5

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jeremy sempat memikirkan sebuah pertanyaan konyol yang sudah lama dia lupakan semenjak berakhirnya kasus penguntit monokrom. Tetapi, pertanyaan itu kembali muncul ke permukaan.

Ingin tahu apa itu? Tentang: apakah mental Watson sehat atau rada miring.

Perhatikan dia! Di saat semua orang merasa ngeri dan mual bahkan Apol sekali pun kena mental, cowok itu justru melangkah maju, mendekati mayat Rani dengan wajah datarnya. Seolah itu hanya boneka natal yang imut menggemaskan lalu dia tak sabar ingin memainkannya.

Watson menoleh ke sekeliling. Tirai jendela ditutup, mengunci akses penglihatan. Ventilasi diblokir, mengunci aroma tak sedap. Lalu lab juga dikunci oleh dewan guru. Sungguh sebuah TKP yang sempurna.

Yang mencolok bagi Watson, kenapa genangan darah di bawah batang pohon sedikit? Seakan dia baru saja terluka, seakan dia baru saja mengembuskan napas terakhirnya. Jika Rani sudah berada di sana 'beberapa hari', harusnya darahnya sudah habis sekitar 2-3 liter.

Watson hati-hati memeriksa tubuh korban, mengitari 'pohon natal manusia' itu, sesekali merunduk. Dia tersentak begitu menemukan sumber dari kematian.

Melihat tanggal pada rekaman CCTV, Rani menghilang tiga hari lalu. Itu sudah lebih dari cukup mengeringkan setengah darah di tubuh jika dinilai dari luka sobek di pinggangnya. Tetapi kenapa? Di mata Watson, luka itu terlihat masih segar.

Ada yang tidak aktif di sini.

"Apol, cepat hubungi polisi dan guru. Kita harus membereskan ini sebelum pagi datang. Murid-murid tidak boleh tahu."

Pemilik nama malah diam mematung. Tampaknya Apol yang paling syok di sana. Bayangan seseorang berdarah-darah di pelukannya terlintas di ingatan.

Apol mengepalkan tangan, menjawab dengan kabur dari TKP.

"Tunggu, Ketua Apol!" Aiden dan Hellen yang sudah selesai meredakan mual, spontan berseru. Ada apa dengannya?

Dantorone sigap berdiri di hadapan mereka. Matanya kembali terpejam. "Saya serahkan masalah ini pada kalian, Klub Detektif. Soal ketua dan polisi biar saya yang urus. Saya mengandalkan kalian," ucapnya sambil menatap lurus ke Watson.

Apa yang salah dari pemimpin dewan siswa nan bertampang licik itu? Akhirnya dia menunjukkan sisi manusianya? Jangan bilang... Watson melirik genangan darah di bawah batang, manyun. Dia takut darah.

"Kak Watson!" Si Bocah IT tahu-tahu sudah berdiri di petak jendela tanpa disadari. "Di jendela terakhir, satu selotnya terlepas!"

"Apa?" Hellen bergumam tak percaya.

Sudah Watson duga, ada yang tidak beres selain dari kematian Rani. Apakah pelaku memanipulasi TKP atau memalsukan penyebab kematian? Kalau begini jadinya tidak ada pilihan lain.

Watson tidak percaya pada Angra, namun dia yakin Angra akan sulit tepatnya tak bisa menutup kasus ini. Mengingat cara kematiannya mirip dengan korban-korban Santa Claus D-Day, kepolisian tidak bisa mengabaikan kasus Rani begitu saja (seperti biasa). Mereka akan bekerja serius karena massa dan rakyat terlanjur tahu. Setidaknya itu kabar baiknya.

Kabar buruknya, AKBP (Ajun Komisaris Besar Polisi) menyembunyikan perihal tewasnya seorang pelajar Madoka karena tidak mau masyarakat semakin heboh dengan pembunuh santa maut. Tak ada untungnya bekerja sama dengan polisi!

Sayup-sayup terdengar suara sirine. Mereka (polisi) gercep juga heh. Apakah karena ada detektif Moufrobi di sekolah itu? Baiklah. Tidak ada salahnya berjaga-jaga.

"Dan, apa yang kamu lakukan? Jangan mengotak-atik jasad." Aiden memperingatkan. Yang dilakukan Watson itu bisa merusak TKP.

"Aku membutuhkan sampel," kata Watson selesai mengambil darah Rani dan memotret gambar. "Stern dan Bari, pergilah ke NFS. Suruh Mamamu mengautopsi ini. Aku akan menyusul setelah Angra selesai memberi kesimpulan. Kita akan berpura-pura terkejut sebagaimana kagetnya adik kelas mendapati fakta kakak kelasnya meninggal supaya para polisi tak curiga."

"Baiklah, kami mengerti."

-

Pukul 23.56 malam.

"Bagaimana?" Angra bertanya setelah mengecek tubuh korban, menoleh ke Ingil rekannya.

"Penyebab kematian adalah pisau menusuk bagian perut dan menikam usus serta ginjal lalu menyebabkan pendarahan hebat. Dilihat dari ukuran lukanya, pelaku kemungkinan menggunakan pisau panjang 40-60 sentimeter. Korban diperkirakan tewas tiga hari lalu."

Tunggu, apa! Kedua alis Watson bertemu. Bukankah itu hari dimana Rani dinyatakan menghilang? Bagaimana bisa Ingil mengatakan Rani meninggal saat dia menghilang?!

"Sebentar," cowok itu menyela percakapan kedua polisi yang bertugas, "dia tewas tiga hari lalu? Yang benar saja. Apa kalian tidak melihat luka korban masih segar? Pelaku baru membunuhnya sebelum kami datang kemari. Mungkin saja pelaku masih berkeliaran di sekitar sini."

"Apa kehilangan sahabat membuatmu mendadak pintar mengarang novel?" Angra mendengus.

"Apa?" Watson seketika naik pitam. "Jaga mulutmu, polisi sialan! Siapa kamu, hah?! Kamu tak berhak menyinggung tentang temanku!"

"Tenanglah, Dan! Kita sedang berada di TKP. Kamu tak boleh marah-marah di sini. Kita bisa diusir," bisik Aiden mencoba menenangkan dengan menahan tubuh cowok itu. Tapi dia salfok karena baru sadar badan Watson terlalu mungil untuk kalangan anak laki-laki.

Aku sekarang sedang meluk orang atau boneka sih? Ini menguji imanku! Aiden membatin.

"Biarlah aku angkat kaki daripada menetap di sini. Mereka tak bisa diharapkan." Watson mengembuskan napas jengkel, memutar langkah, kemudian berbisik pada Aiden dan Dextra. "Ayo kita pergi menyusul Stern dan Bari."

Keduanya mengangguk serius.

Setelah mereka bertiga meninggalkan TKP, Ingil menegur Angra di belakang mobil forensik yang antek-anteknya sibuk mengambil gambar.

"Seharusnya anda tidak mengatakannya."

"Apa?" Angra mengeluarkan rokok.

"Tentang sahabatnya, Violet. Anda tahu persis bagaimana hancurnya perasaan anak itu."

"Aku tidak mengerti apa yang kamu bicarakan. Apa urusannya bocah itu denganku."

"Jangan berpura-pura dungu. Bukankah anda lebih dari tahu? Anda diam-diam menemani Watson di makam sahabatnya selama enam hari."

Kalimat Ingil sukses membuat Angra terbelalak.

Sementara itu, Ibu Hellen alias Cynthia sudah menunggu kedatangan Watson dan yang lain. Tak lupa membawa dokumen yang diminta Watson. Beliau langsung meninggalkan pekerjaannya demi melihat putrinya bersama Jeremy mendadak mendatangi departemen forensik.

"Bagaimana hasilnya?" Watson tergesa-gesa membuka segel amplop. Semoga saja dugaannya salah. Jika benar, perkara ini akan jadi rumit.

"Ada dua penyebab kematian, Watson. Pertama, tubuh korban dibekukan saat dia masih hidup. Kedua, luka di pinggangnya. Tertusuknya dua ginjal sudah cukup membunuh seseorang, apalagi tubuhnya habis dibekukan. Pelakunya bukan manusia. Dia iblis, menyiksa korban sampai ke titik terakhir kehidupan."

Watson mengacak-acak rambut ketika membaca selembaran surat hasil autopsi. Entahlah dia tidak tahu apa, namun ada yang tertinggal dalam investigasi mereka.

Tunggu dulu. Cowok itu menatap Chyntia. "Kapan korban meninggal?"

"Jam kematian 10.18. Walau tubuhnya dibekukan, korban masih bertahan hidup sebelum luka di pinggangnya membuatnya menyerah." (-)





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro