14

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Taman Makam Moufrobi.

Jeremy meneguk saliva pahit, berdiri di belakang Hellen yang menatapnya jengah. Laki-laki tapi penakut. Yah, Hellen juga tak bisa menyalahkannya. Malahan Jeremy tampak lucu karena ketahuan takut dengan hal paranormal.

"K-kita akan menggali kuburannya? Astaga, bagaimana kalau ada yang melihat? Kita bisa dituduh aneh-aneh."

"Dan menyuruh kita begitu," kata Aiden lugas, memberikan satu cangkul ke Jeremy. "Kamu sudah mematikan seluruh kamera CCTV di sini kan, Dex?"

"Iya." Dextra dapat bagian juga. Dia dan Hellen bertugas tukang patroli, jaga-jaga ada siskamling lewat.

"Ayo kita mulai." Aiden memimpin.

Untungnya hari sudah gelap, pukul 8 malam. Jadi tidak banyak yang mengunjungi makam. Dari kejauhan pun akan susah melihat pemandangan dalam taman makam sebab kurangnya cahaya.

"A-Aiden, apa ini akan baik-baik saja? Kita sedang mengobrak-abrik makam lho! Malah anaknya ikutan! Duh." Jeremy tak henti-hentinya merengek.

"Kita hanya memeriksanya, Jer, lalu menutupnya kembali. Apa yang kamu takutkan? Kami perlu tenagamu."

"King! Kamu yakin tidak apa? Ini makam mendiang ibumu lho... Eh, woi, kenapa kamu malah semangat menggalinya?!"

"Dia bukan ibuku. Aku hanya numpang lahir lewat rahimnya," katanya enteng.

Tampang Jeremy berubah konyol.

Setelah tiga menit menggali, akhirnya sekop King bertemu dengan benda keras. Itu pasti petinya! Galian mereka sudah mencapai dasar kuburan.

Mengirai tanah di atas peti, mereka bertiga saling tatap, mengangguk. Dengan gerakan yakin, Aiden membuka penutup peti. Mereka sontak mematung.

"Apa ini?" Jeremy menahan napas.

Tidak ada tulang atau kerangka manusia di dalamnya. Hanya rangkaian bunga yang sudah layu dan menghitam. Peti itu kosong. Tak ada jasad apa pun.

"Kenapa petinya kosong? Jangan bilang dugaan Dan benar kalau-kalau ibu King ada kemungkinan masih hidup?!"

King hanya memasang ekspresi datar tak peduli. Oh, jadi wanita itu memalsukan kematiannya? Apa tujuannya? Apa yang tengah dia rencanakan? King tidak tahu.

"Kak Aiden! Ada beberapa orang hendak kemari! Waktu habis, kita harus segera memperbaiki kuburannya dan pergi!"

"Ulur sedikit waktu, Dex!"

"King! Jangan bengong! Bantu kami menurunkan gundukan tanahnya!"

Pemilik nama tersentak, gelagapan memegang sekopnya. "Maaf, maaf. Aku kepikiran sesuatu." Dia buru-buru menjatuhkan kembali tanah di permukaan ke dalam kuburan palsu.

Skip time.

"Apa yang harus kita lakukan sekarang? Dan juga tidak mengangkat telepon kita. Kuharap dia baik-baik saja."

"Kamu duduk dulu deh, Aiden. Kamu sudah mondar-mandir selama sepuluh menit. Kami yang pusing melihatmu."

Bagaimana Aiden tak merasa gundah? Sebuah peti yang harusnya diisi oleh kerangka jasad Pasha ditemukan tidak ada. Mereka lebih condong ke misterinya daripada horornya. Insting detektif.

Rambutnya berganti lagi menjadi ponytail dengan pita kupu-kupu merah. Entah kapan gadis itu menguncirnya.

"Haruskah kita menyusul Watson?"

"Tidak," tolak King. "Pak Ketua sudah bilang agar tidak mengganggunya dulu. Kita hanya bisa menunggunya sekarang."

King menatap jam tangan, meringis. Tersisa beberapa jam lagi sebelum Violet dipindahkan dari ruang investigasi. Jujur saja, dia sangat ingin melakukan sesuatu. Tetapi Watson melarang. Apa yang bisa dia lakukan? Mereka tidak berdaya.

"Ngomong-ngomong King, aku mau tanya sesuatu. Kamu, Paul, dan orangtuamu dalam rangka apa pergi ke Pockleland?" Soalnya mereka bertiga tahu kalau Watson pergi ke sana untuk merayakan dirinya yang diterima di Alteria.

"Untuk menenangkan pikiran. Aku dan Paul trauma semenjak kasus Kinderen. Jadi orangtua kami mengajak kami bermain di Pockleland... Tapi bukannya kedamaian, justru kemalangan yang datang. Aku ini sial banget ya."

"Itu sudah jadi takdirmu, King."

-

Watson menanggalkan kacamata safety-nya, menganggukkan kepala. "Akhirnya selesai. Tak kusangka membutuhkan waktu sejam merakitnya."

"Apa kamu seorang ilmuwan, Anak Muda? Kenapa kamu bisa memasukkan kamera mini sekaligus penyadap ke dalam bolpoin? Apa yang kamu lakukan dengan benda itu?" tanya si empu toko.

Bukan, dia bukan ilmuwan. Dia hanya fans Holmes. Yang ilmuwan itu ibunya, lalu bekerja menjadi profesor fisika. Jika dihitung, mungkin Watson hanya mewarisi 40 persen kepintaran Dyana.

"Aku membutuhkan benda ini untuk merekam bukti nyata dan kuat untuk menampar wajah inspektur sialan itu."

Setelah meninggalkan apartemen Locoroco, detektif muram itu mampir ke sebuah bengkel elektronik terdekat dan membuat bolpoin penyadap dengan tambahan kamera mini.

Jika dia hanya memasang penyadap, Watson khawatir kepolisian menganggap isi rekamannya disabotase alias palsu. Makanya dia mengimbuhkan kamera. Dengan begitu Angra tak bisa membantah kebenarannya.

Watson menatap jam tangan. Tersisa sejam lagi masa investigasi Violet habis dan dia akan dibawa ke lapas.

Bukti sudah ada di tangannya. Watson juga sudah menyiapkan senjata. Bagus, dengan begini dia bisa berangkat ke kantor polisi. Tunggu saja, Angra.

Watson mengemasi barang-barangnya. "Terima kasih sudah mengizinkanku merakit di bengkel Anda, Kek. Aku sangat terbantu karenanya."

Beliau terkekeh ramah, mengelus-elus lengan Watson yang letoy. "Apa pun yang mau kamu lakukan, semoga kamu terus dijauhkan dari bahaya."

Watson membungkuk sopan, kemudian melenggang pergi dari sana. Kepalanya mendongak ke langit berbintang. Seekor paus berkeluk menyamakan langkahnya.

Sekarang Watson tahu bahwa mamalia terbang yang aneh itu bukanlah sekadar halusinasinya. Tanpa dia sadari, Watson telah membuat 'teman tulpa'. Dan kebetulan dia jatuh hati pada paus lantas tulpa tersebut memvisualisasikan keinginannya. Sungguh di luar dugaan.

[Note: Tulpa, sesosok manusia/makhluk khayalan yang dibuat sang pemilik tulpa tersebut. Mempunyai sifat, suara, bentuk bahkan pemikiran sendiri.]

"Selagi masih dalam pengendalian, ini bukan gejala skizofrenia. Jadi aku rasa tidak ada masalah," monolog Watson. Dia enggan dicap gila karena melihat paus terbang di angkasa.

Sebenarnya itu wajar-wajar saja, apalagi untuk seukuran Watson yang kerap bertemu masalah psikis. Seorang dokter memerlukan dokter untuk merawat dirinya. Anggap saja begitu.

Setelah berjalan belasan menit, Watson membuang sesuatu ke tong sampah, lalu menghadap kantor polisi di seberang jalan. Dia sudah sampai. Violet ada di sana. Terkurung sebagai tersangka karena manipulasi dalang sebenarnya.

"Tunggu aku, Vi. Aku akan membebaskan dan mengeluarkanmu dari tempat itu."

Watson melangkah ke jalan raya. Tapi tiba-tiba, dirinya disorot lampu terang. Dia menoleh datar. Sontak terdiam.

Sebuah mobil hitam dengan kecepatan tinggi melesat dari sebelah kanan, tak peduli pada lampu lalu lintas yang menyala di warna merah.

Konon kata orang, ketika kematian melambai padamu, semua kilatan memori dalam hidupmu akan terputar dalam satu momen. Namun, entah kenapa itu tidak berlaku pada Watson. Tidak ada satu pun kenangan yang terpikirkan.

Karena pikirannya mendadak kosong.

BRAAKK—!!!

Prang! Aiden tak sengaja menjatuhkan gelas. Benda itu pecah mencium lantai. Kepingannya melenting ke mana-mana.

"Aiden, kamu baik-baik saja?" Hellen bertanya khawatir, membantu gadis itu memindahkan air panas. "Aduh, biar aku saja yang menyeduh tehnya."

"Kak Aiden tidak apa-apa?"

"Buk Aiden, airnya mengenai tanganmu kah? Kamu syok banget soalnya."

"A-ah, iya. Aku baik-baik saja."

Kenapa firasat Aiden tidak tenang? Kenapa dia langsung teringat Watson? Apa terjadi sesuatu padanya? (*)




N. B. Oke, ini yg terakhir (utk hari ini). Fast, ya? 4 chapter sekaligus. Itu karena besok Sumeru rilis. Aku mau speedrun dulu jadi gak bakal update.







Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro