4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Drone beserta remotnya tergeletak di meja. Watson menulis di buku setelah menyita barang-barang gadis misterius itu. Kabar baiknya dia tidak membawa senjata tajam. 'Bisakah kamu mulai bicara tentang apa yang terjadi? Aku tahu kamu tak mungkin ada di sana tanpa alasan logis. Terlebih, kamu bukan murid Madoka.'

"N-namaku Fate Krista. Aku dari Jadefan."

Mulut Watson membulat membentuk huruf O kecil. Jadefan? Kalau tak salah itu nama salah satu sekolah di Distrik Uinate. Jauh. Kenapa murid Jadefan 'nyasar ke Moufrobi?

Watson menggelengkan kepala, menulis kalimat baru di lembar baru. 'Aku yakin bukan hanya itu yang ingin kamu sampaikan.' Mana mau Watson terima jika dia hanya menyebutkan nama dan asal. Yang Watson butuhkan adalah sudut pandang.

"Aku sedang mencoba drone pemberian Ayahku saat pulang sekolah, menerbangkannya di tengah-tengah gerimis salju. Lalu kameranya tidak sengaja mendapat gambar wanita ini melarikan diri dengan langkah senjang. Beliau kabur seolah dikejar oleh sesuatu atau seseorang."

Watson buru-buru melanjutkan tulisan. 'Lalu, apa kamera drone-mu merekam apa yang mengejar wanita itu?'

Fate menggeleng. "Sejak awal wanita ini terekam oleh kameraku, aku tidak melihat orang yang mengejarnya. Mungkin dia seorang penyintas karena suatu insiden."

'Kenapa kamu berpikir demikian?' Ada yang aneh. Dia menjelaskan dengan tenang.

"Kamu tidak menilai penampilannya? Luka di sekujur tubuh dengan pisau bersarang di perut, orang-orang akan langsung tahu dia seorang tawanan yang kabur!" Fate gregetan terhadap Watson pura-pura polos (yah, sebenarnya orangnya lagi malas berpikir). "Aku mengikuti jejaknya sambil terus mengendalikan drone. Ternyata wanita ini menuju Madoka! Aku langsung berpikir dia pasti ingin meminta bantuan kalian, klub detektif."

'Lalu kenapa kamu bersembunyi?' Watson memotong cerita Fate. Dalam hati, dia berdumal mesti menulis panjang. 'Kamu seakan mengenal luar-dalam klub detektif sampai-sampai tahu ada ruang rahasia.'

"Apa maksudmu...?" Fate butuh tiga menit sampai Watson selesai menulis.

'Kamu bersembunyi bersama wanita ini. Masuk lewat jendela, sempat duduk di sofa, mengambil satu handuk guna menggencet luka, mengganti kamera cctv kami. Kenapa kamu melakukan itu?'

"I-itu karena pelakunya mengejar kami!"

Apa? Watson termangu.

"Aku sangat takut. Tadinya kukira wanita ini sudah bebas dari sesuatu yang mengejarnya, rupanya tidak. Aku tidak punya pilihan selain menerobos masuk ke klub kalian. Menghapus semua jejak kami, bersembunyi di balik sofa. Tapi bagaimana kalau pelakunya tahu kami bersembunyi di sini lewat cctv klub? Dia bisa mengambil rekamannya dan melacak kami. Oleh karena itu aku menggantinya."

'Apa pelakunya ikut masuk?'

"A-aku tidak tahu. Aku hanya melihat bayangan kepalanya di pinggir jendela."

Watson menatap gorden jendela. Oh, jadi itu penyebab tirai basah setengah. Pelaku membiarkan jendela ternganga cukup lama sehingga butir salju membasahi kain.

"Kami harus bersembunyi. Jongkok di balik sofa tak cukup membunuh hawa keberadaan kami. Selagi sibuk mencari tempat persembunyian, tiba-tiba lantai di belakang sofa terbuka otomatis. Aku berhasil masuk ke dalamnya, namun pintu lantai terkatup sendiri meninggalkan wanita ini di luar sebelum aku sempat menariknya ikut turun bersamaku. Kabar baiknya si pelaku tak menyadari keberadaannya. Akan tetapi, bagaimana denganku? Aku terjebak sampai pagi di ruang bawah lantai, mengetuk-ngetuk mencari cara membukanya. Lalu saat dimana teman-temanmu berteriak menemukan 'mayat', pintu tersebut kembali terbuka menjatuhkan tubuh wanita ini. Dan kamu menemukanku."

Begitu rupanya. Alasan tidak ada jejak apa pun di lantai karena pemanas ruangan mengeringkan pakaian korban. Watson beralih menatap pintu yang disebut-sebut. Dari pegas, ya? Pantas saja. Menjelaskan mengapa Aiden, Jeremy dan King melihat mayat wanita lantas menghilang seperkian detik. Alibi Fate kuat.

'Kalian aman di sini. Beristirahatlah. Wanita itu masih hidup, kan?' Watson mengambil tasnya. Ragu sejenak melihat kontak Deon di layar hape. Apa sebaiknya dia minta bantuan?

"T-tunggu! Kamu mau meninggalkan kami begitu saja? Jangan! Paling tidak beri pertolongan pertama pada wanita ini."

Watson mendesah panjang. Dia detektif, bukan dokter. Detektif yang kebetulan berpengetahuan luas dalam dunia medis.

-

Kaffeinate, pukul delapan malam.

"Tak biasanya kamu meneleponku duluan. Menentang kodrat kepribadianmu." Inilah yang membuat Watson malas bertemu Deon. Polisi pemarah itu suka suudzon padanya.

Watson menatap datar Deon. Semenjak dia mendapatkan kembali 'Putrinya yang Dirahasiakan', auranya jauh berbeda dari hari-hari lampau. Tidak galak lagi atau pemberang.

Lihat dia, memakai sweater hitam kerah tinggi lalu dilapisi jaket senada. Serba hitam. Sial, harusnya dia polesi juga bedak hitam ke mukanya biar makin brilian. Watson tertawa jahat dalam hati.

Terlebih sejak tadi satu dua pengunjung kafe curi-curi pandang ke Deon. Tatapan memuja. Meringis kesal, Watson menutup wajahnya dengan buku menu. Andai mereka tahu si Deon ini sudah beranak satu pasti sentimen mereka berubah.

"Ada apa denganmu? Gelisah begitu." Deon tak peka malah mengkhawatirkan hal konyol.

Watson menyodorkan buku komunikasinya. 'Para gadis-gadis kuliah itu terus memperhatikanmu, Inspektur. Mereka membuatku tidak nyaman.'

Lagian, kenapa pula Deon datang dengan penampilan keren sih? Harusnya dia ugal-ugalan seperti biasa. Tidak mandi, keramas, atau berpakaian rapi. Dia kesambet setan kebersihan kah?

Lagian, sejak kapan coba Deon jadi glowing in the dark begini? Bukankah biasanya dia ini tampil semaunya saja? Ih, Watson geram. Polisi pemarah rekannya selama ini mendadak tampan.

Deon menyeringai. "Kamu merasa insecure?" godanya tersenyum tak jelas. "Waktu remaja dulu, aku ini favoritnya sekolah. Lalu sekarang jadi korban budak oleh SESEORANG yang lebih muda darinya. Malang ya nasibku."

Lupakan saja. Watson mendengus, mood-nya turun drastis. Dia mengambil kembali buku dan tasnya, beranjak pergi dari meja itu. Dia paling malas lagi serius diajak bercanda.

Deon bergegas menarik lengan Watson, menyuruhnya duduk kembali ke kursi. "Ayolah, mari kita bicara sambil mengemil. Aku punya sesuatu untukmu," katanya mengeluarkan kotak kue besar. "Kamu suka kue red velvet, kan? Aiden yang memberitahuku. Ayo dinikmati."

'Aku mencium sesuatu.'

"Bau? Ini baru kubeli sore tadi—"

'Bau ancaman dan persuasi tutup mulut. Bukan begitu, Inspektur?' Watson menulis sederet kalimat itu dengan mimik datar.

"Aku ingin minta sedikit bantuan."

Watson menatap tanda tanya.

"Aku melakukan semacam kesalahan. Aku menghajar seseorang karena dia bersikeras tidak mengakui perbuatannya, namun ternyata asumsiku salah. Pelaku aslinya bukan dia. Orang itu berkata jujur," jelas Deon lunak. Dia mencoba membaik-baikan cowok itu. "Makanya, maukah kamu membantuku mencari pelakunya? Demi keadilan"

Watson langsung menggeleng. Sekarang saja pikirannya disibukkan soal Fate, masa ditambah masalah baru. Jelas lah dia ogah.

'Anda yang membuat masalah, buat apa saya ikut campur?' Watson membalas dingin. Bahkan tulisannya mengikuti, berubah menjadi font horor.

Tidak menyerah, Deon menggeser posisinya membuat cowok itu refleks beringsut mundur hingga punggungnya tertahan. Perlahan polisi detektif itu mendekatkan badannya ke wajah Watson. "Ayolah, sekali saja. Karena ini kesalahanku, aku tak bisa lepas tangan atau menyerahkannya pada divisi lain. Kelompokku baru saja mendapat promosi."

'Inspektur, tidakkah Anda merasa Anda terlalu dekat dengan saya?'

Tersenyum miring, yang ada Deon makin mendekatkan badannya sampai Watson jadi menahan tubuh dengan tangan. Buku komunikasinya jatuh. Ah, polisi satu itu benar-benar tahu kelemahan Watson.

"Sekali saja. Mau, ya?"

Watson mengangguk-angguk sembari mendorong Deon. Inspektur pemarah itu menyeringai puas. Menang telak.

"Di sana orangnya, Pak!"

Seorang polisi datang ke meja Deon dan Watson, menatap Deon tajam. "Kami mendapat laporan bahwa Anda melakukan tindak pelecehan pada remaja."

"Tunggu, apa?"

Polisi itu memborgol tangan Deon. "Silakan ikut kami ke kantor dan jelaskan semua pembelaan Anda di sana."

"Tunggu! Ini kesalahpahaman!"




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro