30

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Tapi, Bu... Aku bukan anak perempuan."

"Tidak ada tapi-tapian. Kamu akan menghasilkan uang untukku. Sekarang pergi! Puaskan nafsu pria-pria itu dan raup uang mereka sebanyak mungkin. Cuman itu satu-satunya keahlianmu."

Rasanya menyiksa ketika om-om mesum di bawah pengaruh alkohol menyingsing rokmu dan menyentuh-nyentuh pahamu, memajukan tubuhnya sehingga kamu bisa mencium aroma alkohol yang pekat. Ini tindak pelecehan.

"Hentikan..." Jeremy menahan pergerakan tangan pria menjijikan di sebelahnya.

"Kenapa? Bukannya kamu kubayar untuk ini?"

Jeremy menggigit bibir, menambah intensitas genggaman tangannya, mendengus jengkel. "Aku ini laki-laki, bedebah."

Plak! Jeremy justru mendapat tamparan dari ibunya atas perbuatannya.

"KENAPA KAMU MENGATAKAN ITU, HAH? SUDAH KUBILANG CARIKAN UANG UNTUKKU! DASAR ANAK TAK BERGUNA! JANGAN BERHARAP KAMU MENDAPAT MAKAN MALAM."

Tidak sekali, namun berkali-kali kehendak bunuh diri datang ke pikiran Jeremy yang kalap tiap dia selalu disuruh memakai baju-baju manis sialan itu. Ayolah, siapa juga mau mengenakan. Jeremy itu cowok.

Digenggamnya pisau cutter, diarahkannya ke pergelangan tangan. Jeremy mesti melakukannya secara vertikal dan harus mengeluarkan darah paling lama delapan jam untuk bisa mati.

Tangannya perlahan gemetar. Ayolah, sakitnya cuman sebentar. Mati tidak semenakutkan itu kok.

Tidak bisa. Jeremy tidak bisa melakukannya. Ternyata dia takut mati. Pegangan terhadap pisau melemah, terduduk di tatami, berteriak kencang. Ingin mati pun tak semudah dari yang diomongkan orang-orang.

Jeremy kira dia takkan merasakan momen menyedihkan itu lagi setelah melepaskan diri dari orangtua sialannya, tapi lihatlah posisi dia sekarang. Duduk bersimpuh di tengah-tengah panggung, disorot cahaya lampu, memakai gaun pink memalukan, di depan puluhan pasang mata.

Kelereng abu-abu di matanya tidak lagi berwarna. Itu mengosong. Sama seperti insiden Watson yang dihipnotis Mupsi. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Terputus dari talamus. Jeremy hanya menampilkan ekspresi bengong, meski air matanya mengalir membasahi pipinya.

"JEREMY!" Dinda di samping panggung berseru memanggil, tergugu.

Tapi tak ada gunanya. Pemilik nama tidak sedang berada di kesadarannya. Percuma saja Jerena menyandera Dinda. Bahkan tanpa mengancam teman masa kecilnya itu, Jeremy sudah terpukul duluan.

"Nah, apa kalian tertarik? Jelas dong. Kita membicarakan Jeremy Bari lho. Kalian pastilah mengenal baik reputasinya di Moufrobi. Menangkap pelaku kelamin anak, menyelesaikan kasus-kasus besar. Latar belakangnya juga tak bisa dianggap remeh walau hanya anak angkat."

Bisik-bisik kembali terdengar.

"Gadis itu sudah gila ya menculik dan mendagangkan identitas Jeremy Bari. Benar-benar CEO yang mengagumkan!"

"Ini menarik! Identitas Jeremy Bari sama dengan menemukan harta karun. Dia berada di hierarki yang berbeda."

"Hidupku bisa jackpot jika memenangkan nama anak itu! Aku harus mendapatkan identitasnya!"

Jerena menyeringai mendengar komentar positif dari para konsumen. Dia mengambil mikrofon, melanjutkan pelelangan. "Baik. Mari kita mulai dari 734 dolar!"

Nomor 12 mengangkat papannya. "23.000 dolar!" Tersenyum angkuh.

Nomor 53 mengangkat papannya. "46.000 dolar!" Takkan dia biarkan orang lain menang.

Nomor 102 mengangkat papannya. "119.000 dolar!" Minggi kalian semua rakyat jelata.

Jerena tersenyum sumringah. Itu harga yang tinggi. "Apakah masih ada pengaju lain?"

Di sisi lain, ketika para penonton sudah bersorak-sorak menyerukan angka nominal harga, Aiden keluar dari rubanah, mematung melihat sosok Jeremy di panggung. Telinganya bergerak mendengar pertarungan harga di auditorium tersebut.

Nomor 94 mengangkat papannya. "125.000 dolar!" Ayolah, serahkan identitas anak itu.

Nomor 12 mengangkat papannya. "135.000 dolar!" Jangan keras kepala kalian makhluk miskin! Identitas itu milikku!

Semakin tinggi dan semakin tinggi. Aiden mengepalkan tangan.

Nomor 53 mengangkat papannya lagi. "200.000 dolar!" Aku akan mencuri ginjal donor di rumah sakit demi mendapatkan identitas berharga ini!

Nomor 11 mengangkat papannya. "310.000 dolar!" Menyerah saja kalian! Identitas anak itu milikku!

Nomor 2 mengangkat papannya. Tatapan dingin, tak tertarik pertarungan harga yang terjadi di sekitarnya. "500.000 dolar."

Astaga? Separuh pelelangan menoleh kepadanya. Jerena meneguk air ludah kasar, cekikikan dalam hati. Dia untung besar. "Apakah tidak ada pengaju lainnya?"

Hening sejenak sebelum...

"Biar aku yang menyelesaikan ini." Nomor 1 mengangkat papannya. Dia memakai topeng dan jubah misterius. "1.000.000 dolar."

Nomor 2 terbelalak, menoleh cepat. Helaan napas kesal lolos. Haduh, mana bisa mereka melawannya.

Jerena ingin menari bahagia. Itu jumlah uang yang besar. Astaga, astaga. Menjual nama Jeremy benar-benar untung keras.

"Terjual seharga satu—"

"JEREMY!!!" seruan lengking panjang Aiden memotong ucapan Jerena, bahkan sangat kuat membuat pemilik nama sedikit tersentak. Para konsumen menutup kuping saking kerasnya teriakan gadis itu.

Jeremy mengangkat kepala. "Aiden..."

Keadaan auditorium ricuh seketika. Apa yang dilakukan putri keluarga Eldwers di sini? Apa dia juga seorang sukarelawan? Tidak mungkin! Tidak ada yang mau menyerahkan identitasnya cuma-cuma. Jangan-jangan klub detektif Madoka beraksi?!

"SUDAH CUKUP PERJUANGANMU, JEREMY! Jika kakakmu memang tidak menginginkanmu lagi, jangan memaksa dengan membuatnya merasa puas! Itu hanya akan melukai dirimu! Apa salahnya kalau orangtuanya lebih menyayangimu? Apa itu salahmu? Apakah kamu menginginkan itu? Tidak, kan? Itu salah dia sendiri membuat kasih sayang orangtuanya pindah kepadamu! Maka kenapa kamu harus mengalah pada rubah sialan seperti dia?! Kamu tidak sendiri, Jer! Kamu punya orangtua angkat yang tulus mencintaimu, aku, King, Dan, Hellen, juga teman-teman yang lain Maka dari itu, TINGGALKAN JERENA BARI! Buang masa lalumu, Jer! Tatap masa depan! Jangan mengejarnya! Biarkan dia melangkah ke pilihannya sendiri! Kamu tak perlu mengikutinya!"

Ngiung! Ngiung!

Suara sirine polisi. Jerena beringas. Brengsek! Tempat itu ternyata sudah diketahui! Bisa-bisanya Jerena teledor! Dia harus menyelamatkan beberapa properti.

"Kenapa kalian hanya melamun, orang-orang bodoh? CEPAT TANGKAP GADIS SIALAN ITU! PINDAHKAN JEREMY KE BAWAH CEPAT!"

Pelelangan termewah menjadi pelelangan terburuk sepanjang bulan.

Karena pengawal lainnya sibuk memindahkan tawanan, jadi Aiden tidak punya perlindungan. Tapi bukan masalah besar. Dia tersenyum miring, menekan tombol di alarm pemberian Watson.

Lima belas detik berlalu tegang. Tiba-tiba gedung lelang berayun pelan seolah gempa bumi. Para pembeli tidak bisa keluar. Sesuatu mengganjal di luar pintu. Mengurung mereka semua.

Boom!

Ledakan terjadi. Manusia-manusia tak berotak di ruangan tersebut luntang-lantung bersembunyi di bawah kursi. Aiden tancap gas ke podium, melepaskan borgol yang mengunci tangan Jeremy. Tak lupa menarik lengan Dinda setelah menerjang penculiknya.

"Ayo kita pergi!"

"Ta-tapi ke mana? Tempat ini seperti dibom oleh seseorang. Gedung ini akan roboh, Aiden!" Jeremy panik. Kelimpungan.

Boom!

Dinding roboh, menciptakan jebol besar. Aiden tersenyum cerah. "Itu jalan keluarnya! Ayo!"

"Ta-tapi kakak..." Jeremy menoleh ke Jerena yang malah fokus menyimpan uang-uangnya. Astaga, apa dia tidak peduli bangunan ini bisa runtuh kapan saja? Kenapa dia memprioritaskan uangnya?

Ya Tuhan! Setlah semua ini, Jeremy masih memanggilnya "kakak"? Dasar bodoh! Dinda sendiri yang menggeret paksa Jeremy. Mereka bertiga keluar dari dinding jebol. Bombardir masih terus berlanjut. Anehnya, roket-roket itu hanya menghantam tanah lantas desibel hentakannya lah yang menghancurkan gedung.

Tiit! Tiit! Mobil hitam berhenti begitu mereka sampai ke jejalanan.

"Jeremy!" Belum sempurna mobil parkir, Selise tergesa-gesa memeluk putra angkatnya itu. Menciuminya. "Syukurlah, syukurlah... Kamu baik-baik saja... Terima kasih, Ya Tuhan..."

Menyusul Goran.

"Ta-tapi kakak... Aku tak bisa—"

"Jangan sebut nama dia lagi, Jeremy. Seorang kakak tidak mungkin mencelakai adiknya. Kamu sudah berjuang. Kini kamu boleh menyerah."

Jeremy menangis. "Maafkan aku. Seharusnya aku tidak datang. Seharusnya aku tidak merusak keluarga kalian."

"Sst. Jangan bilang begitu. Ini sudah takdir, Jeri. Kamu pasti lelah. Ayo kita pulang."

Jeremy tersenyum. Mengangguk.

Bahkan Selise dan Goran tidak menoleh sedikit pun saat Jerena diseret oleh Deon ke mobil patroli. Dia resmi dicoret dari keluarga Bari. Jerena benar-benar dibuang seperti yang dia pikirkan selama ini.

"Kalian baik-baik saja?" Aiden bertanya, mengernyit melihat lengan King dan Violet saling bertaut. "Aku ketinggalan apa?"

Mereka bersiul. Pura-pura tak tahu.

"Ngomong-ngomong di mana Watson? Siapa sebenarnya yang menembaki gedung EOD?"

*

Tak jauh dari TKP, angin malam mengembus anak rambut. Menampar wajah-wajah. Butir demi butir halus salju menempel di rambut.

Syal di leher Watson berkibar oleh angin. Tatapan datarnya jatuh ke bangunan di depan, memasukkan tangan ke kantong jaket. Api membumbung membelah rintik salju. Semua pelelang telah ditangkap.

"Sepertinya tugas kita selesai. Fiuh! Benda ini ternyata berat juga."

Watson tersenyum tipis. Kamu sudah pernah memakai basoka RPK-7 sebelumnya?

"Tidak, belum pernah. Tapi karena yang dipertaruhkan Jeremy, aku harus berani. Rupanya mudah. Aku jadi ketagihan. Idemu mengganti isi roket dengan bubuk mesiu sangat cerdas, Watson. Kita bisa menghancurkan gedung itu tanpa memakan korban jiwa."

Watson memandangi mobil hitam yang dinaiki Jeremy, tersenyum tipis. Syukurlah semua berakhir baik-baik saja.

"Eh, Watson, apakah tidak apa membombardir gedung itu? Bagaimana kalau kita ketahuan lalu didenda?"

Watson menggeleng, mengusap-usap kedua tangan yang dingin. Tidak akan. Gedung itu ilegal. Bahkan boleh jadi pemerintah distrik ini ingin menghancurkannya tapi tidak menemukan waktu yang tepat. Kita membantu pekerjaan mereka.

"Kalau begitu kabar bagus dong. Haah! Aku senang masalah Jeremy tuntas." Lawan bicara Watson duduk meluruskan kaki. "Terima kasih, Watson. Aku mewakili Jeremy mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya padamu."

Watson menggeleng lagi. Dia hanya melakukan tugasnya sebagai ketua klub.

"Baiklah, sekarang giliran kita yang pergi. Semua teman-teman sudah pulang. Tersisa kita. Aduh, hari ini dingin banget!"

Watson menyodorkan kepal tinjunya. Terima kasih atas konstribusimu, Stern.

Hellen tersenyum, membalas salam Watson. "Apa sih. Harusnya aku yang bilang begitu. Dengan begini, file Snowdown case closed!"



***THE END**

Astaga, kelar juga. Ngebut 6 part sekaligus.

Tapi dengan begini tiga series Detektif Moufrobi selesai. Aku bisa fokus revisi cerita utama dlu.

Kalau begitu sampai babai
























Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro