-Dua Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Terkadang kesalapahaman mudah sekali diselesaikan dengan sekadar bicara

.

Esoknya kami mulai mengerjakan tugas masing-masing. Aku menanyai Rosanna yang tahu-menahu mengenai makhluk ini, pula aku memastikan ke pimpinan penatu tua pengurus dorm gadis.

Dari Rosanna aku mengetahui kalau makhluk itu berdasarkan rumor muncul sekitar 2 tahun yang lalu dan membuat kekacauan di mana-mana. Mereka sudah melapor pada guru tetapi mereka tidak digubris. Kakak-kakak dari keystage lebih tinggi pun dulu pernah mengundang exorcist diam-diam, tetapi hasilnya nihil karena exorcist atau pengusir setan itu tidak merasakan energinya.

"Ah, yang ditakuti gadis-gadis." Penatu tua tersebut tengah melipat pakaian kering usai disetrika. Dia masih di posisinya ketika aku duduk di kursi hadapannya.

"Apakah kau tahu sesuatu?"

"Mungkin itu cuma kenakalan orang."

"Tapi itu keterlaluan," kataku tidak terima dengan jawabannya yang masih terus mengerjakan tugasnya tanpa melihatku.

"Apakah kau pernah jadi korban?"
Akhirnya dia mengangkat kepalanya sembari meletakkan setrika berdiri di pinggir mejanya.

Aku menggeleng, dan wanita penatu tua tersebut tersenyum miring kepadaku.

"Puding dan Pai akan jadi jimatmu," katanya sembari menyingkir mengangkat tumpukan baju untuk dimasukkan ke keranjang.

"Apakah dia berasal dari lagu?"

"Tidak, tidak mungkin dia yang baru saja muncul dua tahun lalu bisa berasal dari lagu puluhan tahun yang lalu." Dia kembali duduk di kursi dan melanjutkan kegiatan menyetrikanya.

"Lantas mengapa harus puding dan Pai?"

"Sama seperti lagu anak-anak tersebut yang memiliki cerita rumit di dalamnya. Dia pasti memiliki cerita rumitnya sendiri."

"Tapi, dia bukan hantu yang punya cerita rumit."

"Siapa yang bilang dia hantu? Lagipula semua orang memiliki cerita rumitnya tidak harus hantu." Nada penatu tua terlihat sedikit tidak terima.

"Ka-kau bisa melihatnya?"

"Entahlah, aku sudah terlalu tua untuk bahkan melihat wajahmu dengan jelas." Dia mengangkat kepalanya lagi menatapku.

Penatu tua orang yang misterius, tetapi katanya dia adalah orang yang sudah lama mengabdi di Rendwench ini. Tidak cukup mengecewakan untukku pergi menanyainya. Setelah aku merasa sudah mendapatkan jawabanku, kuputuskan untuk kembali ke kamar. Hari saat itu sudah sore dan selasar kamar cukup sepi. Ini karena kebanyakan siswi pergi ke gedung olahraga untuk melihat-lihat kegiatan ekstrakurikuler apa yang ditawarkan di sekolah ini. Aku tidak ke sana karena aku memang tidak berencana untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler apapun.

Aku hanya ingin menikmati hidupku untuk melihat, dan mendengar apa yang ingin kurasakan tanpa harus melakukan sesuatu yang tidak kusukai. Bagiku bertemu dengan banyak orang seperti mengikuti kegiatan ekstrakurikuler adalah hal memuakkan. Aku tidak menyukainya, maka aku tidak perlu mengikutinya. Itu yang pernah Tom ajarkan padaku.

Mengingat tentang Tom, aku jadi penasaran bagaimana kabarnya. Sudah empat tahun dia menghilang. Kudengar dari Ibu, dia menemukan pekerjaan yang lebih baik sehingga dia berhenti mengajarku ketika aku berumur 8 tahun. Dua tahun waktu yang cukup singkat tetapi aku merasa senang sekali diajari olehnya. Mungkin Tom berumur 26 tahun sekarang, apa dia sudah menikah ya?

"Kaukah itu!?"

Aku terperanjat ketika pikiranku tiba-tiba teralihkan dengan kehadiran sosok itu saat membuka kamar. Dia ada di kamarku di siang bolong seperti ini. Berdiri di tengah kamar pula.

Aku berniat berlari, tetapi rasanya tidak masuk akal bila aku harus berlari dan meminta tolong seperti orang kesetanan sedangkan tidak ada yang bisa melihatnya. Meski ada yang pernah merasakan pipinya disentuh bibir jorok makhluk itu. Tetap saja, tidak akan ada yang percaya.

Puding dan Pai akan jadi jimatmu, sekonyong-konyong aku teringat ucapan penatu tua.

"Kalau kau mendekat lebih dekat lagi, akan kulempari kau dengan puding saat ini. Atau yang lebih buruk lagi aku akan melemparimu Pai kalau bertemu denganmu lagi."

Aku menggenggam tangan kiriku dan menyembunyikannya di belakang badan. Berpura-pura ada yang kupegang di balik badan.

Ternyata gertakanku berhasil. Dia terdiam mengamatiku. Wajahnya membeku. Dia terlihat ingin mengucapkan sesuatu lagi tetapi tidak jadi.

"Apa yang ingin kau ucapkan! Cepat beritahu atau kulempar ini padamu!"
gertakku lagi padanya. Aku sudah gemas dan penasaran setengah mati padanya.

"Kau bukan dia. Kau tidak mirip dengannya." Dia mengucapkan itu sembari berbalik dan berjalan menembus tembok.

Perginya makhluk itu menjadi diamku begitu saja.

Benar begitu saja.

Aku langsung ambruk ke lantai setelah itu. Tidak menyangka kalau hanya begitu saja cara mengusirnya pergi. Lantas jika semudah ini, mengapa tidak ada orang yang melakukan cara ini? Mengapa semua panik jika ada cara seperti ini?

Ini menimbulkan pertanyaan.

"Siapa yang dia cari?"

Aku termenung memikirkan apa saja yang terjadi hari ini. Mulai dari Rosanna, kemudian wanita tua dengan bau pakaian laundry dari pojokan ruangan sempitnya yang penuh dengan pakaian rapi para gadis asrama hingga sosok itu sendiri di kamar.

Sampai tiba-tiba Lyona masuk ke kamar dan aku mendapati diriku dengannya dalam keadaan canggung. Ya, memang meskipun aku bisa berbasa-basi di awal bukan berarti aku ahli berbasa-basi. Terlebih aku masih menyimpan sebuah pertanyaan padanya.

"Apa hubungan Lyona dengan Daisy?"

Aku langsung membulatkan mataku, dan menatap Lyona yang tak kalah kagetnya denganku. Astaga. Aku tidak sengaja mengucapkan pikiranku.

"Erm, sepertinya aku harus mulai jujur padamu. Kupikir kau telah berusaha menahannya dengan baik selama ini, pada aku yang mengapa bisa sangat akrab dengan Esme dan waktu kita pertama kali bertemu bersama Daisy." Lyona mendekat ke arah kasur yang tengah kutempati.

"Sebelum itu mari kita mulai dari aku. Aku tahu kau tidak mengenal cukup jauh tentangku."

"Aku Lyona Brown dari Florida yang ketika musim panas keringat serasa seperti lem perekat baju."

Aku tahu itu, jadi aku mengangguk-angguk dan mulai mendengarkan dengan seksama sembari bangun dari kasur serta duduk.

"Aku anak sulung dan punya 5 adik. Mereka yang membentuk kepribadianku sampai saat ini, karena ibuku selalu bekerja dan tidak pernah ada di rumah. Jika kau bertanya ayahku ke mana. Ntahlah, aku juga tidak tahu."

Aku jadi sangat mengerti kenapa ia terkadang bersifat sangat dewasa. Menyelesaikan permasalahanku dengan Esme. Dan juga, sangat pengertian dan memahami kami.

"Mungkin karena sifatku itu yang bisa dibilang aku terbiasa mengatur adik-adikku, atau ditambah dengan suatu hal lain yang membuat aku tidak disukai oleh teman-teman di kamar nomer 25. Kau tahu sendiri kan bahwa kebanyakan orang di sini penempatan kamarnya berasal dari daerah mereka berasal?"

"Eh, benarkah? Aku justru baru tahu itu."

"Lho, bukankah kau bertengkar dengan Daisy karena tahu ia sekamar denganmu?"

"Si-siapa yang bilang aku bertengkar dengan Daisy. Ah walau-" napasku tercekat mengingat-ingat kejadian masa lalu, "Ya, benar aku pernah bertengkar dengan Daisy dan hubunganku dengannya buruk."

Sekarang sudah jelas, mengapa sampai satu minggu lebih setelah masuk sekolah aku dan Esme tidak kunjung bertemu dengan teman sekamar kami. Itu sudah jelas, dia Daisy yang menghindari kami.

"Ah, maafkan aku. Aku baru datang ke sekolah ini sehari sebelum masuk sekolah, jadi kupikir sewaktu liburan kalian bertengkar."

Aku menggeleng. "Tidak, itu pertengkaran yang sudah lama sekali. Malah kupikir sebenarnya kami juga tidak bertengkar. Hanya dia yang tidak mau menemuiku."

"Ah, maafkan aku." Lyona memegang tanganku

"Tidak-tidak apa apa." Aku menerim tangannya dan tersenyum. "Lalu, selama ini dia tinggal di mana sebelum bertemu denganmu untuk tukar kamar?" tanyaku.

"Mungkin tidur di kamar Nyonya Merry. Kau tahu sendiri kan, Nyonya Merry lebih sering tidur di kantor berdebunya."

Aku mengangguk-angguk setuju. Itu bisa saja terjadi. Setelah menyelesaikan kesalahpahaman ini dengan Lyona. Aku jadi mengerti alasan lain mengapa Esme bisa menerima Lyona dengan cepat. Lyona memang sangat pengertian. Penilaian Esme terhadap orang adalah mutlak. Ini karena Esme orang yang sangat sulit menerima orang luar meski dia banyak bicaranya.

"Sudah selesai?" Esme membuka pintu dan nampak ia bersungut-sungut menatap kami. Seperti ingin memuntahkan segalanya sesegera mungkin.

"Aku punya banyak informasi bagus," katanya yang diiringi berkebalikan dengan wajah tidak enaknya.

"Ada apa?" tanyaku yang hampir bersamaan dengan Lyona.

"Tidak, hanya saja aku merasa sudah ditolak mentah-mentah. Dan aku ingin segera menceritakannya sampai ke informasi yang kudapat."

Aku mengangguk-angguk setuju.

"Tapi, akan aku ceritakan bagian krusialnya saja terlebih dahulu." Esme menarik napas berusaha menenangkan hatinya yang kupikir sudah terlihat mulai menangis.

"Dia bukan Georgie Porgie seperti yang kita duga di awal. Dia mungkin alumni sekolah ini dan juga dia bukan hantu."
~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro