. Mungkinkah darah?

"Stern, kamu bawa alat forensikmu?"

Hellen mengangguk. "Bawa kok. Kenapa?"

Watson mengupas anti gores ponsel, menyerahkannya dengan hati-hati. "Ada darah di kaca mika. Ini pasti darah Kak Rani. Coba cek di bagian mana saja yang berdarah. Jika semua layar berdarah, cari bagian yang darahnya bertumpuk. Sepertinya Kak Rani mencoba meninggalkan pesan kematian atau entahlah, aku tidak tahu."

Jeremy mengangkat koper hitam ke depan Hellen. Dia cekatan membuka segelnya. Terdapat banyak barang yang biasa digunakan ahli forensik ketika berada di TKP. Aiden dan Dextra berdecak kagum.

Hellen memakai brush baoli, membersihkan permukaan casing itu. Oh tentu saja khusus forensik, bukan brush make up. Kalian jangan sampai salah mengartikan!

Hellen merobek secuil plastik lem, menempelkan itu ke layar setelah menyapu bersih, dua detik kemudian menariknya kembali. Dia dan Watson menahan napas. Ada banyak darah yang terbawa oleh potongan plastik itu. Tebakannya benar.

"Bagaimana sekarang?"

"Lakukan seperti yang kusuruh."

Hellen mengangguk. Dia pun menegakkan mikroskop portabel lalu meletakkan casing itu ke 'meja objek'. Tak lupa memasukkan sampel plastik barusan ke disk komputer kecil di dalam koper. Mulai membaca DNA.

"Kamu benar. Ini darah Kak Rani. Lalu darah terbanyak ada di sini..." Mengaplikasikan data yang didapatkan Hellen ke ponsel, Watson menelan ludah.

"112? Ini angka 1-1-2, kan? Kenapa Kak Rani memanggil nomor darurat?" (-)










Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro