-Dua Puluh Enam

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Terkadang orang asing dapat menjadi lebih obyektif dalam menilai hidup kita
.

Sehari kemudian, aku, Lyona dan Esme kembali ke asrama. Selama perjalanan ke sana yang biasanya selalu diiringi cerita Esme, mendadak menjadi lebih sunyi. Esme lebih diam tetapi itu sudah lebih baik dari kemarin. Kemarin ia menangis terus-terusan.

Aku tahu ia menyalahkan dirinya sendiri, padahal ini bukan salahnya. Dengan kesadaran sepenuhnya--aku yang tahu sebagian besar ini adalah salahku, walau saat ini tidak ada hal yang dapat kulakukan--akan segera kutebus ini, nanti.

Kuperiksa surel melalui komputer laboratorium yang kugunakan untuk hal lain secara diam-diam saat pelajaran komputer ini. Aku telah mengirim surel ke beberapa orang di angkatan tuan Stroude sebagai seseorang yang terlihat mirip dengan Ash.

Kukesampingkan perasaanku padanya karena aku merasa mulai harus melepaskannya. Dia telah memiliki seseorang di hatinya, juga dia bukan berasal dari waktu ini. Dia Tuan stroude. Barangkali seusia guru-guruku di Rendwech ini.

Namun, meski begitu. Bagaimana pun juga dia adalah laki-laki yang pertama kali kusukai selain ayahku. Ini membuatku agak sulit melupakannya. Terlebih aku harus sering bertemu dengannya untuk menyelesaikan permasalahannya. Karena aku sudah berjanji. Dan itu berat.

Meski begitu juga, rasanya perasaanku tidak penting juga kan untuk seseorang yang akan menebus dosa?

"Isla. Kau sedang apa? Bapak guru itu sedang mengawasimu." Esme berada tepat di samping komputerku. Ia berbisik tetapi aku masih dapat mendengar suaranya yang berjarak setengah meter ini.

"Aku mengirim ulang surelku ke orang-orang yang mungkin mengenal Ash," kataku berbisik sembari menunjuk layar komputerku meski aku tahu Esme tidak akan bisa melihatnya.

"Apa Ash juga di sini?" tanyanya.

Baru saja aku berusaha berhenti memikirkan dirinya dan mengalihkan perhatian pada laman surel yang terbuka di hadapanku, kini Esme mengingatkannya lagi yang menbuatku sedikit kesal.

"Kenapa tiba-tiba tanya begitu? Tidak. Kusuruh dia tinggal di desa. Aku tidak mau melihatnya."

"Kau bertengkar?"

"Nona Owens, Nona Marshall kalau ingin dilanjutkan kalian bisa di luar."
Suara keras itu menggelegar begitu saja dari depan. Semua orang jadi memperhatikan kami, padahal sebelumnya mereka berfokus mencoba cara menyelesaikan perintah bahasa pemrogaman sederhana dari papan tulis.

Aku dan Esme langsung berdiri lalu meminta maaf. Sampai pelajaran berakhir, baru kami benar-benar terbebas dari awasan guru laboratorium komputer kami.

Aku dan Esme menemui Lyona yang menunggu kami untuk makan siang di depan Lab. Lyona baru saja menyelesaikan kelasnya oleh sebab itu ia tidak langsung pergi ke ruang makan dan menunggu kami di sana.

Makan siang kali ini adalah pasta ikan, aku tidak begitu menyukainya jadi tersisa makanan itu di piringku. Lyona menanyaiku mengapa aku terlihat tisak nafsu makan dan aku mengatakan kalau aku tidak terlalu suka dengan ikan. Setelah itu di hari selasa siang yang masih terasa dingin ini ketika masih ada waktu istirahat sebelum lanjut kelas lagi aku memutuskan untuk pergi ke kebun sekolah yang hangat. Esme dan Lyona tidak ikut karena mereka mempersiapkan pekerjaan rumah di kelas mereka yang sama selanjutnya. Sebuah kebetulan yang aneh di semester ini aku ada satu mata pelajaran yang tidak sekelas dengan Esme. Biasanya tidak pernah terjadi. Bila ada aku, pasti ada Esme. Bila ada Esme pasti ada aku.

Kuperhatikan rumput liar yang tumbuh di tanah dekat tanaman di kebun. Mereka masih kecil, ibaratnya baru sepucuk yang muncul di permukaan tanah, tetapi jumlahnya banyak. Hal ini membuatku gemas dengan mencabutinya satu-satu. Aku memulai dari pojok bangunan ini. Sampai-sampai ketika aku menyelesaikan separuh dari ruangan ini ada yang memanggilku.

"Isla?" katanya.

Aku menoleh dan melihat Evelyn dengan beberapa buku. Ia kemudian berjalan ke arah meja tempat kami biasa melakukan tea party.

"Kau bolos kelas?"

"Apa? Ti-" lalu aku menengok jam besar di tengah bangunan ini. "Astaga, terlewat."

"Aku buatkan teh dan mari kita mengobrol."

Evelyn menyalakan kompor portabel dan menjerang air. Sembari demikian, ia meracik teh hari ini pada teko.

"Red Earl Grey," katanya menyebut teh hari ini. "Hari ini anggota yang lain juga akan datang," katanya lagi sembari meracik teh earl grey yang dicampur dengan serbuk kasar rooibos.

Setelah air mendidih dan dituangkan ke teko. Evelyn membawakan mug teh kepunyaanku dan dirinya lalu menuangkan teh panas itu di depanku. Ia menyebutkan itu bagus untuk meredakan kekhawatiranku.

Kuseruput teh berwarna cokelat ini, rasanya manis tetapi sedikit memiliki rasa segar khas jeruk ketika dirasa. Kenikmatan yang kurasakan saat ini rasanya membuatku melankolis walau kini sudah cukup tenang. Aku tidak bisa bohong kalau aku tidak tenang. Ada banyak hal yang menakutiku. Sifatku yang dapat menyakiti orang, janjiku, dosaku dan segala hal yang membuatku merasa aku tidak berhak hidup.

"Kau bisa menceritakan masalahmu. Aku akan mendengarkan. Lagipula terimakasih sudah bekerja keras hari ini." Evelyn juga menambahi pekerjaan mencabuti rumput ini sangat melelahkan biasanya perlu lebih dari satu orang untuk menyelesaikan pencabutan rumput setengah bangunan dalam dua jam. Bila ada yang melakukannya Evelyn yakin hanya orang gila atau sedang bermasalah saja yang melakukannya. Dan ia benar.

"Beberapa hari ini aku merasa tidak pantas hidup. Kau tahu Evelyn, aku baru baru ini menyadari kalau aku adalah orang yang sangat egois, dan hanya peduli pada diriku sendiri. Dan gara gara itu pula. Aku membuat kesalahan besar yang tidak bisa dimaafkan."

Evelyn menaruh mugnya kembali ke meja. Kegiatan teh kami memang tidak menggunakan cangkir dan tatakan karena cukup dengan mug khusus yang kami bawa sendiri.

"Mau teh lagi?" Evelyn menawarkan teko berisi teh dan aku menyodorkan mugku.

"Sudah lebih baik?" tanyanya. Aku pun mengiakan dengan anggukan singkat

"Semua orang pada dasarnya egois dan hanya peduli pada dirinya sendiri. Namun, kau sudah sadar diri kan? Kalau begitu tidak perlu risau lagi."

Ucapan Evelyn menenangkanku. Namun, meski demikian ... Apa aku boleh untuk melupakan dan pura-pura lupa kalau sebagian yang terjadi pada Daisy karenaku?

Aku tidak bisa.

Dan aku masih terpikir untuk menebus dosaku.

***

Musim semi barang kali terlambat datang atau memang karena dunia sedang alami perubahan, hujan dari semalam tidak kunjung reda di akhir-akhir pagi bulan februari ini. Malah, kurang lebih seminggu yang lalu ada genangan air membeku di luar asrama. Aku mengetuk-ketuk tetesan air di kaca mobil ayahku.

"Dad, apa pilihanku benar?"

"Pilihan yang mana? Kau izin pulang karena rindu rumah sangat?" pertanyaan ayah dibarengi dengan kekehan kecil di samping tubuhku. Aku yang menoleh padanya kembali memainkan jari di jendela, mengetuk ngetuk air agar jatuh.

"Tidak masalah kalau kau pulang hanya karena itu. Rumah adalah tempat pulang setiap saat. Tidak ada yang bisa menghalangi dirimu pulang ke rumah, termasuk peraturan sekolah."

Ayah kemudian meraih kepalaku dan mengusap rambutku pelan lalu kembali menyetir karena kediamanku dari tadi. Sepertinya ayah menghormati sisi melankolisku karena hujan ini.

"Bila suatu saat aku pergi dari rumah dan tidak kembali lagi, apa itu pilihan yang tepat, Dad?"

"Bila kau sudah menemukan rumah barumu. Dad rasa tidak apa. Rumah tidak pernah mengikatmu," katanya yang tidak melihatku sudah berlinangan di sampingnya.

"Baiklah, terimakasih, Dad."

Setelah aku menunaikan janjiku, aku tidak akan kembali ke rumah atau pun dunia ini yang juga jadi rumahku.

~
1130 kata
Di sini Isla merasa agak depresi, meski membaik karena ada Evelyn. Mengapa Evely? Orang yang gak terlalu dia kenal? Justru terkadang lebih enak mencurahkan perasaan pada orang yang tidak terlalu dekat dengan kita meski masih bisa dipercaya. Dia akan lebih dapat memahami dari sisi kita. Selain itu alasan Isla tidak bisa bercerita ke teman dekatnya karena dia merasa berdosa sekali. Well sampai akhir gimana pun juga Isla merasa sangat bersalah. Dan secara naluri tentunya ia tidak berani bercerita kan :") ibaratnya tekanan batin

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro