Pojok Daisy 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Isla adalah penyihir. Dugaku.

Itu yang kusimpulkan usai kejadian kakiku terlilit. Ketika beberapa kali ia lewat di depanku pun, aku menghindarinya sangat. Bahkan aku juga melanjutkan sekolah menengah di tempat yang kupikir berbeda dengan mereka. Ada anak dari pub Catherin wheel yang sering bersama mereka bersekolah di Kingshill terlebih dahulu. Jadi kupikir mereka akan ke sana. Namun, nyatanya ketika aku melihat daftar nama teman kamar usai aku diterima dengan beasiswa di Rendwech, mereka sekamar denganku.

Bukannya aku takut dengan Isla yang seorang penyihir dan aku cukup dewasa tahu tidak semua penyihir jahat--hasilku menelisik persoalan penyihir di banyak buku--tapi tetap saja ia mengetahui tentangku yang bahkan tidak kuketahui.

Itu mengerikan.

Jadi, aku mencoba membicarakannya dengan penjaga asrama di kantornya, Nyonya Merry. Beberapa kali aku sudah tidur di kamarnya, tapi aku tahu lama-kelamaan ia risih. Dan aku yang tak tahu malu ini juga meminta bantuannya sekali lagi.

"Aku mohon bantuannya Nyonya," kataku diakhir pembujukanku dengan segudang alasan agar aku tidak sekamar dengan Isla dan Esme.

"Aku akan memikirkannya terlebih dahulu Nona Seaward," katanya dengan tegas yang membuatku tidak berkutik dan memilih undur diri dari ruang penjaga asrama bangsal Cygnus ini.

Tanggal masuk sekolah masih cukup lama, dan itu membuatku tidak bertemu dengan banyak orang karena sekolah masih libur. Namun, aku melihat sekelompok anak yang berisik di kamar ujung nomer 25. Bukan salahku untuk mendengar pembicaraan mereka karena lorongnya berkelok tepat di depan pintu mereka, katanya mereka tidak ingin ada seseorang dari Florida sekamar dengan mereka.

"Kemarin aku bertemu dengannya saat menaruh barang. Ugh, dia terlalu ikut campur!"

"Kalau begitu kita harus mencari anak yang bersedia bertukar dengannya. Yang netral dan pendiam! Aku ingin sekolah kita lancar sampai lulus."

Aku tidak tahu apa korelasi pembicaraan mereka berdua dengan seorang anak dari Florida yang suka ikut campur. Namun, ini kesempatanku jadi aku mendekati mereka terlebih dahulu.

"Kudengar kalian ada yang ingin bertukar, yang netral dan pendiam. Kurasa aku bisa menjadi demikian karena aku hanya butuh tempat tidur."

Mereka menoleh ke arahku.

...

Setelah itu sekolah menjadi seperti yang aku mau, diam dan tenang, meski beberapa kali hal sial menimpaku. Seperti aku mudah sekali terpeleset di kamar mandi, kasur yang kebocoran hujan, hingga Esme yang mendekatiku. Namun, kuusir karena aku tidak ingin kesialanku mendekatinya. Dia sudah cukup banyak menderita saat di acorn dan oak class dulu.

Saat itu malam, dan aku di perpus untuk belajar dengan meminjam kunci Nyonya Merry. Belakangan aku tidak enak badan sejak tertidur tidak sengaja di bangku bawah pohon beringin sekolah. Isla yang sering kali menatapku dengan aneh ataupun berusaha mendekatiku tiba-tiba memanggilku dan mengatakan.

"Kusarankan ke mana pun kau pergi, kau harus ditemani seseorang. Jangan datangi tempat sepi nan ganjil seorang diri. Dan pergilah ke exorcist atau peramal, saat ini kau membutuhkannya sekali. Jika kau menuruti permintaanku ini, aku benar-benar akan berjanji padamu kalau aku tidak akan mendekatimu atau bahkan menyapamu lagi."

Tawaran panjangnya itu terdengar menarik karena ia selalu berusaha untuk menyapaku ketika aku pura-pura tidak kenal dengan dirinya. Jadi aku mencoba menanyakan hal ini ke Nyonya Merry, tetapi ia bilang tidak tahu lalu tenggelam pada pekerjaannya. Dan ini juga kutanyakan ke ibu penatu tua yang bekerja di basement bangsal ini.

"Ah, aku punya totem yang sesuai untukmu,"katanya sembari mengeluarkan sesuatu dari salah satu laci mejanya. Totem itu seperti batu atau kayu kecil yang dibalut dan diikat dengan kain lusuh, meski lusuh itu tidak berbau sama sekali. Aku yakin di dalamnya ada entitas yang bisa menjaga. Betulan, ketika aku menyentuhnya ada angin segar yang kudapat dan kepalaku jauh terasa lebih ringan.

"Tapi bukankah lebih baik kau punya teman? Hal-hal seperti itu akan menjauhkanmu dari masalah seperti ini, terlebih teman yang bisa melihat seuatu," katanya sembari melihatku seolah sangat dalam.

"Aku adalah teman yang jahat. Aku tidak bisa mempunyai teman, dan aku rasa aku tidak layak."

Nenek penatu itu berdiri dari kursinya dan berjalan pelan memelukku. Aku dengan senang hati menghampiri dan memeluknya.

Ia membisikkan maaf di telingaku, dan mengecup keningku. Aku tidak masalah karena cukup nyaman dengannya. Aku bisa menganggapnya sebagai ibu keduaku di sini. Ibu pertamaku adalah Mrs. Alpeby.

"Tidak, kau tidak bisa sering ke sini. Beberapa hari lagi aku juga harus pulang."

Seolah mengerti pikiranku ketika ia berkata demikian aku melonggarkan dan melepaskan pelukanku, begitu juga dengannya.

Perkataannya kali ini begitu menyakitiku dan aku menuntut alasannya.

"Aku harus pulang kampung."

Itu membuatku tidak berkutik, dan kemudian aku memeluknya lagi sembari menyarankannya untuk hati-hati dan segera kembali ke basement ini. Ia menggangguk dan kuputuskan untuk kembali ke atas. Kembali ke kehidupan sekolahku yang hitam putih. Aku hanya ingin cepat lulus dan bisa bekerja di hotel orangtuaku. Atau bila tidak, aku bisa kerja di mana pun sesuai yang diperintahkan orangtuaku. Aku hanya ingin mengabdikan hidupku ke mereka. Ini adalah bentuk balasan terimakasihku karena mereka telah melahirkanku meski mereka berdua saja sangat sulit akur.

Setelah itu, aku mengucapkan terimakasih kepada Isla yang telah menyarankanku soal hal-hal supranatural. Aku yakin sekali dia memang memiliki penglihatan khusus dan itu membuatku percaya kalau aku diikuti hantu kesialan kemarin. Dan betulan, aku tidak tertimpa kesialan sama sekali ketika selalu membawa totemku.

Liburan musim dingin kemudian tiba, semua orang pulang kampung untuk merayakan natal. Namun, aku berencana tidak pulang. Bibi Alpeby tahu itu dan aku juga memintanya untuk pulang kampung bertemu dengan cucu-cucunya. Jadi, aku tinggal di bangsal ini bersama Nyonya Merry yang juga tidak merayakan natal bersama keluarganya. Katanya, ia tidak memiliki keluarga. Aku iri padanya. Namun, aku tidak ingin dia kesepian jadi aku menghampirinya dan barangkali bisa membantu sedikit pekerjaannya.

"Ah, kebetulan saja Daisy. Orangtuamu baru saja menelpon. Sepertinya mereka ingin kamu pulang lho. Itu itu di sana," kata Nyonya Merry sembari menunjuk telepon di seberang meja bertumpuk laporannya, ini membuatku bersemangat. Aku tidak percaya apakah itu benar mereka menginginkanku?

"Halo, apakah ini ibu?"

"Dasar bocah kurang ajar."

Aku terdiam sebentar, meski dengan penuh kekuatan aku menahan tangis.

"Ya, ibu. Ada apa?"

"Bisa-bisanya kau memilih tidak pulang. Kau seperti ayahmu, hah? Dasar anak tak tahu diuntung. Sialan kau!"

"I-ibu tapi bukankah hotel saat ini sudah memiliki pegawai yang cukup untuk menyambut tamu hari natal dan tahun baru?"

"Apanya yang cukup? Uang untuk menggaji-guuk-mereka minggu ini, uhuk tidak ada. Cepat kau kirimkan uangmu. Kudengar-guuk-kau punya beasiswa kan?" Ibu terdengar cegukan dan suaranya seperti orang mabuk. Aku jadi tahu dari mana asal uangnya hingga ia bisa meminum alkohol seperti ini.

"Ibu menganbil uang jatah mereka saat Bibi Alpeby pulang kan? Dan ibu minum saat ini."

"Dasar anak bajingan. Kau perhi-"

Aku meletakkan telepon di samping tanpa mematikannya karena sudah tidak tahan lagi dengan makian ibu. Nyonya Merry berdiri dari kursinya sembari menatapku dalam diam. Kami bersitatap. Namun, saat ini aku sedang menangis, aku tidak bisa membiarkan Nyonya Merry tahu aku menangis. Jadi aku segera berlari. Lari sejauh yang kubisa.

Dan itu membuatku keluar dari bangsal asrama.

Saat ini tengah hujan salju. Tidak terlalu deras tapi cukup membuat napasku tersengal-sengal karena dinginnya luar tanpa mengenakan pakaian lebih hangat. Aku berjalan dan berjalan. Seolah angin menuntunku dan berbisik di sana aman.

Di sana, di danau buatan sekolah.

Aku mengecek totemku di saku celana, tetapi tidak menemukannya. Mungkin jatuh. Dan itu kian membuatku merasa menangis dan terpuruk. Seolah semua beban di pundakku telah kembali.

Aku capek.

Di sana kau tidak akan merasakan capek.

Aku muak.

Di sana kau akan merasa enteng.

Aku benci.

Di sana kau tidak akan bertemu siapa pun yang kau benci. Kau aman. Dan Kau sendirian.

Bisikan itu mengalun lembut menyatu dengan pikiranku. Aku melangkah di lapisan tipis danau buatan itu.

Semakin ke tengah dan semakin ke tengah, aku merasa lapisan itu meretak dan aku merasa di dorong hingga terjungkal masuk ke dalamnya. Aku merasa basah, tetapi ini hangat. Kehangatan ini memelukku, sekali pun lubang di atas masih terbuka, aku tidak berniat kembali. Sekali pun tiba-tiba angin bergerilya di atasnya dengan es yang menutup cepat, aku tidak peduli.

Aku merasa hangat di sini.
Aku di tempat yang kuinginkan. Sebelum benar-benar menutup mata untuk tidur, aku teringat semua kejadian hidupku. Tidak ada penyesalan yang kupunya. Meski ada, aku sudah tidak punya kesempatan lagi.

Ketika aku terbangun dari mimpi ini dan semuanya putih, aku tidak kaget. Dua bola cahaya aneh yang terbang di dekatku juga, aku tidak kaget. Sekali pun mereka bercerita kalau aku adalah jiwa malang yang terpilih menjadi korban keabnormalitasan kelahiran, aku tidak kaget. Justru aku jadi mengerti semua hal yang terjadi padaku. Termasuk Isla yang tahu segalanya dan perjanjiannya. Kedua bola cahaya itu membeberkan banyak rahasia di depanku. Kedua bola cahaya itu juga kemudian memberitahuku kalau Isla ke sini sebentar lagi. Entah, sebentar lagi itu kapan. Di sini benar-benar tidak terasa apa-apa. Baik waktu, energi atau apapun itu. Semuanya hampa. Hanya tinggal penyesalan kata dua bola cahaya padaku. Ah penyesalan itu.

"Da-daisy? Kau kah itu?"
Itu suara Isla di seberang sana, entah di mana. Aku tidak dapat melihatnya.

"Kau hanya memikirkan apa yang betulan penting bagimu," kata sebuah suara yang kukenali. Itu suaraku.

"Maafkan aku Daisy, maafkan aku. Aku tahu aku salah. Tapi, aku tidak tahu harus bagaimana. Betul, aku memang hanya memikirkan diriku sendiri. Tapi, tapi bagaimana lagi."

Aku mendengar Isla mulai menangis dan terjatuh. Aku jadi panik dan berjalan mencarinya.

"Kalau kau sebersalah itu. Pergilah ke sini." Suara itu kini menggema, sudah bukan lagi suaraku, dan karena itu aku jadi tahu lokasi suara itu. Ada dua bolah cahaya berdiri di depan sebuah garis bening.

"Ya, aku akan ke sa-" kata Isla yang membuat dua bola cahaya di dekatku ini sedikit cekikikan.

"Tidak perlu. Tetaplah di sana. Dan kau yang di sana. Pergi. Ini urusanku dengannya!"teriakku mengusir dua bola cahaya di depan garis bening itu.

"Yah, kau melewatkan kesempatan yang menarik Daisy. Kau melewatkan semua hal yang ingin kau punya." Suara ini menyerupaiku dan itu suara dari bola cahaya yang redup.

"Pergi," kataku pada kedua bola cahaya itu. Dan kedua bola cahaya itu tidak punya pilihan lain. Setelah itu seperti tirai bening yang tersingkap, Isla dapat melihatku dengan jelas.

"Aku sudah menduga kau mengetahui sesuatu dan setelah aku mati. Aku jadi tahu semuanya," kataku singkat yang membuatnya menoleh padaku yang berdiri di belakangnya.

"Dan maafkan aku karena telah membebanimu. Sebenarnya aku juga telah diperingatkan tapi aku tak mengindahkannya,"kataku mengingat kalau lebih baik aku punya teman daripada menggunakan totem-totem.

Aku pun kemudian memberitahukan detail hal ketika aku mendapatkan totem.

"Tapi kau sendiri tahu kan. Kita tidak di posisi sebenarnya bisa saling peduli. Kita tidak sedekat itu dan hanya tahu nama masing-masing saja kan," kataju yang mulai berjalan memutarinya meski dengan jarak yang sama jauhnya denganku tadi. Ini karena garis tipis yang mungkin tidak bisa dilihat Isla, memutarinya.

Ia pun kemudian menanyakan kejadian tentang kematianku. Dan kali ini aku sedikit berbohong. Aku tahu aku didorong oleh makhluk yang kata dua bola cahaya bernama Jennie greenteeth, tapi sebenarnya juga, aku ingin mati ditambah ada kakek tua Jackfrost yang menebalkan es setelah aku tenggelam di sana. Namun, ketika aku menceritakannya, kedua bola cahaya itu menempel pada Isla dan Isla tidak tahu itu.

"Dan aku tidak akan meminta berganti posisi kepadamu. Lagipula sejak awal aku lahir, aku tidak diberkati. Dan kalian berdua yang di sana jangan menggeser ia terus-terusan." Aku berkata tegas sembari menatap tajam dengan emosi ke belakang Isla.

Isla menoleh melihat apa yang tengah terjadi dan menyadari jarak kami mendekat. Ia didorong oleh dua bolah cahaya terang dan redup yang kuketahui adalah Roh kelahiran dan kematian.

"Yah, Tidakkah kau ingin semua apa yang dimiliki anak ini? Dia punya orangtua yang peduli, adik, bahkan teman-teman yang bisa ia sayangi," suara dari si cahaya redup yang berat itu mencoba melucu dengan suara yang aneh. Namun, aku bergidik dengan tawarannya.

"Benar, tinggal dia melewati sisimu saja. Semua jadi beres. Kau dapat bertemu dengan Bibi Alpebymu." Kali ini si cahaya terang dengan suaranya yang lembut tetapi begitu menipu.

"Dan kalian memintaku melihat orangtuaku yang bodoh juga? Jangan harap. Aku yang akan pergi," kataku dengan sarkas. Aku sudah capek dengan semuanya, sedangkan mereka menyuruhku kembali melihat mereka. Aku benci itu.

"Dan Isla, kusarankan jangan pernah terjatuh pada permainan mereka berdua. Kau pernah terjatuh sekali pada permainan mereka dan jangan lagi. Selain itu, sampaikan salamku pada Bibi Alpeby dan ucapan terimakasihku padanya. Aku menyayanginya," kataku lagi dengan penuh emosional. Kini aku sudah tahu semuanya. Semua rahasia yang tak pernah terpikirkan olehku sebelumnya.

Aku pun kemudian melangkah pergi. Namun, berhenti karena ingat sesuatu. Penyesalanku.

"Kau harus kembali, sampaikan salamku pada bibi Alpeby Dan juga tolong sampaikan maafku pada Esme. Dia terlalu baik untukku. Terimakasih, Isla. Yang berlalu biarlah berlalu. Hiduplah dengan baik. Dan awas, kau tidak menyampaikannya."

Penyesalan yang cukup sederhana, tetapi ini berarti untukku. Kini, melalui Isla, aku dapat pergi dengan tenang.

Ya, pergi dengan tenang.

[End]

2112 kata

A/N
Perjalanan Daisy telah selesai. Apa yang membuatnya tertahan dan bertemu dengan Isla, sudah ia sampaikan. Kuharap, kalian bersimpati dengan karakter ini. Karakter yang tidak benar-benar jahat. Hanya seseorang yang menderita, tersakiti dan cukup malang takdirnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro