30* Abstain

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku menghindari Kala.

Katakan saja aku gadis yang tidak tahu terima kasih. Tetapi, aku belum bisa bertatap dua muka dengannya karena ingatanku selalu bermuara ke insiden di kamar kesehatan. Entahlah, aku juga tidak mengerti mengapa aku seperti ini.

Suka-suka Kala lah dirawat sama siapa. Lagi pula mereka kan murid kelas Supreme. Aku yang stuck di Senior ini diam saja di belakang.

Buku Legenda Sayap Malaikat.

Itulah tujuanku hari ini. Aku menyembunyikan buku itu jauh (sedikit) dari bengkel Kahina. Semoga dia tidak sadar ada barangnya yang hilang. Aku sangat penasaran dengan isinya.

"Dandi, seperti biasa?" tegur Madam Shayla melihatku berjalan menuju ke alang-alang tempat aku jatuh ke dunia ini. "Hati-hati Blackfuror, oke? Akademi belum direparasi sepenuhnya. Sistem keamanan masih mati."

Aku tersenyum. "Siap, Madam Shayla."

Menurut perhitunganku, rasa-rasanya gubuk bengkel Kahina berada di luar <Zona yang Telah Ditentukan>. Karena Pohon Neraida sudah rusak dan kami tak bisa terbang, jadi aku tak perlu memikirkan perbatasan lagi.

"Ondina," aku tersenyum mengusap kepala kupu-kupu betina itu, "Kala masih dalam tahap pemulihan. Dia belum bisa membuatmu berbicara, Dina. Tapi kau bisa mengobrol santai denganku." Aku menoleh ke kiri-kanan, mengangguk. Tidak ada siapa-siapa. "Ini akan jadi rahasia kita berdua saja, paham?"

"Kau peri yang istimewa, Verdandi. Apa kau mau ke suatu tempat? Akan aku antar."

"Iya. Aku ingin menjemput barangku."

*

Aku meninggalkan Ondina 200 meter dari lokasi yang ingin kutuju. Bisa berpotensi ketahuan. Aku tidak ingin melibatkan kupu-kupu itu ke 'penyergapan halus' versi Verdandi.

Sambil terus memperhatikan sekeliling, jaga-jaga apa ada anggota Blackfuror di sini, senyumku terbit melihat gundukan tanah dengan penjara bunga mawar masih terlihat segar seakan tak ada yang menyentuh.

Kahina tidak tahu bukunya kucuri. Ntaps djiwa!

Aku hendak mengambilnya, namun telingaku mendengar cuitan burung yang bertengger di ranting pohon dekatku. "Ada yang datang."

"Wah-wah, lihat siapa yang kutemukan di sini. Tampaknya keberuntunganku sedang bagus karena Swift Growers datang bunuh diri."

Suara berat nan meremehkan ini ... Si Flamex! Wahai kerang ajaib, dari sekian banyaknya pasukan Blackfuror, kenapa harus dia sih?! Padahal aku sangat ingin menghindarinya.

Tanganku langsung menyambar buku itu, tidak peduli kulitku berdarah dan tergores oleh batang bunga mawar yang berduri. Flamex beringas mengeluarkan apinya. Mana mungkin kubiarkan diriku jadi bulan-bulanan.

Aku membuat Flamex sibuk dengan jajaran pohon tanjung. Daun pohon itu cukup lebat dan bisa membuat asap membumbung dengan cepat. Hambat penglihatan musuh supaya mobilitasnya menurun. Sementara fokusnya tertuju pada pohon, cepat ke Ondina dan tancap gas meninggalkan tempat ini!

"Kau pikir pepohonanmu bisa melawanku?!" Flamex terbang menaiki hello matahari (siapa lagi kalau bukan Kahina yang membuatnya), terbang ke udara, ke luar dari bubung asap. Dia melempar bola api berukuran tandon air.

Celaka! Aku tak bisa menghindarinya!

Aku melindungi diri dengan kedua lengan yang terangkat. Satu detik, dua detik, tiga detik... Kok tidak ada yang terjadi? Setengah takut, aku pun memberanikan diri mengintip.

Mataku melotot melihat seorang laki-laki berdiri di depanku mengangkat tangan kanan. Kami dilindungi bola perisai ungu. Surai hitamnya diembus angin. Tampak memesona. Radar cogan-ku menyala tanpa permisi.

Siapa dia? Aku mengerjap pelan.

"Niatnya aku mau langsung pergi, tapi setelah dilihat dari dekat, rupanya lawanmu cewek. Apa kau mendukung kesetaraan gender?"

"Huh? Siapa lagi kau ini? Apa kau juga dari Fairyda? Wah-wah, aku sangat beruntung."

"Eh? Tidak kok." Lelaki asing itu menggeleng. "Aku tersesat. Seperti kataku barusan, aku berencana ingin langsung pergi. Tapi mana bisa aku meninggalkan seorang perempuan yang hendak dipanggang hidup-hidup?"

"Berisik!" Tidak mau mendengarkan celoteh laki-laki itu, Flamex menyemprotnya dengan api merah menyala. Aku menahan napas, berngidik. Kenapa dia tidak menghindarinya?!

"Hentikan!" Aku berbinar-binar melihat cowok itu dibakar tepat di depan mataku.

"Tidak bisa bicara lagi huh—"

Nihil! Aku dan Flamex ternganga. Dia tidak apa-apa. Tidak ada luka bakar, kulit hangus, atau rambut terbakar. Dia sendiri kaget.

"Sialan! Siapa kau sebenar—Apa?! Tidak punya sayap?! Kau bukan penduduk Klan Peri!"

"Kan sudah kubilang aku tersesat. Nah, karena aku tak bisa lama-lama..." Gelembung ungu mengurung tubuh Flamex. "Mari kita selesaikan ini," ujarnya mengibaskan tangan.

Umpatan Flamex tertahan karena gelembung yang mengurungnya melenting ke Barat. Astaga! S-siapa pria ini sebenarnya?! Dengan mudahnya dia melempar Flamex? Si peri api nan digadang berbahaya? Aku menelan ludah.

"Kau baik-baik saja? Ah, tanganmu berdarah. Salah satu temanku punya kekuatan penyembuh, tapi kami sedang terpisah. Maaf aku tak bisa membantu memulihkan lukamu."

"T-tidak masalah. Ini akan cepat sembuh kok. Cuman baret kecil." Aku cengengesan canggung. Karena kilau mentari dan asap, aku tak bisa melihat wajahnya dengan baik.

Satu yang pasti: matanya berwarna merah.
Lalu satu lagi yang pasti: orang ini tampan.

"Syukurlah, sepertinya kau sudah baik-baik saja. Kalau begitu aku pergi dulu," pamit cowok itu berbalik, perlahan menjauh. "Kalau aku panggil Sabaism, dia nurut tidak ya? Kenapa tiap ke sini aku selalu terpisah sih..."

DEG! Memanggil Sabaism katanya?! Jangan bilang lelaki ini ada ikatan sama Sabaism?! Aku beranjak bangkit. "Hei! Mungkinkah—"

"Dandi!" Ondina mendarat di belakangku. "Kau baik-baik saja? Kulihat ada asap di sini. Flamex menyerangmu? Astaga, tanganmu!"

Karena aku dihebohkan dengan Ondina, aku kehilangan laki-laki yang tidak kuketahui itu. Sial! Andai aku melihat wajahnya sedikit saja, aku pasti akan mencarinya ke mana pun.

Indra pendengaranku masih berfungsi dengan baik. Aku mendengar jelas kata-katanya. Maksudku, siapa yang tidak tertarik coba? Laki-laki itu bilang akrab pada katedral Sabaism seolah-olah kediaman Sang Dewa itu adalah kroninya. Siapa dia sebenarnya?

"Ayo kita kembali ke akademi."

*

Rinvi berkacak pinggang, menghela napas. "Bisakah kau sedikit menyayangi tubuhmu, Dandi? Teman-temanmu akan sedih kalau tahu sahabatnya suka terluka. Mengerti?"

Aku hanya mengangguk, manggut-manggut minta maaf. Pikiranku masih melalang buana.

Seperti halnya Mini, apakah Sabaism yang asli juga mempunyai wujud manusia? Mungkin tidak proposional dari Mini—itu jelas, Mini hanya pecahannya saja. Sial, aku penasaran banget. Siapa laki-laki berambut hitam tadi? Terlebih aku ingin lihat wajahnya! Dipandang dari setengah saja, dia sudah amat ganteng.

"Ngomong-ngomong, kau tak mau bertemu dengan Kala? Keadaannya sudah membaik."

Ah, aku tersentak nama Kala disebut. Bagus Rinvi, kau membuat mood-ku hancur. Ada rasa dilema membelai otak dan hatiku. Tidak seharusnya aku bersikap kekanakan begini.

Aku menggaruk pipi canggung. "Nanti deh. Ada hal penting yang harus kuselidiki." Dalam hati aku terus-terusan minta maaf telah berbohong pada Rinvi. Aku belum ingin berjumpa Kala.
Mari fokus pada lelaki misterius itu—

"Menyelidiki apa?"

Seumur-umur aku tidak pernah sekalipun terjun payung atau melompat dari tebing tinggi ratusan langkah kaki selama di Bumi. Tapi kenapa? Mendengar suara dingin Kala, aku merasa didorong dari atas pesawat, meluncur ke daratan tanpa berbekal parasut.

"Kamjagiya!" Reaksi kaget yang terjeda.

Aku yakin dua orang itu tengah menatapku bingung. Tanpa sadar aku mengeluarkan bahasa korea. Aish! Selain cerewet, aku juga hobi memakai kosakata dari serial drakor.

Bahasa apa itu barusan? Rinvi mengedikkan bahu, mengambil jubahnya di meja lantas keluar dari sama. Peka jika kami butuh ruang.

Aku memekik alay dalam hati. Rinvi sialan! Kenapa dia tega meninggalkanku?! Apa tidak ada Mamoru, Magara, atau Gee di sini? Siapa pun asal ada orang selain aku dan Kala!

"Kenapa diam?" tanyanya. Dia sudah kembali ke bentuk normal: remaja. Tatapan Kala tertuju pada tanganku. "Kau habis terluka—"

"Tidak ada. Tidak apa," sergahku cepat. Ukh, apa dia baik-baik saja? Hatiku sakit melihat perban putih menggulung kepalanya. (Ketika dialog dan isi kalbu berbeda jauh 180 derajat).

"Jangan pakai bahasa bumi kalau ada orang lain," peringatnya dengan nada datar.

"Got it. Maksudku, aku paham."

"Kenapa kau tak mau melihatku?"

Lidahku kelu tiba-tiba mendengar intonasi suara Kala yang masih datar tapi melunak. "Maaf." Dia duduk membelakangiku. Jadi posisinya kami saling memunggungi. "Kalau aku ada salah. Kau terlihat tidak nyaman."

Aku ini kenapa sih? Kenapa aku bertingkah seperti anak remaja galau karena menciduk kekasihnya selingkuh? Kami berdua hanya teman. Di sudut pandang orang lain, aku lah yang menjahati Kala. Padahal Kala sudah berkorban banyak hanya untuk si lemah ini...

"Aku yang harusnya minta maaf," gumamku mengusap bagian belakang leher. "Maaf aku tidak berguna dan hanya bisa jadi beban."

"Aku tak pernah melihatmu sebagai beban."

Hmm? Aku menoleh, pun Kala. Mata kami bertemu, mengulik iris manik masing-masing.

"Kau adalah penyelamatku."






Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro