15

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Mereka sudah di dalam. Selesaikan ini."

Waktu itu Watson kehilangan orangtuanya karena tidak percaya pada instingnya. Akankah kali ini dia mengulangi kesalahan yang sama dan kehilangan temannya juga?

Tidak. Watson tidak mau merasakan kehilangan lagi. Persetan dengan keraguan yang selalu menghantuinya. Sudah cukup Mela, tidak perlu ditambahi Jeremy.

"BARI!" Watson berseru.

Sebelum mereka bertiga tahu apa yang terjadi, Watson berhasil meraih tangan Jeremy bertepatan dengan sesuatu melesat cepat ke bagasi. Tanpa hitungan mundur mobil pun meledak. Aiden dan Hellen terbanting oleh daya ledakan yang hebat.

Deon beserta timnya terlonjak kaget, menoleh panik sontak menahan napas. Api membumbung tinggi di salah satu transportasi. "Apa yang...?"

"Oh, astaga! Apa yang terjadi?! Tiba-tiba terjadi ledakan!" Kelompok reporter termasuk Manze terkesiap, berhenti mengambil potret.

Tuan Stern secepat kilat menahan tubuh istrinya yang nyaris nekat mendekati mobil. "Berbahaya, Chyntia! Apinya besar!"

"Hellen masih di sana!"

Deon tertegun mendengar itu. "MAX, PANGGIL PETUGAS DAMKAR!" soraknya kencang. "Petugas yang lain ikuti aku! Klub detektif Madoka terjebak di dalam zona ledakan!"

"Baik, Pak!"

Di sisi lain, Jeremy mengerjap. Pandangannya kabur, tak bisa melihat kobaran api dengan jelas. Dia meringis merasakan kakinya tertimpa benda berat. Tetapi punggungnya baik-baik saja, malahan seolah tidak menghantam apa-apa.

Setelah mengerjap beberapa kali, barulah Jeremy melihat roda mobil meniban kaki kirinya. Dia menendang benda tersebut untuk meloloskan kakinya, mengerang pelan. Watson berada tepat di belakang Jeremy. Wajah mereka cemong.

"Instingmu benar-benar bukan candaan, Watson... Bagaimana kamu bisa mengetahui ada peledak yang akan datang?" Jeremy terkekeh, mencoba bergurau.

Tidak ada jawaban.

"Watson... Kamu baik-baik saja?" Jeremy mengguncang bahu Watson. Dengan slow motion yang menegangkan, Sherlock Pemurung itu rebah ke tanah.

Tubuh Jeremy sontak menegang. Langsung saja dia menopang kepala Watson. "Watson? Watson, kamu mendengarku? Hei, katakan sesuatu. Wat—" Dia mengernyit merasakan cairan lembek, beralih menarik tangannya, terbelalak.

Darah. Telapak tangan Jeremy berdarah, dan itu berasal dari belakang kepala Watson. Dia gemetaran menoleh. Ternyata mereka terlempar ke pilar jembatan layang. Watson memposisikan tubuhnya menjadi pelindung agar Jeremy tidak membentur tembok.

Jeremy mual, menutup mulut. Pupil matanya mengecil saking syoknya melihat darah Watson mulai mengenang. Ini salah. Seharusnya Jeremy yang melindungi, bukan dilindungi.

"Bagaimana ini? Padahal kita menginginkan anak perempuan supaya bisa dijual ke keluarga bangsawan, kenapa yang lahir laki-laki sih. Apa kita buang saja?"

"Aku tidak peduli. Lakukan semaumu saja. Mati pun bukan masalah besar."

Jeremy tidak sanggup menahan bunyi dengung di pikirannya. Dia pun pingsan.

Di balik ledakan itu, seseorang menjauh dari TKP tanpa ada yang menyadari. Dia menyeringai. "Kamu mudah ditebak, Watson. Kelemahanmu adalah masa lalumu. Kartu AS berhasil disingkirkan."

-

Aiden menyeka wajah, membersihkan darah yang menempel di sela-sela jarinya. Sedangkan Hellen mondar-mandir di depan pintu UGD. Begitu pintunya terbuka, mereka berdua segera bergegas menghampiri.

"Pa! Bagaimana keadaan Jeremy?"

Aiden menatap Hellen tak percaya. "Bagaimana bisa kamu mengkhawatirkan Jeremy? Kamu tidak lihat, hah, Dan lah yang terluka parah!"

"Apa maksudmu, Aiden?" Hellen tersinggung, menatap tak suka. "Menurutmu Jeremy tidak penting untuk dikhawatirkan?"

"Bukan begitu maksudku. Kita harus memprioritaskan Dan saat ini. Jeremy akan baik-baik saja seperti biasa."

"DIA MANUSIA, AIDEN! Bisa merasakan sakit juga. Kenapa kamu selalu egois setiap Watson terlibat, hah? Kamu tak peduli pada Jeremy?"

"KAMU SENDIRI BAGAIMANA! Apa kamu tak peduli pada Dan? Apa kamu hanya mengkhawatirkan Jeremy? Posisi kita sama, Hellen. Sama-sama mengkhawatirkan orang yang kita suka."

"Sudah cukup!" Tuan Stern menyela. "Kalian di rumah sakit. Tolong jangan berisik. Kalian bisa mengganggu pasien lain."

Aiden dan Hellen mendengus, membuang muka.

"Jeremy tidak apa-apa. Dia hanya pingsan dan kakinya sudah dibebat, dia akan baik-baik saja setelah siuman. Watson mengalami gegar otak. Aku khawatir dia takkan sadar hari ini. Kita harus menunggu."

"Astaga..." Aiden menghela napas panjang.

"El, kamu temui Mamamu di ruangan Papa nanti. Dia sangat mencemaskanmu," kata beliau dan berlalu pergi.

Sunyi sejurus kemudian.

"Aku minta maaf, Aiden." Hellen berkata pelan, mengusir gengsi.

"Aku minta maaf, Hellen." Aiden berkata, menggulung rambutnya.

Lah? Mereka berdua bersitatap. Mereka mengucapkan kalimat sama.

Dua detik kemudian, Aiden dan Hellen pun berpelukan seperti teletubbies. "Pertengkaran tidak akan memecahkan masalah! Kita tidak boleh membiarkan si pembunuh itu memecah belah tim."

"Hmm! Aku setuju." Hellen angguk-angguk.

"Ayo kita masuk."

-

Tidak perlu menunggu malam, Jeremy sudah sadar lima menit setelah Tuan Stern meninggalkan ruangannya. Air mukanya lesu.

Sebenarnya Jeremy tidak takut pada darah. Yang dia takutkan ialah seseorang terluka karenanya. Hal itu memicu ingatan kelam ketika dia masih kecil.

Jujur saja, ini sedikit rumit. Yang satu tidak mau merasakan kehilangan lagi, yang satu tidak mau temannya terluka deminya. Siapa yang harus disalahkan?

Jeremy mengepalkan tangan. "Aku akan menghajarmu, bedebah brengsek."

Klek! Pintu kamar Jeremy terbuka.

"Hai, Jer! Bagaimana tubuhmu? Masih kuat di-smackdown tak?" gurau Aiden menabuh punggung Jeremy. Tertawa lebar.

"Sakit Aiden, astaga. Kamu tenaganya kurangin sedikit dong. Kasihan punggungku."

"Heleh. No lebay lebay klub."

"Ngomong-ngomong di mana Watson? Dia sudah sadar? Dia baik-baik saja, kan?"

Ah, pertanyaan itu keluar sangat cepat. Aiden dan Hellen saling tatap. Jeremy termangu melihat reaksi mereka berdua.

"Aku ingin bertemu Watson sekarang."

Watson sudah dipindahkan ke kamar inap secara khusus oleh ayah Hellen. Seperti diagnosis beliau, Watson belum siuman. Perban putih membalut kepala serta tangannya.

"Kepalanya terbentur keras."

Aiden duduk di kursi, memegangi tangan Watson, menatap sedih. "Kenapa selalu Dan yang menderita? Kenapa para pembunuh itu seakan sangat membenci Dan? Tidak adil. Hanya karena Dan seorang detektif..."

"Profesi kita berbahaya, Aiden. Watson tahu persis resiko pekerjaan ini." Hellen mengusap-usap bahu Aiden, menghibur.

Sementara itu, Watson mencoba untuk tetap tidur. Dia bahkan sampai mengubah posisi tidurnya menjadi tengkurap, menutupi kepalanya dengan bantal supaya tidak mendengarkan percakapan. Wah, rupanya Tuan Stern salah.

Sorot mata Jeremy berubah. "Ayo teman-teman, kita biarkan Watson istirahat."

"Eh, mau ke mana?"

"Melanjutkan investigasi. Kita harus segera menangkap bajingan sampah itu."

Aiden beranjak bangun. "Tahan, Jeremy. Kita tidak bisa menyelidiki dengan emosi. Kita hanya akan bertemu dinding buntu. Aku paham perasaanmu—"

"TIDAK! KAMU TIDAK PAHAM!" potong Jeremy meninggikan suara. "Perasaan seseorang rela terluka demimu, kamu takkan pernah paham rasanya."

Ada apa dengan Jeremy? Demikian maksud ekspresi Aiden dan Hellen. Tiba-tiba cowok itu sensitif.

Oke, manusia punya batas kesabaran. Penjabaran yang coba Watson rakit di otaknya hancur lebur karena konsentrasinya terganggu. Watson bangkit, menyambar bantal lalu melemparnya ke Aiden, Hellen, dan Jeremy.

"Kalian bertiga... BERISIK! Aku mau tidur!"




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro