52* Fly, Fly Away

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Parnox memindahkan Tuan Alkaran sepuluh langkah kaki dari Pohon Neraida. Peri Fairyda dan Fairyas berbaris di padang rumput, saling bercakap-cakap antusias tentang tujuan mereka setelah pohon tersebut ditumbuhkan.

Banyak dari mereka yang ingin bertualang, banyak juga yang menetap di akademi sambil terus melanjutkan kehidupan. Di masa depan jumlah peri pemula akan bertambah dan butuh senior untuk mengarahkan mereka.

"Inilah akhirnya, Fairyda. Hari dimana kita bisa terbang bebas seperti burung di angkasa. Banyak hal yang terjadi untuk mencapai hari istimewa ini. Kalian pantas pergi ke tempat yang kalian inginkan. Aku takkan mengekang karena peri memiliki hak dalam kebebasan."

Semua peri di padang hijau bersorak senang. Ada yang menangis terharu, ada yang saling berpelukan, dan berbagai reaksi lainnya.

Setelah bertahun-tahun diusir dari ibukota, hidup secara terbatas, penderitaan Fairyda terbayarkan. Dalam hati aku sangat bersyukur telah mendapatkan kekuatan Swift Growers. Kemampuan yang sempat kuremehkan, ternyata bisa membebaskan semuanya.

"Verdandi." Tuan Alkaran memanggilku.

Kepala demi kepala tertoleh ke arahku yang mengangguk mantap. Sebille dan Sina di belakangku menyemangati sekali lagi. Aku berjalan gontai melewati Tuan Alkaran dan para guru, berdiri di bawah Pohon Neraida.

Semua orang menunggu antusias.

Aku memang bukan penduduk tulen dunia ini. Aku hanya gadis SMA biasa yang kebetulan terseret ke dunia ini. Dan, aku sangat bangga bisa menjadi anggota anak region Klan Peri.

Tumbuhlah Pohon Neraida, gumamku dalam hati. Tanganku menyentuh batang pohon.

Pohon beringin yang hangus itu bersinar. Aku melangkah mundur demi merasakan pohon mengeluarkan suara deru kencang. Batangnya meninggi, akar-akarnya keluar dari tanah, daun-daun bermunculan di setiap rantingnya, cahaya hijau menyiram sekitar. Pohon Neraida terus tumbuh sampai stuck lima puluh meter. Wow, aku berbinar-binar. Pohon Neraida yang asli lebih tinggi dari duplikatnya. Indahnya...

Pemandangan menakjubkannya yaitu semua sayap-sayap peri yang berbaris di lapangan bersinar serempak. Sayap mereka berdiri tegak, mendapat tenaga dari energi baru.

"Upacara Terbang dimulai!"

Para peri kelas Adept terbang lebih dulu membawa duapuluh pak kotak bunga, lantas menaburkan isinya. Ratusan kelopak bunga jatuh menghujani akademi. Iris pun memakai kekuatannya untuk membuat pelangi untuk menambah keindahan panorama di sekitar.

Tidak mau menunggu lagi, satu per satu peri pun beranjak meninggalkan daratan. Mereka serentak berseru melampiaskan rasa sukacita yang mendalam. Aku tersenyum lebar melihat teman-temanku terbang bersama ke udara.

Linda mengulurkan tangan ke Rinvi, tersenyum. "Ayo terbang bareng!" ajaknya, tak keberatan membawa Rinvi terbang.

Rinvi membalas senyumannya, menerima jabatan tangan Linda. "Terima kasih."

Di sisi lain, tampak Hayno menunggu lebih tepatnya mengode Kahina untuk memanggil sapunya. Mereka juga mau terbang bersama. Tidak lupa para guru, ikut terbang dengan murid-murid akademi. Langit dibanjiri oleh peri-peri yang mendapat kebebasan. Hanya Parnox yang enggan terbang. Bersedekap.

Fly, fly away... Like a bird in the sky...

Kini tersisa aku dan Tuan Alkaran saja di lapangan. Kami masih mendongak menatap langit, hanyut dalam kalbu masing-masing.

Lambat laun, mataku yang dari tadi hanya menampilkan sorot kagum perlahan kabur karena tiba-tiba memanas tanpa sebab. Eh? Air mataku mengalir tidak sempat kucegah.

Kenapa aku menangis? Apakah ini perasaan bahagia karena membebaskan semua peri? Tidak. Kalau iya, kenapa hatiku terasa sakit?

"Verdandi." Tangan Tuan Alkaran terulur dari sela terali besi sangkar, mengusap air mata yang membasahi pipiku. Sial, aku tak bisa menghentikan tangisanku. Ini memalukan. Aku menangis di depan pemimpin Fairyda.

"Anda benar, Tuan Alkaran. Tidak ada peri yang tidak terluka kehilangan sayap. Aku... Aku terlalu sombong... Bilang baik-baik saja... Aku sama sekali tidak baik-baik saja. Aku... ingin terbang seperti yang lain. Aku ingin..."

"Menangislah. Tak ada yang melarangmu."

Pecah sudah pertahananku. Aku menangis kencang. Tuan Alkaran mengusap-usap kepalaku, matanya ikut berkaca-kaca. Aku hanya membohongi diriku agar tidak sedih saat mengorbankan sayapku. Aku tak mau membuat yang lain merasa bersalah. Suatu kebohongan aku bilang tidak apa-apa.

Karena aku menangis keras, terisak, peri-peri yang masih berkeliaran di sekitar akademi, menoleh ke arah Pohon Neraida. Mereka saling tatap tak tega, meluncur ke lapangan.

Sina sampai lebih dulu. "Dandi-ku yang malang," ucapnya memelukku. "Kenapa kau menyimpan rasa sakitmu seorang diri?"

Wakil Siofra tersenyum lembut. "Kau peri paling berani di Fairyda, Verdandi. Rela berkorban untuk kami. Takkan pernah kami lupakan jasamu. Terima kasih, Verdandi."

Seluruh peri di langit turun kembali ke tanah, tersenyum menatapku. "Terima kasih, Dandi."

Aku tersenyum dengan air mata yang masih merembes. "Sama-sama," ucapku lega.

ZING! ZING! Terdengar suara desing aneh nan mencurigakan. Parnox yang mendengar suara itu pertama kali. Asalnya dari Pohon Neraida.

Aquara merangkul bahuku. "Jangan khawatir, Dandi. Kita punya dua penyihir yang hebat," ujarnya menunjuk Kala dan Kahina. "Kita akan mencari cara mengembalikan sayapmu bersama. Jadi, jangan sedih lagi oke?"

Kahina mengangguk. "Kita pasti bisa."

Masalahnya, material yang kugunakan untuk membuat sayap Rinvi hanya tumbuh sekali lima tahun. Kala mengacak-acak rambutnya.

Menyadari ada yang salah dari Parnox, Hayno dan Cleon menghampiri cowok itu. "Kenapa?"

"Ada sesuatu di Pohon Neraida—"

Tepat setelah Parnox berkata demikian, kesiur angin menerpa padang rumput sampai membuat peri-peri terpental beberapa langkah ke belakang. Kami menahan napas melihat sebuah portal putih tercipta otomatis tepat di depan Pohon Neraida. Portal apa itu?

Semua orang memasang posisi waspada, siap dengan kekuatan mereka masing-masing jika portal itu mengeluarkan sosok berbahaya.

Lamat-lamat terdengar suara jeritan dari dalam portal. Kami saling tatap heran. Siapa?

Seorang laki-laki berambut hitam jatuh dari portal tersebut, mengaduh kesakitan. "Aduh, punggungku... Sialan kau, Lu. Lihat saja nanti. Aw, sakit sekali..." lirihnya mengumpat pelan.

Aku menatapnya intens. Aku kenal suara dan surai hitam itu. "Hal?" gumamku refleks.

Pemuda itu berhenti mengeluh, menoleh kepadaku, tersenyum melambaikan tangan. "Hai, Verdandi. Lama tak berjumpa," ucapnya beranjak berdiri setelah sedikit peregangan.

Telingaku berdengung mendengar suara teman-temanku yang terpesona akan ketampanan Hal. Ya! Ya! Aku juga kena korban wajahnya kayak kalian!

Yang lain bersitatap bingung. Siapa orang ini? Dia bisa membuat portal? Terlebih, dia tak punya sayap. Apakah seorang petualang? Apa yang dilakukan petualang di Subklan Fairyda? Lalu, kenapa dia mengenal Swift Growers?

"Kenalanmu?" Parnox mengernyit.

"Etto, daripada dikatakan kenalan... Kami berteman?" jawabku terdengar ragu. Eh, tapi betul dong aku dan Hal berteman. Kami sudah bersalaman. Hal tidak keberatan juga.

Kala mengepalkan tangan. Sinyi di sebelahnya bersedekap. "Dia kan orang yang kau sebut waktu itu?" Mata Sinyi memicing ke Hal. "Dia memang keturunan Klan Iblis. Dan aura anak itu... Dugaanmu benar, Kala. Dia Iblis Tingkat Tinggi alias Bangsawan Iblis. Kau harus hati-hati dengannya. Dia bisa membunuhmu."

"Aku tahu." Kala mendengus, cemberut.

"Oh!" Flamex mendesis sebal. "Kau pria yang waktu itu membantingku! Berani sekali kau datang ke sini! Apa kau mau menantangku?!"

"T-tapi kan kau yang mulai duluan..."

Promy menahan Flamex. "Diamlah dulu. Tapi... Dia ganteng sekali," bisiknya pelan.

"Siapa kau, Anak Muda?" tanya Tuan Alkaran.

Hal pun menoleh ke Tuan Alkaran, sejenak mengernyit melihat mengapa beliau berada dalam kurungan. Tiga detik kemudian, dia  geleng-geleng kepala. "Kali ini aku punya banyak waktu. Pertanyaan-pertanyaan kalian kujawab setelah aku selesai dengan tugasku."

'Tugas'? Kami benar-benar kebingungan.

Hal meloncat ke tengah halaman. Peri-peri di sekelilingnya refleks mundur. Bagaimanapun kami tidak kenal siapa pemuda itu. Mendadak muncul dengan portal abnormal. Yang jelas, sosok Hal tidak menunjukkan definisi bahaya.

Haaa... Aku manyun melihat peri bergender cewek menutup mulut lebay, berbinar kagum pada paras Hal. Wah, sepertinya mereka tidak memuja Kala lagi. Serius, Hal itu sangat tampan. Tapi anaknya terlihat tak peduli deh?

"Hei, Hal, tugas apa yang kau maksud?" Aku menceletuk, bergegas menghampirinya. "Kau bisa membuka portal? Kau bukan saudagar?"

"Aku kan sudah bilang, aku petualang, Dandi. Aish, dia di mana sih? Tadi juga sudah dibilang jangan pergi jauh." Hal bermonolog, fokus memperhatikan langit. Apa yang dia cari?

"Apa yang kau lakukan di Subklan Fairyda?"

Hal berhenti melangkah, terganggu dengan semua celotehku. Wahai, apa dia marah?

"Dandi, aduh, kau ke sini deh." Promy dan Kahina menarikku mundur, membiarkan Hal lanjut dengan pencarian anehnya. "Dia terlihat sangat fokus. Jangan ganggu dulu... Tapi, bukannya dia pemilik wajah yang kau gunakan beberapa waktu lalu? Rupa Nedax?"

Hayno melirik Kala yang berdiri tak nyaman.

"Dia tampan." Sebille mendapat idola baru.

Hayno melirik Parnox yang berdiri tak nyaman. Huh, kenapa dengan mereka berdua?

"Kau benar. Dia tipeku." Kahina malu-malu.

Kala dan Parnox melirik Hayno yang down.

Kalian bertiga kenapa coba? Sehat?

Sedangkan Sina, dia menyikut pinggang Liev, kode meminta penjelasan. Tetapi yang dia dapatkan adalah gelengan. Liev sudah mengaktifkan Mind Reader-nya, namun pikiran Hal tak dapat dibaca entah kenapa.

"Sungguh, kau di mana sih? Jangan buang waktuku dan cepatlah muncul! Ini penting!"

Kami sangat ingin bertanya, namun Hal sibuk dengan aktivitasnya menyapu pandangan ke langit biru yang penuh kapas putih. Sial, aku gregetan sebenarnya apa yang dia cari.

"Haa, akhirnya! Dia datang juga." Senyum Hal terbit, memunculkan lesung pipi. "Sabaism!" serunya tanpa peringatan, melambaikan tangan ke Rumah Dewa itu. "Di sini! Sabaism, ke sini! Aku sudah menunggumu dari tadi!"

DEG! A-apa? Apa yang dia lakukan...?

Kami mematung menyaksikan katedral terbang yang tak pernah dicapai siapa pun, menurut pada panggilan Hal. Lihatlah, istana suci itu mendekat ke arah akademi. Saking besarnya bangunan itu, wilayah Fairyda disiram kegelapan. Sabaism pun mengambang di atas Pohon Neraida, seolah sedang parkir.

"A-Anak Muda, siapa kau sebenarnya?"

"Luca mengirimku ke sini."

Dapat kurasakan bulu romaku berdiri. Hal bukanlah utusan Sabaism. Dia lebih tinggi dari itu. Dia adalah Utusan Tuhan dunia ini!





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro