chapter 20

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Terima kasih sudah menyelamatkan kakakku."

Aku tersenyum, memamerkan lesung pipi. "Bukan masalah. Aku hanya mengurus sisanya." 

Entah kenapa Eliza bersemu merah.

Dalam hati kusambung begini: sisa apanya, Erol tak menangani apa pun. Aku hanya menambal usahanya. Aku mengusap wajah.

Berikutnya aku membebaskan Erol juga Kak Rainna. Kakak cantik itu bergegas ke tempat Kak Darvan, memeriksa tunangannya baik-baik saja atau mendapat cedera luka. Tak lupa mengkonfirmasi pada Anona bahwa aku lah yang diutus Bos, bukan Erol (dia bukan siapa-siapa, cuman kebetulan jago gelut). Tentu saja kulakukan secara diam-diam.

Jika aku tidak mengkonfirmasi ulang, maka Anona bisa melapor pada Bos kalau-kalau kualitasku buruk. Coba bayangkan apa yang akan terjadi padaku, aku dipecat! Saat ini finansialku stabil berkat pekerjaanku sebagai seorang pengawal. Aku tak mau bangkrut.

Gerakan tanganku terhenti, menoleh cepat. Yume sudah melepaskan ikatannya, hendak menuju Erol di seberang lobi. "Menyingkir dari sana, Yume!" teriakku refleks berlari ke depannya.

Dor! Untunglah aku berhasil mendorong Yume.

Kak Darvan memeluk Kak Rainna erat demi melihat satu sosok besar bergabung ke lobi—dia lah yang menembak barusan. Aku mengepalkan tangan. Sudah kuduga, mereka punya kartu AS. Tidak mungkin mereka tidak berjaga-jaga.

"Hahaha, refleks yang mengagumkan, Nak."

Aku ingat betul perintah Bos. Aku boleh memakai senjata jika situasinya tak memungkinkan. Tapi, identitasku bakal langsung ketahuan. Mana ada remaja SMP bermain-main dengan pistol asli.

"Kan sudah kubilang, jangan suruh aku menjaga di belakang. Kalian tidak mendengarkan. Kalian membuat Grup Milldeer malu dikalahkan oleh remaja." Dia berdiri tepat di depanku. Bahkan bayangannya sudah menutupi segala tubuhku.

Aku mendongak saking tinggi dan besarnya postur tubuh pria ini. Rambut gondrong, berewok nan tebal, lalu tindik di cuping. Khas orang barbar. Aku meneguk saliva pahit. Aku dalam situasi darurat.

"Hello, Kid. Goodbye, Kid."

"Oh man."

Bugh! Aku terpelanting ke belakang, memecahkan pintu lobi hotel. Pecahannya berhamburan ke tepi-tepi atrium, nyaris mengenai teman-teman sekelas.

"TOBI!!!!" Sanju berseru panjang. Yang lain tak jauh kalah tercekat.

"Nah, sekarang kembali ke semula." Orang itu menyeringai menatap Rianna.

Sialan... Tubuhku sakit sekali.

Pukulannya sangat mencerminkan ototnya. Aku meringis. Rasanya rahangku mau lepas. Gila! Apa-apaan pukulan pria itu sumpah?! Perutku sakit parah. Mana serpihan kaca menggores wajah dan lenganku lagi. Aku mendapat luka kritikal yang besar, baik internal maupun eksternal. Kepalaku pusing hebat.

"Aah, mafia brengsek. Itulah mengapa aku tidak mau olahraga berlebihan. Beratku nambah dan aku bisa ribet dalam poin kelincahan," gumamku tepar di pasir. Kemilau cahaya matahari mencalang lewat dedaunan pohon kelapa. Sial! Kenapa cuacanya bagus ketika aku terjebak situasi pelik?! Menyebalkan.

Aku tertatih berdiri, terus menekan perut. Tanpa perlu kuperiksa, warnanya pasti sudah berubah jadi biru. Aku terkena tinju telak.

"Wah-wah!" Orang Cuping Bertindik itu terkekeh, tepuk tangan. "Kau membuatku kagum, Nak. Bagaimana bisa kamu bertahan dari pukulan sekuat tenagaku? Luar biasa. Sepertinya kamu bukan remaja SMP biasa. Aku jadi ingin bermain sedikit lebih lama denganmu."

"Kau mematahkan beberapa sendi tulangku, dan sekarang kau tertawa? Yah, namanya juga mafia. Tak peduli lawannya bocah, dia menganut kesetaraan gender." Aku melangkah masuk ke lobi, meremas jemari.

"Akan kubuat kau tak bisa berjalan lagi."

"Sayangnya aku tak bisa membiarkanmu semena-mena," ucapku memasang kuda-kuda unik. "Pukulanmu sakit, dan aku tidak mau dibogem mentah-mentah lagi."

"Posisimu itu... Apa kau seorang petinju, Nak?"

Aku mengangkat bahu. "Aku hanyalah remaja ingusan seperti kata kalian. Backstreet adalah gayaku." []






Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro