13

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Note.
Setelah mentok sehari, mogok ngapain2, akhirnya dapat juga titik terang nih kasus. Hehehe boi :v

***HAPPY READING***

Watson memperbesar gambar. Itu betulan mantel hujan. Masa sih Erika si Penguntit Monokrom?

Tidak masuk akal. Erika tak memiliki motif untuk melakukannya. Tadi Violet sudah mengingatkan Watson, tidak baik sembarangan mencurigai. Lagian karakteristik penguntit Hellen belum jelas, masih kelabu. Bukan dia.

Lantas apa yang akan Klub Detektif Madoka lakukan sekarang? Ke mana mereka harus mengais petunjuk? Watson mengepalkan tangan. Haruskah dia meminta bantuan Inspektur Deon? Ck, tidak akan! Gengsi lah.

Akan tetapi, Watson tidak di posisi memilih. Mau tak mau dia mesti membuang gengsi demi kasus. Ya demi kasus. Ini semua demi keselamatan korban. Watson menelan ludah, jemarinya tremor hendak menekan kontak Deon.

Syukurlah. Sebelum memencet tombol panggil, sebelum harga dirinya terluka, orangnya lebih dulu menelepon. Hehehehe, bagus! Paling tidak image-nya selamat.

Watson berdeham pelan, membersihkan tenggorokan yang gatal. "Ada apa, Inspektur?"

"Kalian di Serene, kan? Datanglah ke Jalan Swedim 19A. Ada sesuatu yang bisa membantu investigasi kalian. Cepat, jangan pakai lama."

Tuut! Tuut!

"Halo? Inspektur?" Watson menatap ponsel. Panggilan sudah berakhir.

Itulah mengapa Watson tidak suka pada Deon. Dendamnya bertambah pada polisi pemarah itu. Mereka tidak akan pernah akur kelak.

-

"Bagaimana Anda bisa tahu kami di Serene, Inspektur?" Aiden bertanya.

"Aku datang ke sekolah kalian dan melihat evidence board penuh catatan tentang kasus penculikan Romeo di kota ini," jelas Deon singkat, menatap para petugas yang menghalang mereka berempat. "Biarkan mereka masuk. Mereka bersamaku."

Begitu giliran Watson melewati police line, Deon memegang lengan cowok itu. "Apa ini penculikan massal? Dua orang bernama Romeo menghilang dan tidak ada yang mengingat tentang mereka."

Watson mendengus, menepis tangan Deon. "Lebih baik Anda bekerja cepat, Inspektur, sebelum penculikan ini bergerak ke pembunuhan massal."

"Apa kamu tidak punya sopan santun, huh? Aku ini lebih tua darimu."

"Sebelum menceramahi orang, ceramahi diri Anda dulu sana. Seenaknya menutup telepon, seenaknya memerintah. Sopankah begitu?"

"Apa ini? Kamu merajuk karena itu? Ternyata Sherlock Pemurung bisa badmood oleh hal sepele."

"It's Watson not Sherlock."

"Apa bedanya? Keduanya sama-sama tokoh Conan Doyle." Deon mengangkat bahu.

"Lupakan itu. Katakan tentang korban."

"Namanya Romero Ronald, 48 tahun. Mantan pegawai di Tavern Blueza. Dia kerap dipanggil Romeo oleh rekan kerjanya."

Watson ber-oh pendek. Aneh. Kenapa Romeo yang satu ini dibunuh? Dia kan dari golongan miskin. Bukankah seharusnya dia masuk ke target pelaku?

Hellen masuk lebih dalam ke TKP, menoleh ke tim forensik, tersentak. "Papa? Mama?" Langsung saja dia menghampiri kedua orangtuanya. "Hei! Ngapain kalian di sini?"

Cewek itu, sama barbarnya dengan Aiden. Tak ada sapaan 'gitu? Jeremy menonton dari jauh, ekspresi konyol.

"El! Kami sudah diberitahu kamu dan teman-temanmu akan datang." Papa Hellen menyambut ramah, mengusap-usap puncak kepala putrinya.

"Apa yang Papa lakukan di Serene, heh? Tidak ada pasien, kah?"

Beliau menunjuk istrinya, Cynthia Stern, tatapan meledek. "Mamamu tuh, butuh analisis Papa. Dia bilang tidak tahu cara menafsirkan mayat yang ditemukan di Serene. Papa segera terbang kemari."

"Sayang, kamu meragukan kemampuanku?"

"Kamu datang padaku."

"Yah, aku butuh pendapat kedua."

Ibu Hellen seorang forensik. Ayahnya seorang dokter. Itulah yang menjadi pembeda di keluarga Stern. Profesi yang berkorelasi.

Jeremy berdiri di samping Hellen. "Tadi kalian mengatakan mayat, apa terjadi pembunuhan?"

"Sungguh, Jeremy? Kita berada di TKP. Tidak akan diberi tanda police line jika tidak terjadi pembunuhan." Aiden menceletuk jengah.

Mereka tertawa renyah akan kepolosan Jeremy. Sekadar informasi, klub detektif Madoka memang sudah akrab dengan keluarga masing-masing. Tiada canggung di antara mereka ketika bersua.

Watson mengambil jarak panjang. Apalah dia hanya orang baru. Bagusan mulai memeriksa TKP. Dia memakai sarung tangan lateks hitam, memasuki zona crime scene, jongkok.

TKP berlokasi di bawah jembatan layang. Posisi korban tengkurap. Terdapat huruf "R" besar yang dicoret di tanah menggunakan darah korban dan tulisan "where is my Romeo?". Penyebab kematian yaitu luka tusukan di pinggang berbentuk... Eh, luka macam apa ini? Itu terlihat kayak boomerang tiga sayap berujung lurus. Aneh sekali.

Deon ikut jongkok. "Pertama kalinya aku melihat luka seperti ini. Maka dari itu aku mengundang mereka."

Orangtua Stern, hee? Watson bergumam dalam hati, beranjak bangun kala mereka berdua mendekat.

"Kamu pastilah Watson Dan." Papa Hellen menjabat tangan Watson, bergantian dengan istrinya. "Aku senang akhirnya kita bisa bertemu. Anakku selalu membicarakan kepintaranmu di rumah."

Watson membungkuk. "Salam kenal."

"Bagaimana menurutmu tentang luka di tubuh korban, Nak Watson?"

"Tuan Stern sendiri bagaimana, ada pendapat?" Watson membalikkan pertanyaan. Otaknya bekerja lebih lamban daripada yang biasa.

"Aku rasa luka ini disebabkan oleh pisau palung. Korban didiagnosa mengonsumsi obat MIDA."

Aiden menyikut lengan Watson. Jeremy pun merapat. "MIDA tuh apaan?"

"Itu jenis obat baru bernama StarFlower. Bisa mengakibatkan halusinasi dan bersifat adiktif."

"Tepat sekali, Nak." Tuan Stern memperhatikan coretan di tanah. "Ada kemungkinan korban membunuh nyawanya sendiri di bawah pengaruh obat setelah melukis kata-kata ini—"

"Tidak, Pa, dia dibunuh!" Hellen menyela. "Oleh pelaku yang membunuh Rokko!"

Beliau mengusap wajah kasar. "El, Papa sudah mengingatkanmu berkali-kali. Tolong jangan libatkan masalah pribadi ke pekerjaan. Rokko bunuh diri seperti kata polisi."

"Papa sama saja dengan mereka. Tidak mau mencari kebenaran!"

Hellen melangkah pergi, meninggalkan TKP dengan amarah yang membuncah.

Waduh. Baru saja situasinya kekeluargaan nan harmonis, seperkian detik berubah tegang. Watson menyembunyikan kepalanya dengan tudung hoodie, memilih tidak ikut campur.

Tetapi... Watson menatap sekali lagi luka di tubuh jenazah, mengangguk. "Aku setuju dengan Stern. Pria ini dibunuh."

Hellen berhenti melangkah. Senyumnya kembang. Watson pasti mendukungnya, dia tahu itu.

"Kenapa kamu berpikir begitu, Nak?" Tuan Stern beserta istrinya tak paham.

"Kematiannya tidak jelas. Jikalau dia dibunuh, lantas ke mana menghilangnya senjata pembunuhan? Seingatku ukuran pisau palung tidak sekecil ini, ia meninggalkan jejak yang sedikit lebih besar. Terlebih, tidak ada tanda-tanda kekerasan pada tubuh korban. Aku tak yakin pria ini bisa tewas karena luka tusuk minim yang bahkan tidak menyentuh ginjalnya. Kalian tahu artinya? Dia dibunuh oleh racun. Kurasa kita memerlukan autopsi kedua."

"Lalu, benda apa yang membunuhnya?" Deon bertanya bingung.

"Aku belum tahu namun aku akan tahu secepatnya setelah hasil analisis forensik keluar," kata Watson lugas.

Tuan Stern menatap istrinya. "Tidak ada salahnya melakukan pengulangan autopsi. Kuserahkan padamu, Cynthia."

"Baiklah."

Hellen menepuk bahu Watson yang asyik mencoret buku catatannya. "Dukungan yang berharga, Wat. Terima kasih."

"Aku hanya melakukan tugasku..."

"Permisi! Permisi! Biarkan aku lewat!" seru seseorang menerobos kerumunan petugas kepolisian, menenteng kamera. "Aku eksekutif dari Twinshield News."

Hellen tersenyum cerah, melambaikan tangan. "Itu Tante Mazen. Dia pasti datang karena mendengarmu ada di TKP. Beliau penggemarmu lho Watson."

"Orang yang kamu kenal?"

"Beliau ibunya Rokko."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro