Chp 188. Melodi di Bawah Rembulan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tim The Boys menyerah akan karangan lirik. Hari pertama, mereka menghabiskan waktu dengan mendemonstrasikan koreografi sambil menonton pertunjukan biola Maehwa. Pria itu memainkan beberapa lagu untuk melemaskan tangan yang kaku karena terlalu lama tidak menyentuh biola.

Di antaranya Howls of Moving Castle. Mereka terenyuh mendengar musik tersebut, terasa berada di dunia dongeng. Maehwa mampu membawakannya dengan baik. Sepertinya dia sudah mulai terbiasa menggesek senar.

Ha-yoon mengangguk puas. "Tidak salah memilih Pak Bunga menjadi center. Sudah diputuskan. Kita akan memulai perfomance dengan aksi biola! Maksudku, tentu saja Maeh yang melakukannya."

Maehwa menurunkan biola di pundaknya, bersungut-sungut sambil peregangan. Kenapa anak itu ikut-ikutan memanggilnya begitu?

Tidak hanya Ha-yoon yang puas, kameramen juga puas mendapatkan tontonan kecil di sini. Tugas mereka memang hanya merekam, namun mereka berharap tim editor memasukkan bagian latihan biola ini ke episode duabelas nanti.

"Makan! Waktunya makan malam!" Ha-yoon berseru, keluar paling pertama dari ruangan. Sekarang sudah pukul delapan malam. Mereka latihan selama empat jam non-stop.

"Kita harus mandi dulu, Kak. Nyaman gitu makan dengan tubuh bau keringat? Eww, aku pastinya nggak bakal mau dekat-dekat."

Menyeringai, Ha-yoon justru mencondongkan tubuhnya. Kangsan spontan melotot. Siyoon dan Ahyun yang berdiri di belakang mereka tertawa melihat prilaku mereka. Ada-ada saja.

Merasa ada yang kurang, Eugeum menoleh ke Maehwa yang meletakkan biola kembali ke tempat semula. Lagi-lagi anak itu melihat ke arah piano putih dengan pandangan menerawang.

Nona Kimi mengajarkannya bermain piano sejak kecil dan itu sangat mengasyikkan. Suatu hari ketika sekolah menggelar resital, untuk pertama kalinya Im Rae antusias dan inisiatif mendaftarkan diri. Tapi tekad kecil itu diinjak-injak.

"Im Rae ingin bermain piano? Omong kosong macam apa itu! Kita hanya akan melihat monyet menari di panggung menggaruk bokongnya!"

Maehwa tersenyum kecut. Hidup sudah susah karena yatim piatu, dia bahkan tidak boleh mencicipi nikmatnya kehidupan SMA. Kenapa mereka melarang? Apa karena Im Rae seorang nerd berkacamata yang tidak ada pesonanya? Mereka bahkan belum melihat penampilannya!

Ah, sudahlah. Melihat piano hanya membuat suasana hati jelek. Maehwa butuh mood bagus untuk meresap koreografi yang dilatih hari ini. Lagipula dia tidak ada masalah dengan biola.

Tapi, dia harus segera melakukan sesuatu untuk melanjutkan lirik lagu Pretty Feeling.

*

Meski Maehwa bilang akan melakukan sesuatu untuk mengangsur liriknya, dia buntu. Sedang tidak ada ide. Demi memicunya, dia harus beraktivitas random, apa saja terserah, karena sang ide takkan muncul jika dipaksakan.

Teman-teman timnya telah menghabiskan makan malam dan kembali ke asrama untuk skincare-an sebelum tidur. Laki-laki pun harus memperhatikan kulitnya. Apalagi untuk seorang calon idola.

Maehwa melirik jam dinding di kantin. Sudah pukul setengah sepuluh. Karyawan kantin sibuk mencuci piring dan menghabiskan makanan yang tersisa di kompor. Mubazir kalau dibuang.

Maehwa keluar dari kantin, menoleh kanan-kiri. Lorong sepi. Sepertinya para pegawai sudah beristirahat di asrama khusus tim produksi. Pria itu mulus berbelok menuju pusat pelatihan yang temaram. Lampu-lampu telah dipadamkan.

Tapi untungnya Maehwa mencuri kunci ruang latihan. Ada sesuatu yang ingin dia coba.

Piano tadi... saat melihatnya, seperti ada petir menggelegar di kepala Maehwa. Instingnya mengatakan, jika dia bermain piano, dia akan tercerahkan. Makanya dari tadi dia sangat fokus memperhatikan piano padahal lagi praktek biola.

Maehwa menutup pintu, menatap piano putih yang disenter cahaya bulan. Tersenyum. "Sekarang hanya ada kita berdua."

"Salah, tiga orang. Jangan lupakan aku."

Maehwa hampir saja mengumpat melihat Danyi berdiri di sebelahnya tanpa peringatan. Aish! Wanita itu bisa tidak sih, muncul dengan normal? Walau Maehwa terbiasa sama jumpscare, tetap saja mengejutkan melihatnya mendadak muncul.

Abaikan saja. Tujuan Maehwa saat ini mencari ide untuk menulis lirik. Dia melangkah ke arah piano, menyibak tirai agar bisa melihat tutsnya dengan jelas. Malam ini bulannya bersinar terang.

"Kau betulan bisa bermain piano?"

Sejujurnya, entahlah. Maehwa masih bermain biola ketika sudah menjadi progamer untuk menghibur tetangganya yang cenderung lansia dan anak kecil. Untuk piano, dia sudah tidak pernah menyentuhnya lagi selama sepuluh tahun.

Tapi kenangan diajari oleh Nona Kimi setiap hari minggu melekat di benak Maehwa seolah baru terjadi kemarin. Selagi ingatan itu masih ada, tubuhnya akan segera beradaptasi.

Maehwa menyentuh gading putih dingin tersebut, melantunkan nada 'dodosolsollalasol' yang lembut, tersenyum mantap. Piano itu disetel dengan baik. Dia duduk di kursi, menginjak pedal.

"Apa kau punya request? Musik apa saja. Beethoven, Mozart, Chopin, atau siapalah."

Danyi berpikir sebentar. "Kau bisa Fur Elise?"

"Big no. Apa banget memainkan Fur Elise di malam hari. Itu lagu pengundang hantu. Nanti kedengaran oleh orang lain lalu mengira asrama Scarlet punya penghuni. Aku nanti yang kena."

Danyi mengerucutkan bibir. "Ya sudah, mainkan apa yang kau suka. Aku hanya penonton."

"Sebaiknya aku mulai dari sederhana..."

Begitu melodi pertama dimainkan dengan kasar, Danyi membuka matanya yang terpejam, spontan menoleh. Hungarian dance no 5? Itu kan terlalu cepat untuk ukuran orang yang kembali bermain piano setelah berhenti bertahun-tahun!

Walau demikian, Maehwa bisa memainkannya. Dia sangat fokus, menekan tuts dengan agresif membuat lagunya menjadi bergelora. Dia bahkan mungkin tidak sadar ada Danyi di sana.

"Sederhana katamu? Sederhana dari mananya, sialan?! Kau terlalu cepat dan agresif!"

*

Ada kabar buruk dan kabar baik yang menyerang Ise saat ini. Dimulai dari kabar baik, Interstellar sepertinya menyadari kelalaian mereka setelah melihat segudang ads Maehwa ditempelkan di mana-mana. Kabar buruknya, dia harus mencari trainee yang membawa kunci ruang latihan.

Ngapain sih pakai mencuri kunci segala? Apa salahnya meminta baik-baik? Pasti diberikan. Di musim sebelumnya kejadian seperti ini sudah biasa. Trainee ingin melakukan latihan ekstra, bisa dimaklumi. Tapi tidak dengan mencurinya!

"Lihat saja! Begitu pelakunya ketemu, akan aku..."

Kalimat Ise menguap demi mendengar dentingan piano dari ruang latihan. Dia menyeringai. "Aha! Kutemukan kau. Ternyata kau di sini."

Tapi semakin dekat Ise ke sana, semakin larut dia dalam permainan piano tersebut. Ini adalah Minuet in G Major yang dimainkan dengan sepenuh hati membuatnya terdengar indah.

Memangnya ada peserta pelatihan yang bisa bermain piano seindah ini? Siapa orangnya? Ise mempercepat langkahnya. Rasa jengkelnya digantikan dengan rasa ingin tahu.

Sesampainya, Ise mengintip lewat kaca secara hati-hati. Tidak ingin mengganggu. Dia terbelalak melihat Maehwa menekan tuts piano dengan nyaman. Pianonya terletak di dekat jendela yang disorot cahaya bulan menghasilkan cahaya bias.

Ya ampun! Maehwa bisa bermain piano? Dan, astaga, dia berdiri di bawah cahaya bulan! Ini pemandangan yang sangat cantik! Lima kali lipat lebih indah dari perfomance Tim Pray.

Aduh, Ise ingin menculiknya!

Tiba-tiba Maehwa menekan not yang salah. Dia segera menganjakkan tangannya dari tuts. "Ah, sepertinya jari-jariku mencapai batasnya."

"Tentu saja idiot! Kau memulainya dengan ritme kencang! Mereka (para jari) pasti syok!"

Maehwa terkekeh sambil meluruskan kaki.

"Hahaha. Aku terlalu bersemangat ya."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro