22* About My Power

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kamu nanya? Kamu bertanya-tanya? Iya, aku ingin nanya. Aku tidak mengerti. Apakah aku sebodoh itu sampai-sampai tidak paham sedikit pun apa yang Mini jelaskan? Mau dipikir dengan logika, tetap tak masuk akal. Aku tidak suka dengan diriku yang pilon.

Maksudku, astaga, bagaimana mungkin Swift Growers sudah ada dalam diriku sebelum aku terlempar ke dunia lain? Aku seratus persen remaja perempuan normal seperti gadis-gadis SMA pada umumnya. Mama dan Papaku manusia biasa. Tidak ada yang istimewa.

"Masalahnya bukan dari silsilah keluarga, melainkan portal yang kau temukan." Mini berdeham pelan, mencoba menjelaskan tapi dia sendiri juga belum terlalu mengerti.

Ngomong-ngomong kami kembali pulang ke rumah Bibi dan Om Kebajikan (aku memberi mereka berdua julukan begitu karena kemurahan hati mereka), hati-hati masuk lewat jendela agar tidak menimbulkan suara berisik.

"Aku sudah memeriksa energi samar dari portal di hutan itu dan hasilnya bingo! Selain cerewet, kau peri yang beruntung, Dandi."

"Apa maksudmu?" Aku menahan napas.

"Kau sudah tahu kan sejarah Fairyda dan Blackfuror?" Mini malah balik bertanya.

Aku mengangguk-angguk, sudah seringkali mendengar ceritanya. Fairyda adalah anak region Klan Peri yang diasingkan oleh ibukota, sedangkan Blackfuror merupakan peri yang bermigrasi karena ibukota membosankan. Tetapi, mereka justru ingin merebut Patung Kekuatan dan membuat kekacauan di ibukota serta memanfaatkan Swift Growers untuk sesuatu yang masih misterius sampai saat ini.

"Kalau begitu kau pasti sudah tahu Klan Peri sejatinya tak memiliki kekuatan selain merajut sayap." Aku mengangguk lagi, juga sudah dengar kisahnya dari Madam Allura kalau tak salah.

"Dandi, ini sebenarnya tergantung hoki saja. Pecahan dinding istana kediaman Sang Dewa alias aku, jatuh ke wilayah Fairyda. Berkat itu peri-peri di sana memiliki kemampuan yang beragam. Mulianya mereka tidak berniat membelot pada ibukota, menggunakanku untuk kepentingan otonom. Membangun sekolah peri. Aku pikir itu tindakan bijak."

"Iya, bijak..." Aku tersenyum kecil. Aku tak peduli dengan ibukota yang diagungkan. Aku sudah senang dengan teritorial Fairyda walau wilayah kami sangat sempit dan terbatas.

"Calon pemimpin baru Klan Peri, sosok yang membuatkan Pohon Neraida buatan untuk Fairyda, tidak salah lagi portal itu dia lah yang membuatnya. Aku berani bertaruh." Mini mengangguk. Hanya tokoh-tokoh tertentu yang bisa membuka sekat antar dunia.

Ya ampun. Rasanya ada benda berbobot berat menghantam sayap-sayapku. Lututku luruh ke lantai keramik, kehilangan tenaga. Lemas. Tanpa Mini lanjutkan, aku tahu apa yang sedang terjadi padaku. Inilah kebenarannya.

"Kau paham kan, Dandi? Alasan Blackfuror tidak dapat menghisap kekuatanmu adalah, Swift Growers bukan dariku, melainkan dari kandidat pemimpin Klan Peri itu sendiri. Sisa-sisa kekuatannya tertinggal di portal dan masuk ke tubuhmu saat melintasinya. Ini sebenarnya berita yang bagus untukmu lho."

"Apa? Berita bagus apa, heh?"

Mini terbang di depanku. Raut wajahnya terlihat senang. "Kekuatan pemberianku hanyalah pinjaman yang bisa dicuri, habis, atau bisa diambil kapan saja, namun berbeda denganmu. Itu bukan lagi kekuatan biasa melainkan sebuah karunia. Jika rahasia ini terbongkar, maka kanselir ibukota akan mendatangimu, memintamu meninggalkan Fairyda. Undangan khusus ke Kota Feehada."

"Tidak mau! Emoh ah! Ogah! Shireo! Aku lebih suka di tempatku sekarang (Fairyda) daripada harus ke ibukota yang tak jelas," tolakku langsung. Enak saja main undang-undang.

"Tapi... kau memiliki karunia Klan Peri. Orang-orang yang terpilih berhak datang ke ibukota Feehada. Kalau kau pergi ke sana, kau bisa terbang bebas ke mana pun kau mau." Mini bingung. Bukankah bagus ke kota utama daripada menetap di Fairyda yang sempit?

"Kubilang tidak ya tidak. Aku kan sudah bilang barusan, aku tak peduli dengan ibukota. Rumahku di Fairyda, bukan di situ."

Mini mengedikkan bahu. "Ya sudah deh. Terserah saja. Aku ngantuk. Membuatmu terbang tanpa Pohon Neraida menguras stamina tahu," lontarnya sambil menguap.

"Baiklah. Selamat malam, Mini."

*

Tiga hari kemudian, aku mampir ke laundry untuk menjemput pakaianku. Tanganku masih sakit dan aku tak ingin merepotkan Tante Dokter membersihkan baju primitif itu.

"Apa kau seorang cosplayer atau akan mengikuti festival bunkasai? Cross-dressing?"

Aku meringis, menerima bungkusan bajuku dengan wajah memerah. Lihat, lihat, penjaga laundry sampai mengira aku mau cosplay bertema sekolah fantasi. Padahal itu betulan.

Usai membayar, aku buru-buru keluar, tak mau dipandangi aneh oleh sipil yang juga sedang mencuci pakaian di sana. Malu lah.

Aku meninggalkan Mini di kamar. Aku tak mau mengambil resiko, jalan-jalan dengan Patung Kekuatan. Mini katanya bisa merubah wujud, tapi aku tetap melarangnya. Aku ingin menikmati waktu sendirian, menghirup udara segar, menjernihkan pikiran yang kusut.

Selagi asyik memandangi gedung-gedung tinggi dengan puluhan jendela berkaca film, telingaku mendengar suara gemerincing. Asalnya dari kios kecil-kecilan yang menjual belikan barang-barang ketinggalan zaman.

Ada telepon vintage dari kayu, pemutar piring hitam, guci klasik, jam kuno, dan sebagainya. Lalu yang menarik perhatianku adalah...

Aku mengambil lonceng tangkai berwarna emas aluminium, menggoyangkannya pelan. "Sudah jarang aku melihat benda ini."

"Hohoho, benda itu hanya dipakai oleh keluarga konglomerat. Kau tahu manfaatnya."

"Iya, Nek. Fungsinya memanggil pelayan."

"Ambillah jika kau menyukainya, Nak."

"Eh?" Aku mengerjap. "N-Nenek kan menjual benda-benda ini. Rugi dong kalau diberikan cuma-cuma," tolakku, hendak meletakkan lonceng itu kembali ke atas taplak, namun nenek tersebut menggeleng. Tersenyum.

"Di saat semua orang melewati kios tak berarti ini, kau menyempatkan diri untuk melihat-lihat. Hati nenek tersentuh dengan tindakanmu. Itu membuktikan kau tidak melupakan barang-barang tua seperti ini."

Aku tersipu malu. "T-terima kasih, Nek."

*

"Benarkah? Ingatanmu sudah kembali? Syukurlah, Nak Verdandi. Aku turut senang mendengarnya," kata Bibi Dokter tersenyum gemilang. Beliau mendapat shift siang.

Lima hari berlalu, aku sudah memantapkan hati untuk pulang ke rumah, bertemu Mama dan Papa, lalu kembali ke Asfalis. Mini bilang karena kekuatannya pulih seutuhnya, dia mampu membuatkan satu portal. Aku tak mau berlama-lama di sini. Masih ada yang harus kulakukan di dunia lain, di Fairyda.

"Tapi, apa kaki dan tanganmu sudah baik-baik saja?" Pasalnya aku tak memakai perban lagi.

"Sudah, Dokter! Anda harus tahu ini, saya punya tubuh yang kuat!" kataku melompat semangat. Padahal yang menyembuhkanku adalah Mini. Seperti yang diharapkan dari pecahan kediaman dewa; dia serba bisa.

Beliau tersenyum lagi. "Baguslah."

"Ngomong-ngomong, apa yang sedang anda lakukan?" tanyaku mengintip kepo.

"Ah ini, putriku suka dengan bunga. Setiap minggu dia mengirimkanku biji-bijian. Tapi aku dan suamiku payah berkebun dan bunga mataharinya tak kunjung tumbuh."

Bibirku sedikit melengkung ke atas. "Dokter, apa anda percaya pada eksistensi peri?" Telunjukku terangkat perlahan ketika beliau berbalik mengambil pot yang berbeda.

"Peri, ya? Manusia berukuran kecil dengan telinga elf panjang. Sepasang sayap indah menempel di punggung mereka." Beliau tertawa renyah, memilih pot merah. "Tak kusangka kau masih menyukai dongeng..."

Aku sudah tidak ada di sana.

"Nak Verdandi? Dia sudah pergi—Woah..." Wanita berstatus dokter itu berdecak takjub melihat bunga-bunga matahari yang dia tanam tumbuh secara ajaib. "Apa yang...?"

Aku mengintip dari balik pohon, tersenyum lagi. "Terima kasih atas semua kebaikanmu. Aku takkan melupakanmu, Tante Dokter."

Sayapku terkepak. Aku meluncur cepat ke atas langit, terbang di antara awan.

*

Hebat kau, Verdandi. Kau sudah menjadi anak durhaka yang tega membuat orangtuanya khawatir. Tiba-tiba hilang, tidak ada jejak, lenyap, seakan tak pernah dilahirkan ke Bumi.

Tapi Mama dan Papa tidak menyerah. Mereka menyebar poster orang hilang, memasangnya di sana-sini, tiang, toko, tembok agar dilihat oleh semua orang di kota ini. Menyesakkan...

Aku menangis saat Mama memberikan poster ke seorang wanita kantoran namun wanita itu menepis tangannya, sibuk menelepon.

"Verdandi, aku tak menyarankan kau bertemu ibumu dengan perasaan yang tidak stabil. Ayo kita pergi ke Asfalis. Jangan biarkan emosi pribadimu melemahkan mentalmu. Kau ingin menyelamatkan teman-temanmu, kan?"

Iya, Mini benar. Aku bisa menemui Mama setelah urusanku di Asfalis selesai. Mini membuat tubuhku menghilang. Aku terbang semeter dari tanah. Bersiap-siap.

"Eh, kau takkan menulis surat untuk beliau?"

Aku mendesah panjang, menggeleng lemah, mengepalkan tangan. "Itu akan memberinya harapan atau parahnya melapor pada polisi, bilang aku diculik dan penculik memaksaku membuat surat tersebut. Makin berabe nanti masalahnya." Karena aku paham betul sifat Mama yang penyayang. Kami tidak punya waktu banyak menulis surat panjang lebar. Entah bagaimana kondisi Fairyda saat ini.

Maafkan aku, Ma. Tapi aku punya alasan kuat untuk pergi. Sekali lagi, maafkan Dandi.

"Tumben kau pintar. Baiklah, ayo pergi!"

Kami melenting cepat menuju hutan belakang sekolah. Selain lokasinya aman, Mini hanya bisa membuka portal berpindah di sana.

Kami sampai lima menit kemudian.

"Ingat Verdandi, Pohon Neraida sudah dibakar oleh anggota Blackfuror. Setibanya kau di ujung portal, kau takkan bisa terbang."

Aku mengangguk serius seraya membetulkan pakaianku—aku memakai seragam dari akademi yang telah ku-laundry, juga memasukkan lonceng emas sebagai jimat keberuntungan (siapa tahu berguna nanti). "Jangan khawatir, Mini. Kau tidak perlu membuang tenagamu untuk membuatku terbang. Aku bisa mengurus diriku sendiri."

"Yosh. Tidak ada orang, kan?"

Aku menggeleng cepat. Sekarang pukul sembilan pagi. Murid-murid di sekolah pasti sedang mengikuti proses belajar mengajar.

"Baiklah. Kalau begitu..." Tanpa berpikir dua kali, Mini terbang berputar-putar membentuk huruf O. Lambat laun sebuah lubang bercahaya pun tercipta dari gerakannya itu.

"Portalnya selesai. Ayo bergegas."

Dengan langkah percaya diri, aku dan Mini pun melompat masuk ke dalam portal. Aku benar-benar keliru berpikir tidak ada orang di sana. Faktanya setelah kami pergi, seorang cowok bersurai hitam muncul di seberang sungai. Sepertinya dia habis buang sampah.

"Hei, Halca! Ngapain bengong di sana?"

"Ah, tidak. Hanya saja aku... merasa ada sesuatu tadi. Mungkin cuma perasaanku."




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro