54* Like a Bird in The Sky

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Anu... Sepertinya aku bisa mengeluarkan Tuan Aran dari sangkar putih itu," celetuk Hal sambil mengangkat tangan, menyela obrolan.

"Tolong panggil saya Aran saja, Utusan."

Oke. Tampaknya Hal tak dapat membendung rasa kesalnya lagi. Dia melipat tangan ke dada, menggelembung jengkel. "Dengar, ya. Aku ini masih 15 tahun. Masih remaja. Masih bocah kencur kemarin sore. Sementara anda, pasti sudah 40 tahun atau ratusan mungkin.

"Ini bukan soal siapa yang derajatnya paling tinggi, Tuan Alkaran, melainkan sopan santun terhadap orang yang lebih tua dari kita. Aku tidak menormalisasikan sikap kurang ajar mentang-mentang aku berteman dengan Tuhan dunia ini, Dewa kalian. Bagiku semua orang setara. Jangan sungkan dan panggil aku Hal saja. Aku tidak suka dipanggil begitu.

"Lagi pula, aku tidak menganggap diriku sebagai utusan apalah itu. Menjadi anak buah Luca? Lebih baik aku pulang saja ke rumah dari pada harus melayani dewa nyebelin itu."

Kami terdiam. Kalimat Hal serius sekali.

Aku menatap Hal yang bersedekap sebal. Aku tidak tahu Hal menjunjung tinggi etika. Lalu apa maksud kalimatnya yang 'Tuhan dunia ini'? Hal berbicara seakan dia bukan dari sini.

Tuan Alkaran menghela napas singkat. "Baik, Hal. Kenyamananmu adalah yang terutama."

Parnox yang dari tadi diam menyimak akhirnya membuat mulut, melipat tangan. "Aku bukannya meragukan kemampuanmu sebagai utusan tuhan, Hal, tapi kerangkeng menyebalkan yang mengurung Tuan Aran bukankah penjara besi biasa. Itu dibuat dari kekuatan yang diberikan Blessing Statue, pecahan dinding kediaman Sang Dewa."

Hee, begitu? Ujung mata Hal melirik Patung Kekuatan yang kini sudah memiliki wajah. Dia tersenyum mantap. "Maka dari itu serahkan padaku," ucapnya justru tersenyum mantap.

"Tapi..." Parnox menggaruk kepala.

"Melindungi adalah kekuatanku," lanjutnya percaya diri. Berkacak pinggang. "Asal kalian tahu, aku pernah menguliti dinding Sabaism dan menjualnya. Aku juga pernah mengamuk, berduel 1V1 dengan Penyihir Agung Paijo, lantas menghancurkan isi dalam Sabaism."

"HAH?! KAU MENGULITI SABAISM?" seru Aquara tak bisa menahan rasa kagetnya.

"APA? DUEL DENGAN KEPALA SEKOLAH PAIJO?!" Pun Kahina yang melotot ngeri.

Hal menyengir kuda. "Kenapa tidak? Sabaism terbuat dari berlian. Toh, Luca mengizinkanku mengambilnya. Rezeki kenapa disia-siakan. Sebenarnya aku ini pelit dan mata duitan. Lalu untuk Paijo, dia yang cari masalah denganku."

"A-anda hebat, Utusan Hal. Bahkan Kala sekalipun tidak mungkin bisa melakukannya."

Kahina ada dendam pada Kala kah?

Madam Tethys tersenyum pilu. "Di saat orang-orang berebutan dengan pecahan dinding Sabaism, anda justru menjualnya..."

Aku memanyunkan bibir. Prestise Hal sebagai 'Utusan Dewa' menghilang begitu saja. Dia dengan santainya bilang dirinya menyukai uang. Tebal muka pula. Haah, dia realistis.

Atas usulan Hal, Parnox memindahkan Tuan Alkaran ke lapangan. Hal menginstruksikan agar semua peri Fairyda dan Fairyas menjauh ke tepi. Takutnya tulang belulang besi sangkar terlempar dan mengenai mereka. Berbahaya.

Aku mendengar jelas kata-kata Hal pada Parnox. 'Melindungi adalah kemampuannya', memang kekuatan Hal apa? Yang kuingat hanyalah Hal memberi gelembung pada Flamex kemudian melempar Flamex ke hutan.

"Kau terlalu dekat, Dandi. Geser ke sini." Kala menarik lenganku agar mundur dari batas garis yang sudah disebutkan Wakil Siofra. Seperti biasa, aku dengan rasa ingin tahuku.

"Iya, iya. Maaf." Aku bersungut-sungut.

Kini yang berada di tengah padang rumput tempat Pohon Neraida berdiri tersisa Tuan Alkaran dan Hal yang terlihat bersiap-siap. Semua orang menunggu tegang sembari berdoa Hal benar-benar bisa melepaskan dan menghancurkan sangkar tersebut. Kami harus percaya pada Utusan Tuhan. Hal pasti bisa.

"Ini mungkin tidak langsung berhasil dalam satu kali, namun aku akan mencobanya."

Hal melakukan gerakan memukul ke depan. Sesuatu nan bercahaya keluar dari tangannya. Gelembung ungu membungkus tubuh Tuan Alkaran. Hal memperluas ukuran gelembung namun bergeming, tak dapat menembus besi.

Apa mungkin kekuatan Hal... perisai?

Gelembung tersebut menghilang. "Kau benar. Sangkar ini materialnya keras banget," kata Hal sambil membuka-mengepal tangannya.

"A-anda bisa mengeluarkan Aran kan, Utusan Hal?" tanya Amaras takut-takut. Mau bagaimanapun dia yang mengurung beliau.

Hal menatap Amaras, aku, dan semua peri di tepi lapangan. Tersenyum. "Jangan khawatir."

Dia membuat gelembung perisai warna ungu yang kedua, kembali melindungi Tuan Alkaran di dalam sangkar yang mengeluarkan suara derak pelan. Aku dan teman-teman menatap tegang. Pecahlah! Ayo, pecah! Ayolah!

Hal membentangkan kedua tangannya lalu memejamkan mata. Bola pelindung yang menyelimuti Tuan Alkaran menyala terang. Sangkar perak tersebut perlahan melayang. Suara desing dari gelembung perisai Hal membuat kami, jujur, sedikit merinding ngeri.

Krak! Demi mendengar bunyi itu, aku mendongak, melotot kaget. Salah satu terali besi mulai retak. Krak! Lanjut ke besi kedua dan ketiga. Krak! Menyusul yang lainnya.

KRAK! Sangkar laknat itu rusak berderai jadi kepingan. Kahina sigap melafalkan mantra (karena Kala malah hanya melindungku seorang) pelindung saat serpihannya tersebar agar tidak menusuk atau mengenai kami.

Tuan Alkaran memperhatikan tubuhnya yang akhirnya bebas dari kurungan. Tersenyum.

"ARAN!" teriak Amaras langsung memeluk Tuan Alkaran begitu beliau turun ke bawah. "Maafkan aku, Aran. Sungguh, maafkan aku. Maaf kau punya teman pemarah sepertiku."

"Aku memaafkanmu, Amaras."

Ya ampun. Aku dan yang lain ikut tersenyum lega untuk mereka. Tak pernah kubayangkan bisa menyaksikan adegan mengharukan yang biasa kutonton di serial drama Korea favorit.

"Syukurlah ya," ucap Sebille terisak.

"Kau menangis?" ledek Parnox mencibir.

"Tentu saja! Siapa yang tidak sedih melihat kisah mereka mendapat ending bahagia?! Memangnya aku kayak kau, tak punya hati?"

"Oh, kau berani mengejek Ketua?"

Ckck, dasar. Flamex dan Cleon geleng-geleng kepala. "Dari dulu Parnox memang tak punya perasaan. Dia kebal dengan yang beginian."

Promy menunjuk Holy. "Anda bisa berguru pada Holy soal memahami perasaan, Ketua! Anak ini sebenarnya punya jiwa romantisme."

"Kenapa aku dikait-kaitkan sih."

POFF! Kami terkesiap mendengar suara asap tersebut, menoleh ke Hal yang berubah... jadi anak kecil. Dia memandangi kedua tangan dan kakinya. "Hah?! Kenapa ini terjadi lagi?!"

"Anda tidak apa-apa, Utusan Hal?"

Lucu, batin semua cewek termasuk aku.

Hal beranjak bangkit dengan sungutan. "Paijo menyihirku jadi anak-anak. Aku tidak bisa mempertahankan wujudku jika aku memakai kekuatan terlalu berlebihan. Ah, mau pulang."

"Apa mau kubantu menghilangkan efeknya?"

Ng? Hal menoleh ke Kala. Aku manyun. Kalau mau membantu, kenapa tampangmu seperti ingin mengajaknya berkelahi? Cowok aneh.

"Romovto Effecta."

POFF! Tubuh Hal yang menciut, kembali besar. Dia meraba-raba badannya, tersenyum cerah. "Terima kasih, Kala-La. Kau penyihir yang baik," ucapnya menitikkan air mata dramatis.

"Anggap saja itu permintaan maafku sudah bersikap kasar padamu di terakhir kali."

"Hahaha! Aku paham kok kenapa kau begitu. Siapa yang tidak cemburu gadis yang disukai mengatakan tampan pada pria lain—Hmph!"

Kala menutup mulut cempreng Hal. "Itu tak seperti yang kau pikirkan. Kau salah paham."

Huh? Apa yang mereka bicarakan sih?

Sabaism bergemuruh, membuat peri-peri di lapangan terdiam. Tidak dengan Hal yang refleks menoleh, menatap istana Dewa itu.

"Kenapa?" tanyanya pada Sabaism. Agaknya masih ngeri melihatnya mampu berbicara dengan katedral terbang itu. "Apa? Dia membuat masalah lagi? Astaga, anak itu! Tak bisa dilepas sedikit pun." Hal beralih menatap Tuan Alkaran, Amaras, dan kami. "Umm, sepertinya waktuku sudah habis di sini."

"Apakah anda akan kembali ke Sang Dewa?"

"Yaps, tepat sekali. Luca telah memanggilku. Oh, iya. Hampir aku lupa." Hal mengambil Sayap Malaikat karya Amaras yang telah dikecilkan. "Masih ada hadiah terakhir."

Hal menatapku yang asyik memandangi Sabaism. "Hadiah spesial untukmu, Dandi."

Aku terkesiap namaku disebut. "Y-ya?"

"Tuan Alkaran kan sudah menceritakan semuanya. Kau mengorbankan sayapmu. Pemberani harus diberi profit. Karena Luca... Aish, maksudku Yang Mulia Luca masih belum terbiasa membuat sayap, kau bisa mengambil sayap malaikat ini. Pengganti sayap lamamu."

Sepertinya Hal tidak bisa memanggil Sang Dewa dengan gelar kehormatan. Apa mereka punya hubungan pertemanan nan erat?

Aku menggeleng cepat. "T-tidak, Hal. Tak usah. Aku melakukannya karena itu tugasku sebagai bagian dari Fairyda. Lagian sayap itu tak lagi berfungsi tanpa Bunga Kemurnian."

"Bunga Kemurnian? Oh, aku tahu bunga itu. Aku pernah membacanya. Sepertinya bunga sedap malam tidak ada di Asfalis, ya?"

GASP! Mataku dan Amaras terbelalak. Eh, serius dia tahu? Tapi sumpah, kok makin ke sini Hal makin sus sih? Gaya bicaranya, sekali lagi, seolah mengatakan dia bukan dari sini.

"Sabaism, apa kau mau jadi sukarelawan?" Benda itu tidak merespon. "Aku tahu kau masih ngambek denganku soal figure yang kita bicarakan. Maaf deh. Janji kukasih gratis." Benda itu perlahan terbang-turun. Ehe! Hal cengengesan, kembali menatapku. "Tidak apa, Dandi. Sabaism mau membantu."

"T-tapi..." Aku kentara tidak enakan. Itu kan sayap rajutan Amaras. Keterlaluan namanya mencuri sayap hasil buatan orang lain.

"Kalau kau yang menerimanya, aku tidak keberatan, Dandi." Amaras berkata lembut membuatku tersentak. Dia tersenyum hambar. "Kau kehilangan sayapmu karena ulahku."

"Benar, Dandi! Kau layak menerimanya!" seru Sina, disusul Sebille yang mengangguk.

"Kau pantas mendapat sayap baru, Dandi."

Hal tersenyum hangat padaku yang terenyuh oleh reaksi teman-temanku yang mendukung sepenuhnya. "Kita sudah mendapat jawaban final. Sayap ini milikmu, Verdandi."

Katedral Sabaism pun bersinar, menyalurkan kekuatannya ke sayap malaikat. Teknik Houri terlepas dengan sendirinya. Sayap angsa itu bercahaya menusuk retina lalu menghilang dari pegangan Hal digantikan oleh cahaya putih merambat ke sekujur tubuhku. Semua orang yang menyaksikan menutup mata silau.

Perasaan apa ini? Aku merasa tubuhku ringan.

Tanpa aba-aba, surai cokelatku beralih warna menjadi putih. Kedua sayap angsa terbentang lebar, merontokkan beberapa helai bulu. Para saksi mata terpana melihat pemasangan sayap yang epik. Usai menyambung dengan sempurna ke punggung pemilik barunya, cahaya di tubuhku meredup dan melebur.

"Astaga, Dandi! Kau mirip malaikat! L-lalu, rambutmu...! Warna rambutmu jadi putih...!" seru Sina heboh, mencubit tangan Liev yang menjadi tempat pelampiasan rasa gemasnya.

Wakil Siofra berdiri di depanku yang tak bisa menahan perasaan bahagia. "Sayap itu cocok untukmu, Verdandi," katanya tersenyum.

"Terima kasih semuanya!" Ini mengharukan.

"Terima kasih kembali, Verdandi."

Aku semangat berbalik menghadap Hal yang mengobrol beberapa patah kata dengan Tuan Alkaran serta Amaras. "Terima kasih, Hal."

"Sama-sama, Dandi. Kalau begitu waktuku sudah habis di sini. Sabaism, aku boleh numpang, kan?" Katedral itu mengeluarkan suara seperti gunung meletus. "Makasih."

"Terima kasih atas segalanya, Utusan Hal."

"Aku hanya mengerjakan tugasku kok. Lalu Dandi, ada yang ingin kukatakan sebelum aku pergi. Kau ke sini sebentar." Hal menyuruhku agar mendekat ke sebelahnya. Tak ada alasan aku menolak permintaan Utusan Tuhan.

Cleon melirik Kala yang bersedekap datar, memasang ekspresi dingin. "Cemburu? Jangan deh. Lawanmu Utusan Dewa. Bakal kalah."

"Kau suka sekali mengurus urusan orang."

Percakapan selesai. Hal melambaikan tangan kepadaku, juga ke yang lain. "Selamat tinggal semuanya. Kapan-kapan ketemu lagi."

Dia mengambil ancang-ancang, kemudian melompat jauh ke arah Sabaism. Gila! Bukan teleportasi, bukan juga terbang pakai sayap. Sesuai yang diharapkan dari Utusan Dewa.

Sabaism pun bergerak naik ke langit. Kali ini Amaras hanya memandangi istana Sang Dewa itu dengan senyuman dan sorot mata puas.

"Sekarang kita menunggu," bisik Alkaran merangkul bahu Amaras yang mengangguk.

"Selama menunggu..." Amaras menoleh menatap mantan pasukan Blackfuror. "Mari merajut sayap dan menepati janjiku."

"YEAH! Terima kasih, Nyonya Amaras!"

Sina menyenggol lenganku yang melamun setelah kepergian Hal. "Tunggu apa lagi, Dandi? Ayo cepat coba sayap barumu."

"Benar, Dandi! Cobalah sayapmu!"

Aku mengangguk. Dua belah sayap angsa di punggungku mulai bergerak pelan. Tubuhku terangkat tiga meter, terus melayang. Berbeda dengan sayap peri yang ringan, sayap malaikat bobotnya cukup berat namun daya kayuhnya jauh lebih kuat daripada sayap peri.

Aku tertawa renyah karena berhasil melayang sepuluh meter. Tanpa pikir panjang aku pun langsung melenting cepat ke langit. Wohoo!! Aku dapat sayap baru! Aku bisa terbang lagi!

"Dandi! Tungguin kami!" Sina dan Rissa terbang menyusulku yang menari di antara awan. Sumpah, ini sangat menyenangkan. 

"Hei, Ketua Parnox." Sebille memberanikan diri untuk speak-up. Cowok itu menatapnya. "Um, mau terbang bersamaku?" Kalau bukan sekarang, dia bisa keduluan sama Pschye. Gadis itu diajari peka sama teman-temannya.

Parnox menghela napas, tersenyum. Oke.

Di sisi lain, aku berhenti melesat kencang membuat garis panjang pada setiap awan, menatap ke lapangan. Meski samar, aku dapat melihat sosok Kala yang kembali ke gedung sekolah. Terlihat tidak tertarik dengan pemandangan di sekitarnya. Aku menyeringai.

Sehelai bulu putih jatuh ke kaki Kala. Dia memungutnya, menoleh. "Dandi?"

Aku tersenyum. "Ayo terbang bareng!"

Kala diam sejenak, sebelum dia tersenyum tipis, mendesah pendek. "Benar-benar deh."

Eh? Pipiku merona merah. K-Kala tersenyum?  Barusan, dia benar-benar tersenyum, kan? Aku tidak jadi buta karena menerima Sayap Malaikat dan dapat terbang lagi, kan?

"Kenapa diam? Bukannya mau barengan?"

Tidak. Aku salah besar. Lihat dia, tatapan dan intonasi suara dingin itu. Aku pasti salah lihat.

Peri yang kegiatan terbangnya diinterupsi oleh kedatangan Hal dan Sabaism, kembali bermain di udara. Semuanya benar-benar sudah berakhir. Selesai dengan sangat baik.

Alkaran tersenyum lebar melihat Fairyda mendapatkan akhir yang makmur. Bergumam.

Fly, fly away... Like a bird in the sky...
See the world with your wings...




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro