16/21

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Lalu?! Apa yang terjadi setelahnya?! A-apa dia memukulmu? Apa kau melihat wajahnya?"

Ravin menggeleng. Karena dia ketakutan, dia tak berani menengadah. Jika saja gerombolan musuh baru tidak datang menyeret Apo, maka sudah dapat dipastikan Ravin akan dibantai.

Meski demikian, Apo dengan napas tersengal masih bisa mengalahkan mereka. Di saat itulah, di saat ada celah ketika Apo sibuk melawan musuh baru, Ravin pun lari dari sana.

Ravin akui kalau itu perbuatan pengecut. Tapi, waktu itu dia sangat lah lemah. Dibandingkan Apo yang berkelahi seperti monster, dia bukan apa-apa. Paling pingsan dalam sekali pukul.

Dinda menghela napas panjang. "Begitu toh ceritanya. Baiklah, kita langsung pergi saja."

"Ke mana?" Mereka fokus mendengar cerita Ravin sampai-sampai lupa tengah di mana.

"Tentu saja memeriksa DNA darah dan sidik jari pada lonceng kecil yang kita temukan ini. Jika Ravin bukan Apo, maka kita harus lanjut mencarinya. Bukankah itu tujuan kita?"

"Ya!" Mereka berseru semangat.

"Nah, nah, nah."

Deg! Mereka berlima tersentak kaget, sontak menoleh. Tanpa disadari, Klub Missing sudah dikelilingi murid-murid galak berseragam SMA Binar Emas alias satu sekolah dengan mereka.

Alvin mengepalkan tangan. Jadi ini ya yang membuat firasatnya jelek. Seharusnya dia percaya pada firasatnya agar segera pergi.

"Kalian... Siapa?" bingung Kimoon.

"Wah-wah, lihat gadis ini. Kau tidak tahu tentang Senior Genta? Kurang update nih."

"Aku malas kenal dengan orang yang tak kukenal," jawabnya agak tidak nyambung.

DEG! Dinda tertegun. Genta? Dia si Rank 9! Secepat mungkin Dinda mencengkeram lengan Belle dan Kimoon. "Kita harus pergi dari sini—"

"Kalian pikir kalian mau ke mana?" Naas! Ternyata di belakang juga ada pasukan Genta. Mereka berlima sudah dikepung. Tak bisa lari.

"Apa mau kalian, huh?" Dinda berseru galak

"Mau kami? Tentu saja benda-benda yang ada di tangan kalian. Serahkan itu pada kami maka tidak ada yang terluka. Paham, kan?"

Sesuai dugaan Dinda. Mengingat Himpunan tempat para preman sekolah berkumpul mencari Apo, mereka akan melakukan segala hal jika ada seseorang yang tahu tentang Apo. Alvin saksinya. Dia melihat kakak kelas yang merupakan anggota Himpunan menghajar anak kelas satu baru demu mengonfirmasi dia Apo atau bukan. Bahkan Alvin sampai dihajar.

Oh, ayolah. Mereka sudah susah payah mendapatkan jejak Apocalypse. Hilir mudik ke sana-sini dan akhirnya terbayarkan. Mana mau Dinda menyerahkan cuma-cuma ke mereka.

"Aku menolak. Kami berjuang menemukannya."

"Yah... Tapi 'gimana ya?" Sosok yang sepertinya partner Genta itu melangkah ke depan Dinda. Ekspresinya berubah. "Kami tak peduli kalian menolak memberikannya karena kami diperintahkan mengambil sesuatu yang bisa menuntun kami ke tempat Apocalypse."

Plak! Tamparan yang kuat hingga Dinda terbanting ke samping, membentur kayu-kayu.

"KAK DINDA—grep!"

"Wah, lihat si curut ini." Salah seorang dari teman mereka memegang kuduk Alvin, menyeringai. "Suaranya kayak cewek. Kau banci, ya? Pakai rok sana, cecunguk sialan!"

Sebelum dia melempar Alvin ke dinding, Ravin lebih dulu mencerkau tangan orang itu, menatapnya datar. "Lepaskan temanku."

"Alalah~ Dilihat dari tampangmu, apa kau Ravin yang digosipkan Apocalypse lagi nyamar itu?" katanya mendorong Alvin ke arah Dinda.

Alvin meringis, menyentuh kuduknya yang memerah. Genggamannya kuat banget.

"Kalau iya, mau apa?"

Dia bersiul pada sosok di belakang barisan. "Hei, bos. Benar dia orangnya. Pelaku yang mempermalukan sobatmu Dhirga. Tapi entah kenapa, aku merasa dia bukan Apocalypse."

Genta. Nama orang yang disebut-sebut dari tadi, dia melangkah ke depan Ravin yang berkeringat. A-apakah dia sungguhan anak remaja? Apa-apaan kedua otot itu? Mana dia lebih tinggi dari Ravin. Genta seperti raksasa.

"Jadi kau orangnya?"

Ravin diam saja. Tak disangka peringkat 9 dari Himpunan turun tangan ke lapangan. Hawanya sangat berat! Tidak terlihat seperti manusia!

Tiada basa-basi, lutut Genta langsung menyerang perut Ravin. Daya hantamnya sangat kuat sampai Ravin muntah darah.

"RAVIN! BERHENTI, GEN! APA-APAAN KAU INI?!"

"Serahkan benda itu," kata partner Genta tersenyum miring pada Belle dan Kimoon. "Aku tahu di antara kalian pandai karate. Tapi, untuk setingkat Genta, kau butuh sesuatu yang melebihi karate. Fyi, dia itu memandang kesetaraan gender. Jadi bijaklah berpikir."

"Dasar brengsek!" Kimoon menggeram.

"Hei, Genta~ Mereka tak mau mendengarku~"

"Begitu?" Entah apalagi yang hendak dia lakukan, Genta mencengkeram lengan kanan Ravin lantas mengangkatnya membuat Ravin mengambang kesakitan. "Serahkan atau kupatahkan tangan si penipu ini," katanya.

"H-hentikan! Kau pikir apa yang kau lakukan?!"

"Aku tidak bicara dua kali."

"Jangan berikan, Kak Belle..." lirih Ravin. "Kita sudah sejauh ini demi mendapat petunjuk itu..."

Belle mengepalkan tangan. Berbinar emosi.

"Baiklah. Kalian yang memintanya."

Krak! Genta benar-benar melakukannya. Dia benar-benar mematahkan tangan kanan Ravin.

"ARRGGHH!!!" Ravin mengejang sakit.

"HENTIKAN! TOLONG HENTIKAN!"

"Berikan atau kupatahkan tangan satunya."

"OKE! OKE! BAIKLAH! AKU PAHAM! AMBIL INI!" Belle melempar lonceng dan tisu jejak darah di kantong plastik ke kaki Genta. "Sekarang turunkan dia! Tepati kata-katamu, Genta!"

Seperti janjinya, Genta pun menjatuhkan Ravin begitu saja lalu mengajak kawan-kawannya mundur dari sana. Mereka sudah mendapatkan apa yang mereka mau. Segera ke Himpunan.

"R-Ravin, kau baik-baik saja?"

"Kenapa kakak memberikannya..."

Belle diam. Kimoon mulai menangis. Sementara Dinda mendesah kecewa. Ravin tahu persis jawabannya. Meski begitu, dia tetap bertanya.

"Kenapa kakak memberikannya? Kita sudah berjuang mendapatkan jejak Apo! Kalau begini ceritanya, kapan aku bisa menemukan Apo?!"

"RAVIN!" bentak Dinda sedikit tidak terima cowok itu menyalahkan Belle. "Aku tahu kau mengerti maksud tindakan Belle. Kau hanya melampiaskan ketidakberdayaanmu. Kenapa kau begitu terobsesi pada Apo sampai-sampai tidak peduli pada tanganmu yang patah?!"

"KARENA DIA MENGANCAMKU!"

Mereka semua terdiam.

"Dia tahu rumahku! Dia menulis surat bahwa dia akan mencelakai adikku jika aku buka suara mengenai dirinya. Aku takut. Aku takut padanya. Aku... terus bermimpi buruk jika dia betulan mengincar adikku. Makanya aku berolahraga! Aku belajar bela diri dan tumbuh kuat untuk melawannya agar aku lepas dari momok yang menghantuiku setiap malam!"

"Ravin..."

-







Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro