7

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tanpa perlu penerjemah gestur tubuh, tanpa perlu bantuan Dinda nan cakap berbahasa isyarat, semua orang di klub tahu bahwa sherlock pemurung alias Watson kentara jengkel akan penjelasan Deon yang saat ini tercatat klien. Bagaimana rumusnya seorang detektif—ah tidak, Watson bukan detektif melainkan hanya fans Holmes—mengurus persoalan medis? Itu bukan pekerjaan mereka. Sangat jauh perbedaannya.

Deon bukan amatir atau orang asing yang baru mengenali Watson dan teman-temannya. Justru sebaliknya, dia merupakan polisi kepercayaan klub detektif Madoka. Seharusnya dia yang paling tahu bahwa kegiatan ekstrakulikuler mereka hanya menangani kasus kriminal, secara sporadis menyelesaikan kasus penculikan serta kehilangan. Mungkin hanya Watson dan Hellen yang berpengetahuan tentang medis.

"Keluhan Anda adalah urusan kedokteran, Inspektur. Bukan sesuatu yang kami urus." Baru lah Dinda membantu komunikasi setelah Watson menganggukkan kepala, menyambung kalimat. "Ajuan Anda jauh berbeda dari yang dibicarakan kemarin malam. Kenapa Anda berbohong?"

Jika Deon berkata jujur malam itu, akankah Watson mau melakukannya? Sudah jelas tidak. Jadi lebih baik membuat Watson menerima permohonan Deon agar dia tidak mengingkari janjinya.

"Inspektur, apa Anda ingin memanfaatkan kepintaran Dan untuk kepentingan pribadi? Tidak biasanya Inspektur bersikap egois, main klaim sendiri. Apa yang mengganggu Anda?" Aiden memilih angkat suara. Tindakan Deon tidak bisa dimaklumi.

Menyebalkan kesekian. Kalau terus berlangsung seperti ini, klien-klien di masa mendatang bisa salah paham mengenai profesi Watson. Ayolah dia itu detektif—maksudnya fans Holmes.

"Kami tidak bisa menerima kasusmu jika tahu akan begini ceritanya, Inspektur. Kami detektif bukan dokter. Sebaiknya Anda minta bantuan profesor-profesor di universitas kedokteran."

"Tapi kamu bisa melakukannya, kan?" Deon berkata sekali lagi, tidak menyerah. Dia harus membuat Watson membantunya tak peduli kecaman yang akan dia dapatkan.

Watson mengernyit. Melakukan apa?

"Operasi tamponade jantung yang pernah kamu lakukan pada Nyonya Stern, Ibu Hellen. Kamu melakukannya dengan baik. Menurut penilaian medis itu merupakan operasi sulit. Bagaimana mungkin seorang pelajar sekolah menengah bisa melakukan operasi bedah thorax sekelas profesor? Mendengarnya saja sudah mustahil."

Watson mengangkat bahu. Tidak mungkin dia membiarkan Cynthia merenggang nyawa di hadapannya sementara dia tahu apa yang harus dilakukan. Watson hanya bersikap rasional dan manusiawi. Memberi pertolongan pertama. Kalau bukan dia siapa lagi.

"Aku tahu kamu menyimpan banyak hal, tak terhitung jumlahnya, di dalam otakmu Watson. Menyerap semua pengetahuan itu sejak kecil seolah ada memori tak terbatas terpasang di kepalamu. Akan tetapi, 'Istana Pikiran' tersebut tidak bisa dibuka sembarangan bahkan olehmu sendiri. Kamu butuh niat dan keinginan kuat agar aksesnya terbuka. Apa aku salah?" Deon berusaha membujuk sherlock pemurung itu.

Keheningan menyergap. Deon, apa pun rencananya, dia terlihat bersungguh-sungguh membutuhkan bantuan Watson. Apa pasien itu merupakan teman atau orang penting baginya? Aduh, Watson merasa deja vu ketika pertama kali Deon mengajak kerja sama.

Kemarikan benda itu. Watson menyambar tablet Deon yang menunjukkan bagan pasien, memeriksanya saksama. Dia kesal pada dirinya yang tak bisa menolak. Watson kesal rasa simpatinya lebih besar daripada ketidakpeduliannya. Ah, benar-benar jengkel.

Teman-temannya bersitatap antusias, termasuk Deon. Menunggu Watson memeriksa penyakit atau masalah macam apa yang ada di tubuh pasien hingga Deon minta tolong.

Terjadi banyak komplikasi berbahaya. Peluang hidup hanya 5%. Deon ingin menyelamatkan wanita ini? Apa yang dia pikirkan. Watson mengambil jaketnya.

"Lho, Dan? Mau ke mana?" Aiden bertanya.

Ke mana lagi kalau bukan ke rumah sakit. Dia tak punya waktu duduk santai. Segera urus masalah Deon lalu kembali berkutat pada insiden di Madoka.

"Kalau begitu kami ikut!" ucap Jeremy setelah Dinda menerjemahkan gerakan tangan Watson. "Kami kan juga anggota klub."

Siapa yang menyuruh mereka ikut? Dinda meringis ketika mengartikannya. "W-Watson bilang kita tetap berada di klub."

"Kok begitu? Kami mau ikut, Dan! Menemani sekaligus menyemangatimu."

Kali ini Watson tak langsung meminta Dinda menerjemahkan kata-katanya, menulis di buku ajaib—maksudnya buku komunikasi. Dua menit dia menulis, berarti dia hendak menyampaikan/memerintah sesuatu.

Singkatnya, Watson memberi mereka tugas. Aiden dan Dinda disuruh mencari latar belakang Fate Krista—gadis itu belum genap diketahui asal-usulnya. Lalu Jeremy dan King disuruh memeriksa seluruh CCTV yang ada di kawasan antara Moufrobi-Uinate (merujuk cerita Fate yang entah asli atau karangan).

'Periksa setiap kamera, jangan lewatkan satu pun. Paham? Kita menginap di klub. Aku akan menanyakan apa yang kalian dapatkan saat kesibukanku berakhir. Inspektur Deon, kuharap divisi Anda bisa mengurus masalah mayat di klub dan di kubah kaca. Pastikan tidak ada orang luar tahu kejadian di Madoka. Kita tak bisa menampik resiko kritikan negatif bermunculan.'

Aiden mengembuskan napas. Kalau Watson sudah memberi instruksi, tidak ada gunanya dia memaksa ikut. Mungkin sendirian membantu sherlock pemurung itu berkonsentrasi penuh.

Ah, tidak. Dia tidak sendiri. Dia bersama Deon.

*

Dua jam berlalu. Aiden dan King tepar, tidak kuat lagi memelototi laptop. Mereka rebah di karpet beludru, tampak mengantuk.

Wajah Dinda pias. Jemarinya kaku dari tadi mengetuk tombol mouse. "Aku sudah meretas alamat IP-nya berkali-kali, namun tetap tak menemukan apa pun. Sebenarnya siapa Fate Krista ini? Dia tak memiliki nomor induk. Apa dia penduduk hasil selundupan?"

"Situasiku sama." Jeremy mengembuskan napas berat. Matanya merah memandang komputer. Sejauh ini Jeremy sudah memeriksa lima belas kamera, dan tak membuahkan hasil. "Terlebih Watson tidak memberitahu hal apa yang harus kutemukan."

Dinda menghentikan pencariannya, menoleh ke Jeremy yang masih sibuk menonton rekaman cctv, memeriksa setiap spesifikasi agar tidak melewatkan apa pun.

"Kenapa kamu tidak coba minta tolong padanya, Jer?" Dinda berkata pelan. Kebetulan yang lain tengah tidur.

"Soal apa?" sahut Jeremy fokus.

"Aku membicarakan kakakmu. Bukankah lebih baik kamu menceritakan masalahmu padanya supaya dia dapat membantumu?"

"Watson sudah banyak pikiran, Din. Aku tak mau menambah bebannya." Jeremy menggeleng. Sepintar apa Watson, dia masih seorang remaja yang bisa frustasi diberi asupan tanpa jeda. Kalau dipaksa terus-menerus dia bisa meledak.

Satu masalah lagi. Watson jadi (lebih) sulit menyelesaikan kasus sejak suaranya hilang. Berulang kali menulis di buku untuk melakukan komunikasi. Hal itu pasti membuatnya jenuh.

Dinda hendak membuka mulut, segera menimpali, namun dia urung mendengar suara bip-bip pelan dari tablet cadangannya di dalam tas. Dia membulatkan benda. Tablet itu khusus pelacak Jerena Bari.

"J-Jeri! Kakakmu ... Kakakmu ...! Kak Rena terlacak oleh GPS!" Dinda gemetaran menyentuh layar tablet.

Tanpa babibu, Jeremy melompat ke sebelah Dinda, mengambil tablet di tangannya. Lupakan tugas dari Watson karena ini lebih penting. Satu-satunya alasan Jeremy bergabung dengan klub detektif.

"Saat ini Kak Jerena berada di Korea, Seoul. Posisinya terbaca 14 jam lalu sesuai jarak waktu yang berlaku bagi Korea dan Amerika." Dinda mengusap wajah.

Korea? Aduh, itu kabar buruk. Bagaimana cara Jeremy ke sana? Dia masih pelajar, belum punya waktu membuat paspor. Kecuali ada yang mau sukarela mengantar Jeremy. Atau dia bilang ke orangtuanya saja? Tapi bagaimana kalau Jeremy terlambat dan Jerena berpindah tempat lagi? Sial. Jeremy tidak jago memperhitungkan situasi.

Alangkah terkejutnya Jeremy dan Dinda demi melihat King meradak ke meja dalam keadaan setengah sadar, mengerjap memperhatikan layar komputer.

"Aku menemukannya. Ini rekaman Mayat Wanita yang Hilang," ujar King entah sadar sepenuhnya atau belum. Dia tak terpikat percakapan Jeremy dan Dinda. Rekaman yang ditampilkan oleh layar lebih menarik.

Jeremy dan Dinda saling tatap, beringsut ke tempat King. Benar. Sosok Mayat Wanita yang Hilang tertatih-tatih memaksa kaki untuk melangkah di jejalanan penuh salju, menciptakan garis panjang berdarah. Tidak ada yang mengejarnya, namun mereka mendengar suara mesin drone.

"Tunggu, bukankah itu drone Fate?" []




N. B. Revisi Watson udah dimulai lho, ya. Kalau mau baca ulang silahkan. Janji deh kalau revisi dah siap, S2 Watson coming soon.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro