Chp 138. Kebenaran Menyakitkan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

N/B. Chapter ini mengesalkan. Percayalah.

Dua jam sebelumnya.

Ini adalah kali kedua Maehwa (akan) kedatangan tamu. Tidak seperti yang pertama kali, didatangi secara tiba-tiba hingga Maehwa tidak sempat menyiapkan apa pun terutama berbenah.

Maehwa menoleh ke sekitar. Oke, rapi. Kamarnya tidak terlalu berantakan karena kerjanya cuman main game dari tadi.

"Sebentar, apa aku harus sebegininya? Yang datang kan bukan presiden."

Tidak, tidak. Kebersihan itu harus diperhatikan dan amat penting! Maehwa tidak mau mereka menganggapnya jorok.

Jadilah Maehwa mematikan komputernya, meraih vacuum cleaner (aset milik motel Banana), mulai bersih-bersih. Ini dilakukan untuk perlindungan diri dari fitnah jorok. Dia tidak rajin, tapi terpaksa demi image.

Maehwa mengumpulkan bekas kotak ramyeon, kaleng soda, dan bungkus permen di atas meja, memasukkannya ke plastik. Tidak lupa memastikan debu di langit-langit. Matanya menyensor sarang laba-laba, mengangguk. Atapnya bersih.

"Phew! Selesai juga!"

Maehwa melempar kantong plastik ke tong sampah di luar bangunan motel. Ini mengingatkan Maehwa pada masa lalu. Setiap anak-anak di Panti Mujigae punya jadwal dalam bersih-bersih. Gotong royong.

Sekarang pukul delapan malam kurang. Sepertinya Jinyoung dan teman-temannya dalam perjalanan. Dia harus mandi.

Baru setengah membalikkan badan, ujung mata Maehwa menangkap siluet seseorang yang secepat kilat berlalu pergi.

Maehwa hanya diam. Bahkan saat kembali ke kamarnya, dia masih tenggelam dalam pikiran, masuk ke kamar mandi.

Sepuluh menit membersihkan diri, Maehwa keluar dari kamar mandi sambil menghela napas panjang, melirik jam. Sudah pukul delapan lewat lima belas menit. Maehwa rasa Jinyoung dkk akan segera tiba.

Hendak menggantung handuk, telinganya menangkap suara langkah kaki.

Maehwa menatap cctv di ujung langit-langit ruang tengah. Lampunya berkedip-kedip. "Sepertinya itu tidak cukup," desisnya.

Dia melangkah menuju komputer tempat dia duduk bermain game dengan gerakan halus. Bahkan pijakannya tak terdengar. Maehwa menyalakan black box di atas komputer.

Begitu selesai, lampu kamar padam.

Sesuai dugaan, ada tamu tak diundang menyelinap ke rumahnya. Mungkin siluet yang Maehwa lihat saat buang sampah tadi. Jika dia bisa masuk, orang ini pasti sudah memata-matai Maehwa sejak lama dan menghapal passwordnya. Atau dia punya cara meretas password motel.

Maehwa menatap malas ke arah cctv, berdecak. Inilah kekurangan dari motel murahan. Tidak ada teknologi inframerah, tidak bisa merekam dalam gelap.

"Sepertinya kau tidak terlalu kaget, heh?"

"Apa maumu?" sahut Maehwa datar.

"Sederhana." Maehwa bisa mendengar suara gesekan misterius. Entah apa yang dipegangnya, yang jelas itu bukan senjata tajam. Bukan juga senjata api. Lebih terdengar seperti senar? Kabel? Tali?

Lengang. Suasana tegang menyeruak.

Orang itu, Dong-Moon, menyeringai di balik kegelapan. "Kematianmu."

Tangan Maehwa menyambar sapu.

Satu kesalahan Dong-Moon adalah, dia terlalu meremehkan Maehwa. Langsung maju tanpa memikirkan risiko.

Saat Maehwa bilang pada Hangang dia bisa bermain anggar dengan baik, itu bukan sekadar gertakan tapi kebenaran.

Dulu di Panti Mujigae anak-anak perempuan bermain boneka lucu menggemaskan, rumah-rumahan, dan masak-masakkan. Sementara anak-anak cowok bermain bola, petak umpet, atau robot-robotan. Di antara mereka, ada sekelompok anak yang bermain ksatria-ksatriaan. Maklum, anak kecil. Apa saja dimainkan asal senang.

Simpel kok cara mainnya. Mereka akan bertanding lima ronde dengan pedang kayu. Yang menang akan menjadi pangeran, yang kalah menjadi kusir parahnya pelayan.

Dan Im Rae tidak pernah kalah. Dia selalu mendapat peran pangeran yang akan menyelamatkan putri. Sampai-sampai salah satu lawannya menangis, mengadu pada Nona Kimi, bilang Im Rae berbuat curang. Im Rae kalah suara dan dihukum cuci piring. Cih! Mereka hanya iri tidak bisa menang!

Setiap main MMORPG, Maehwa akan selalu memilih role warrior untuk akun utamanya. Dia menyukai hero pedang.

Maka tak susah bagi Maehwa memukul, menepis, menghindari Dong-Moon yang berusaha mencekiknya. Dong-Moon mengumpat sambil meringis. Entah bagaimana caranya Maehwa bisa memukul tepat di titik vital membuatnya kesakitan.

Maehwa menyeret Dong-Moon ke arah jendela. Dia tersungkur jatuh memegang paha yang bengkak kena pukul. Malam ini bulannya terang. Meski dia sudah punya firasat siapa orang gila ini, Maehwa akan mengkonfirmasinya langsung.

Maehwa tertegun, terkekeh. "Rupanya benar-benar kau, Dong-Moon. Tidak cukup menggangguku di asrama, kini kau terang-terangan ingin membunuhku."

Dong-Moon melepaskan pegangan Maehwa yang lemah, menggeram. Dia gelap mata. Apa pun yang terjadi, dia akan membunuh pria di hadapannya! Dong-Moon kehilangan pekerjaan karena bedebah brengsek itu!

Harusnya Maehwa bisa melawan lebih lama.

Masalahnya, Dong-Moon menyiku bahu Maehwa dan tak sengaja menyentuh tato Idol Player. Seketika tubuh Maehwa terasa mendidih seolah habis disengat listrik.

Eh? Kok dia mendadak lemas...? Seolah tenaga Maehwa menghilang begitu saja.

Melihat Maehwa terduduk pusing memberi celah untuk Dong-Moon. Dia menyeringai, bergegas bangkit, cekatan melilitkan kabel tipis yang dia siapkan ke leher Maehwa lantas menariknya dengan kuat.

Gawat, gawat, gawat. Dong-Moon sialan itu tidak bercanda. Dia benar-benar bertekad menghabisi Maehwa malam ini.

"Kenapa kau... melakukan ini padaku?" rintih Maehwa, berusaha melepaskan tali yang mencekiknya. "Apa salahku...?"

"Kau sungguh tidak tahu apa salahmu? Hah! Dasar bocah munafik! Kau kan yang mempublikasikan video itu? Selamat, kau membuatku dipecat. Oh, kau pasti sangat senang dan hendak merayakannya malam ini karena tidak ada yang mengusikmu lagi."

"Video...? Sebenarnya apa yang kau bicarakan? Aku tidak tahu apa pun—"

Dong-Moon semakin mengencangkan tarikannya membuat Maehwa tersedak. "Jangan sok polos! Aku tahu kedokmu. Berlagak naif, berlagak malaikat di depan, tapi busuk seperti iblis di dalam. Kau senang kan berhasil menghancurkanku? HAHAHA! Terima kasih kuucapkan. Berkat itu juga aku bisa balas dendam dengan nyawamu!"

Ukh... Aku tidak bernapas...

Maehwa memandang lemah layar pop-up di udara. "D-Danyi... tolong aku..." lirihnya.

[Admin sedang sibuk. Coba lagi nanti.]

Ah, benar juga. Maehwa tidak bisa memanggil Danyi karena Danyi ada urusan di dunia kultivasi. Andai saja Maehwa tahu hal ini akan terjadi, pasti dia akan meminta satu dua alat perlindungan.

Satu menit, dua menit, waktu merangkak sangat menyiksa. Maehwa semakin kehabisan napas. Staminanya menipis.

Sebelum Maehwa kehilangan kesadaran, terdengar suara ting! ting! ting! laksana suara notifikasi spam. Siapa lagi kalau bukan ulah sistem. Terdapat fragmen video. Loading sedetik lantas videonya diputar.

Tunggu... Itu kan cuplikan kematian Im Rae? Detik-detik dia ditabrak truk. Kenapa tiba-tiba ditampilkan?

Sopir melompat turun memeriksa tubuh Im Rae yang bersimbah darah. Temannya menyusul turun. "Bagaimana? Sudah mati?"

Si Sopir menggeleng. "Dia masih bernapas, walau sudah sangat lemah. Sekarat. Apa aku terlalu pelan menyetir?"

Temannya membuang puntung rokoknya ke aspal lalu menginjaknya, mendecih.  "Masih hidup toh. Merepotkan saja. Buang gih ke laut dan biarkan laut membunuhnya. Nanti kalau jasadnya ditemukan, paling polisi mengiranya terjatuh, terpeleset, atau apalah. Berkurang satu masalah."

Seluruh tubuh Maehwa membeku.

Dua gadis kuliah yang menelepon polisi dan ambulans, berhenti mengumpat pada sopir yang telah menabrak penyelamat mereka. Salah satu dari mereka berdiri.

"Eh, jadi dia belum mati? Padahal aku sudah berakting sebaik yang kubisa."

Si teman sopir terkekeh, mengelus-elus kepala gadis itu. "Tentu saja aktingmu bagus, manisku. Dia sampai melompat tanpa pikir panjang mendorongmu. Hahaha, dasar pria bodoh. Dia pikir dia pahlawan. Ngomong-ngomong kau baik-baik saja, sayang? Tidak ada yang terserempet?"

"Aku tidak terluka kok, sayang."

Gadis satunya melangkah ke dekat Im Rae lalu beringas menginjak-injak tubuh tak berdaya itu, berteriak kesal. "Menjijikan! Menjijikan! SANGAT MENJIJIKAN! Kenapa dia harus menyentuhku tanganku?! Mati kau! Mati!!! Yang boleh menyentuhku hanya Wondrous Night!! Menyebalkannn!!!"

"Hei, hei, hei, sudah hentikan. Kau membuat darahnya memercik ke mana-mana. Bisa makin repot kita," tegur si Sopir.

"DIA MENYENTUH TUBUH SUCIKU DENGAN TANGAN KOTORNYA! PRIA TUA JELEK ITU!"

"Sabar, sabar. Kau ingin uang untuk menonton konser idol kesayanganmu itu, kan? Nah, misimu berhasil. Bayaranmu akan dikirim secepatnya nanti malam."

"Benarkah??? Kyaa! Aku bisa nonton WN!"

Mereka pun tertawa terbahak-bahak dan fragmen video itu terhenti di sana. Mati seperti kanal televisi.

Tangan Maehwa tidak lagi memegang kabel yang mencekik lehernya. Tubuhnya bergetar, bukan karena kehabisan pasokan oksigen melainkan sakit akan rasa sesak.

Ahahaha... Jadi aku menyelamatkan orang yang berkomplot untuk membunuhku?

Di sisi lain, Dong-Moon semakin liar. "MATI! MATI KAU, MAEHWA! MATI—"

"Apa yang kau lakukan..." Seseorang mencengkeram erat-erat baju Dong-Moon dari belakang. "PADA KAK MAEHWA, BAJINGAN SIALAN?!" lanjutnya melempar Dong-Moon sekuat tenaga ke dinding.

Adalah Jinyoung yang datang. Kangsan, Haedal, dan Kyo Rim menatapnya yang terbaring lemah dengan panik. "Maehwa!"

Ah, pertolongan pertama.

Semua menjadi gelap.

***TBC***

Siapa yang bilang aku hiatus? Di saat-saat seru begini mana bisa aku hiatus.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro