Path-07

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kau menyembunyikan sesuatu dari kami, Eir? Mana ada sejarahnya kau membolos."

Yang dikatakan Roas benar. Tadi pagi adalah kali pertama aku membolos, apalagi di mata pelajaran kesatu. Itu bukanlah perbuatan teladan, tapi-tapi setidaknya aku kembali di jam ketiga. Mana kutahu memakan waktu dua jam untuk menangkap roh jahat.

"Aku tidak menyembunyikan apa pun kok," elakku berdeham keras. Pak Kematian bilang... Maksudku, Maxel dan tim Keeper melarangku mengungkap keberadaan Upside Down. Itu bisa memicu kepanikan di Tora.

"Oho!" Telunjuk Hunju memencet hidungku. "Kau kira kita sudah kenal sejak kapan? Kalau kau berdeham sok dewasa begitu, artinya kau berbohong. Akui saja, kau ada rahasia, kan?"

Aku menggelembungkan pipi. "Puh! Tadi pagi aku sudah mengatakannya pada kalian, namun kalian malah mengkhianati kepercayaanku."

Hunju dan Roas mengerjap, saling tatap. "J-jadi kau sungguhan indigo? Kau bisa melihat..." Mereka menatap kursi kosong tempat Siswa Tanpa Nama duduk. "H-hantu murid yang dirumorkan itu? Beneran?"

"Iya." Aku mengangguk, ikut menatap kursi tersebut. Bahkan sekarang siswa itu masih duduk di sana tanpa mempedulikan kami tengah memperhatikannya. Dia khusyuk melihat langit, entah lagi memikirkan apa.

Dengan kurang asemnya, Hunju dan Roas mendorongku. "K-kalau begitu coba ajak dia bicara! Tanya apa alasan dia tidak mau pergi dari kelas kita," suruh mereka takut-takut menatap kursi kosong itu. "Buruan gih!"

Keberadaan Siswa Tak Bernama itu membuat kelas kami dicap sebagai kelas terkutuk. Setiap guru dan murid lain masuk ke sini, mereka selalu merasa kedinginan seolah ada freezer tak kasat mata terbentang di sudut ruangan, membuat bulu kuduk berdiri semua.

"T-tunggu...! Jangan mendorongku...!"

Ah! Aku kesandung oleh kakiku sendiri dan terjatuh di meja Siswa Tanpa Nama. Dia melirikku lewat ujung mata. Tatapan dingin.

Mampus. Apa dia benci, aku menginterupsi lamunannya? Tapi harusnya dia senang dong ada orang yang bisa melihat penampakannya.

Ekhem! Aku membersihkan tenggorokan yang kering, berdiri tegak. "Apa kau punya nama?" tanyaku, memberanikan diri membuka percakapan. Hunju dan Roas bersembunyi di balik punggungku sambil gemetaran.

"Kali ini kau memutuskan untuk bicara secara blakblakan denganku, Eir..." gumamnya.

"Hahaha." Aku tertawa canggung.

Selama ini aku selalu berpura-pura buta, berpura-pura tidak melihat sosoknya di sebelahku. Indigo bukanlah prestasi yang layak dibanggakan. Aku sangat benci kemampuan ini, berharap bisa hilang di suatu hari nanti. Aku pernah punya rencana untuk operasi mata.

Tapi, jika aku bisa membantu seseorang karena kemampuan ini, maka tak ada alasan untukku terus membencinya. Apalagi aku bisa dapat uang dan merevisi pikiranku: ternyata menjadi indigo bisa memberiku keuntungan.

"K-kau tahu namaku ya, hahaha. Kau pasti sering mendengar guru mengabsenku."

Dia menggeleng kaku, menerawang ke langit. "Aku sudah kenal kau sejak 10 tahun lalu."

Oke. Perkataannya yang satu ini menggait atensiku. Aku menatapnya lebih baik. "Kau sudah mengenalku? Bagaimana bisa?"

"Mata hijau itu... mirip dengan guru yang kusukai, Mrs. Malvina Peaceful. Aku langsung sadar saat mendengar nama margamu. Kau putranya, kan?" Dia tersenyum yang membuatnya makin tampak menyeramkan.

Ah... Kurasa dia salah satu murid yang mengidolakan ibuku—beliau memang orang yang punya kepribadian menyenangkan. Andai aku mengajaknya bicara lebih cepat, kami pasti sudah saling bertukar cerita. Aku ingin tahu kehidupan ibuku selama mengajar.

Apakah beliau menikmatinya atau tersiksa karena harus menanggung beban hidup kami berdua. Ibu itu sangat tertutup padaku. Kali saja beliau membuka hati pada muridnya.

"Tadi kau menanyakan namaku, kan? Aku tidak tahu siapa namaku." Dia memamerkan bordir namanya yang putih kosong. "Aku lupa."

Mungkin dia kehilangan memorinya karena tertimpa atap kelas atau terbentur ke dinding ketika ledakan terjadi. Malang juga.

"Anu, apa kau punya keinginan?" Akhirnya deretan kalimat itu lolos dari mulutku.

"Keinginan?" Dia tersenyum misterius.

"Aku hanya ingin diabsen."

*

Pulang sekolah, Hunju dan Roas tak berhenti menggerutu begitu aku menceritakan apa yang dimau Siswa Tanpa Nama itu. Jika kami memenuhi keinginan terakhirnya, dia bilang akan pergi ke surga. Tapi masalahnya...

Dia bahkan tidak ingat namanya! Bagaimana cara kami mengabsennya coba. Apalagi kami harus membujuk guru untuk berpura-pura menyebut namanya saat mengambil kehadiran biar dia puas. Perkaranya malah jadi rumit.

"Kejadian kebakaran daerah Patur sudah 10 tahun lamanya. Tidak ada catatan Semenat Chemistal yang tersisa. Keinginan hantu itu sulit untuk dikabulkan, Eir!" Roas mengomel.

Aku mengedikkan bahu. Penyesalan terakhir hantu Siswa Tanpa Nama itu adalah dia tidak sempat diabsen. Musibah kebakaran silam lalu lebih dulu merenggut nyawanya.

"Tapi kita tidak punya pilihan lain, Roas," kata Hunju. "Dia bilang akan langsung naik ke surga begitu permohonannya dikabulkan."

Aku menatap Roas dan Hunju. Meski mereka uring-uringan, sejak mereka menerima fakta aku indigo, tak terbilang betapa berserinya wajah mereka berdua. Antusias bertanya apa ada hantu selain Murid Tak Bernama di sekolah kami, bagaimana rupa hantu, blabla.

Bagaimana tidak? Begini-begini dulu kami mantan chuuni, berkhayal hal-hal mitos di buku fiksi menjadi nyata. Walau aku tak bisa menceritakan Upside Down, sebatas Roas dan Hunju senang sudah membuatku bahagia.

"Mulai sekarang kita adalah rekan Pahlawan Indigo Eir Peaceful!" seru Hunju, mengangkat tangan untuk mendramatisis kalimatnya.

Aku manyun. "Apa itu semacam jargon—Buk!" Kepalaku mengantuk punggung Roas yang mendadak berhenti melangkah. "Kenapa sih?" tanyaku kesal karena hidungku kejedot.

"Apa yang dilakukan Para Lady di sana?"

Aku dan Hunju menatap ke depan. Benar. Paling tidak, ada lima orang Lady berdiri di sebuah butik. Apa mereka memasang jubah untuk menyembunyikan gaun mewah yang mereka pakai? Untuk apa melapisi pakai dengan jubah kalau mereka masing-masing mengenakan topi fascinator yang beragam.

Berkali-kali aku nyaris lupa kalau negara Tora  menganut sistem pemerintahan Monarki Konstitusional. Tentu saja bangsawan aktif di sana-sini mengumpulkan informasi terkini.

"Mungkin cari gaun untuk Festival Tebar Bunga," ucap Hunju bete. Dia selalu badmood kalau tak sengaja berpapasan dengan Tuan Muda, Nona Bangsawan, Ksatria, atau semua tokoh yang termasuk ke dalam kerajaan.

"Kurasa tidak. Wajah mereka tidak baik," gumam Roas. Temanku satu ini amat pandai membaca isi hati seseorang lewat ekspresi.

Aku menyeringai. "Mau menguping?"

Roas dan Hunju ikut menyeringai. "Setuju!"

Kami bertiga mengendap ke butik tersebut, bersembunyi di balik gerumbul bunga, berubah eksistensi menjadi tumbuhan—ini hanya kiasan, tolong jangan dibawa serius. Roas benar. Mimik muka mereka terlihat tegang.

"Apa kalian sudah dengar berita itu?"

"Aku baru saja mendengarnya pagi ini dan buru-buru ke sini untuk mengonfirmasi kebenarannya. Apa itu sungguhan?"

"Katanya Putra Mahkota menghilang."

DEG! Aku, Roas, dan Hunju mematung.

A-apa dia bilang? Putra Mahkota yakninya Pangeran Pertama Martin menghilang?

Mungkin karena kami terlalu kaget, aku terlalu mencondongkan badanku sehingga keseimbangan kami jadi goyah. BRUK! Kami pun terjatuh tak jauh dari Para Lady itu.

G-gawat. Tiga rakyat kampungan ketahuan menguping pembicaraan penting bangsawan.

Dan sebelum mereka berteriak memanggil ksatria penjaga, entah apa yang kupikirkan, tanganku terulur memegang kepala Lady paling depan. Lady itu pun pingsan membuat Lady lainnya berjengit ketakutan.

Lho kok... Aku menatap telapak tanganku.

Jangan bilang aku sudah menguasai teknik membuat orang tertidur karena panik?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro