17

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku kehabisan pilihan, ya?

Headset terpasang di telinga, tali mic-nya terulur ke mulutku. Tak lupa tangan memegang toa.

"Mangto, kau dengar aku?"

Pemilik nama terkesiap. Kapten?! Tidak, jangan! Situasinya terlalu berbahaya untukmu! Aduh, aku bisa membaca ekspresi wajahmu dari sini lho.

Seulas senyuman seringai terbit di bawah tatapan yang bersinar. "Keluarkan sekarang, Billy."

Rencanaku simpel, kabur dari lokasi dengan membuat kafe penuh asap. Tenang saja. Asap itu asalnya dari kembang api yang disemprot oleh pipa kecil, tak berbahaya. Untuk menghalau penglihatan mereka saja. Yah, aku tak bisa bilang mereka takkan terbatuk-batuk sih.

Kedua, Paula menelepon polisi. Merujuk jarak kantor polisi dari Kafe Ceibar, membutuhkan 15 menit datang. Jadi, aku hanya punya waktu sebanyak itu sebelum mereka menculik sandera.

Ketiga...

Aku terdiam, berbisik, "Hei, Day, tadi aku menyuruhmu apa? Aku lupa nih."

"Hah? Bukannya kau memerintahku untuk menjaga jalan keluar supaya sandera bisa leluasa kabur?"

"Oh, benar. Itu dia. Tetap jaga-jaga di tempatmu, Day. Begitu asapnya sudah terkumpul, aku akan memberikan sinyal agar mereka berlari."

Kucopot pita di rambut, juga melepaskan rok menyebalkan. Aku tak memerlukan kalian lagi. Dalam hitungan ketiga, loncat ke—

"Peek a boo, Clandestine!"

Apa...

Kepala Menas nongol di belakangku, menyeringai lebar. "Lagi bermain petak umpet, ya?"

Mudah bagi tangan besar Menas mencengkram leherku lantas membantingku ke depan Mangto dan yang lain.

"KAPTEN!" Mangto berseru panik.

Hermit menatapku dan Mangto bergantian, tidak percaya. "Ke-kenapa kau memanggil Robon 'kapten', Mangto...? Jangan bilang-"

"Kau bohong kan..." Castle menahan napas, lebih tercekat dengan kebenaran.

Menas terpingkal. "Itu benar, wahai member Marmoris yang malang! Kapten kalian adalah seorang bocah SD ingusan tak berdaya! Menipu kalian selama berbulan-bulan! Selama ini kalian diperintah anak kecil!"

Sokeri menutup mulut saking kagetnya. Northa dan Tobi mengepalkan tangan. Ini... menyakitkan. Clandestine, pemimpin mereka, berbohong akan identitasnya?

"Well, well." Aku bangkit dari posisi tersungkur, terkekeh sinis. "Tak perlu sampai repot memancingku keluar, Menas. Toh aku sudah berfirasat hal ini akan terjadi suatu hari nanti, makanya aku sudah siap mental."

"Masih bisa tertawa kau, hei, Clandestine kecil."

"Itu benar." Asap kembang api sudah terkumpul banyak, mengelilingi area kafe. Satu dua sandera mulai terbatuk-batuk. "Aku Clandestine. Maaf aku menipu kalian semua, ya, walau aku tahu kata maaf saja tidak cukup."

"Kapten..."

Tapi, hal ini takkan merubah rencanaku. Tepat di atas kepalaku terdapat alarm peringatan. Aku sudah memeriksa Kafe Ceibar sebelum Hari-H, untunglah tempat ini memasang benda tersebut memudahkan misiku; menyelamatkan anggota member dan para sandera.

Tanganku mengambil koran yang sudah remuk di saku celana, membakarnya.

"Apa yang sedang kau lakukan, Nak?" Menas berkata sarkas.

"Entahlah," Aku meniup api yang membara di atas koran. "Tujuanku kemari bukan semata-mata bertemu langsung denganmu. Lagi pula, bukankah kita sudah pernah bertemu? Kau membuntutiku saat pulang sekolah. Ya ampun, sampai memata-matai bocah, segitu takutnya Woodzn dengan Clandestine, huh?"

"Haah, aku baru tahu anak kecil bisa ngelindur. Kau kekurangan susu, heh?"

"Tidak," Aku mendorong meja ke depan, memanjatinya. Orang-orang masih bertanya-tanya apa yang kulakukan. Tanganku terangkat ke alarm peringatan. "Aku tahu pemimpin Woodzn bukanlah kamu, Menas. Kamu hanyalah member elite yang berlagak karena kalah oleh kami. Bos sebenarnya ada di balik semua ini, kan? Nickname yang hampir sama denganku, Klendestin. Peniru murahan."

Begitu tercium panas api, alarm itu pun berbunyi nyaring. Air keluar memandikan semua oknum di dalam kafe.

"KYAAAA!!!" Para sandera (pengunjung toko) berlarian keluar dari kafe. Pakaian mereka basah kuyup.

"HENTIKAN MEREKA! JANGAN BIARKAN SATU PUN LEPAS!"

"Andai semudah itu," gumamku memberi kode. "Tumpahkan minyaknya, Paula."

Rekan-rekan Menas jatuh tergelincir berkat lantai yang mendadak licin. Mereka kacau, formasi hancur. Tapi itu masih belum cukup menghentikan mereka! Aku tahu itu! Lihat, salah satu di antara mereka sudah memegang pistol, berniat menembak.

"Castle! Nampan besi di meja 15! Lempar ke arah jarum jam sebelas!"

Refleks, tubuh Castle segera melakukan perintahku. DOR! Satu peluru mengenai target kosong.

L-lho? Badanku bergerak sendiri. Castle tertegun.

"Tobi! Northa! Sokeri! Formasi musuh sudah hancur, titik buta mereka terbuka. Keluarlah dari tawanan dan bantu para sandera melarikan diri."

"KAU BERCANDA, KAPTEN?! MEREKA MENODONG KAMI INI! UAAAA!!!"

Mataku liar mencari sesuatu, namun terhalang oleh Menas yang mencekikku tiba-tiba.

"CLANDESTINE! CLANDESTINE! AKU SANGAT MEMBENCIMU! KUHARAP KAU MATI SAJA."

"Jangan... meremehkanku!" Kakiku yang bebas digunakan untuk menendang dadanya. Aku terlepas dan turun ke lantai. "MANGTO! GUNAKAN GARPU DAN PIRING! HALAU PENDENGARAN DUA ORANG DI DEPAN TOBI, NORTHA DAN SOKERI!"

"Baik, Kapten!"

Dan aku kembali berurusan dengan Menas.

"Pikirmu bisa mengalahkanku? Sadarlah, Clandestine. Ini bukan dunia game dimana kau bisa hidup kembali walau mati berkali-kali."

"Justru itu perkataanku, Menas. Sadarlah, ini dunia nyata bukan dunia game. Membunuh di sini, adalah dosa!"

Aku mengangkat sebuah meja, kemudian melemparnya. Si Menas sialan itu entengnya membelah meja jadi dua dengan kepal tinju. Sungguh tenaga bukan main. Apalah aku yang masih tertatih-tatih membawa galon air.

Dari luar, terdengar suara sirine patroli.

Yes! Aku berhasil mengulur waktu—Eh? Kok aku tiba-tiba terbang...?

Menas menarik lengan kananku, mengangkatku setinggi badannya. "Hah, apa ini? Tubuhmu begitu ringan seperti bulu. Betapa mengecewakannya Clandestine yang agung serentan ini."

"Ya, maaf. BB-ku hanya 29 kilo."

Silenty judging area.

"APA! 29 KILO?! KAPTEN! ISI BADANMU KAPAS ATAU KERTAS?! ITU KERINGANAN, OI!"

"Aku bisa memeriksa kesehatanmu jika perlu, Ketua. Kau cacingan."

"No thanks, Dien. Beratku ini alami."

Ya ampun memangnya aku seringan apa sampai mereka heboh begitu? 29 bukankah wajar?

"Lagi pula aku bukan dewa. Jadi," tangan kiriku mengeluarkan sebuah serbuk dari kantong, menaburnya ke mata Menas.

"UAKHH! BRENGSEK KAU, BOCAH SIALAN!"

"Berhentilah menganggap Clandestine seperti Tuhan! Dia juga manusia! Bedakan dunia game dan real life, otak burung!"

"Ram!" Suara Paula terdengar, melempar sebuah bola.

Aku mengambil kuda-kuda. "Dan beritahu pada leader Woodzn yang asli, berhentilah mengganggu Marmoris. Bermainlah dengan adil. Rasakan ini, orang dewasa bodoh!"

Tendangan itu cukup keras karena membuat kakiku sakit. Arahnya tepat mengenai bagian sensitif seorang laki-laki. Duh, pasti ngilu sekali.

Akhirnya polisi mengambil alih, menangkap Menas bersama teman-temannya. Si Menas pingsan sembari memegang alat kemaluan yang rusak kurasa.

"Robon! Kau tidak apa-apa?" Hermit pertama yang menghampiriku, bertanya khawatir. "Astaga, tanganmu memerah begini. Sakit?"

Sakit lah, gobl*k! Pen nangis dari tadi tapi kutahan demi harga diri! Pertanyaan itu yang wajar dikit kek.

"Kapten..."

Aku menoleh. Tampak Dien, Tobi, Sokeri, Castle dan Northa menatapku. Aah, aku paham maksud tatapan kalian.

"Biar kuulangi, aku adalah Clandestine. Namaku Rorobon Ram, kelas 6 dari SD Trick." <0>

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro