Bab 17

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

------------------------<<>>--------------------------

Gita terbangun dengan peluh membasahi punggungnya. Ia melihat sekeliling dan menyadari itu hanyalah mimpi. Sebuah kenangan, tepatnya. Dilihatnya ranjang yang terasa luas, kemudian ia melirik sofa, tempat dimana Sakti – suaminya sekarang – berbaring tidur. Setelah mengatur napas, Gita kembali merebahkan tubuhnya di atas ranjang.

Sementara itu Sakti yang memejamkan mata mulai membuka matanya. Ia melirik Gita yang dilihat dari ritme napasnya sudah kembali terlelap. Bohong rasanya jika ia mengatakan belum sanggup untuk berhubungan badan. Sebagai laki-laki dewasa yang normal, Sakti tertarik secara seksual dengan Gita, terutama setelah ia selesai melantangkan ijab kabul. Baginya Gita terlihat lebih menarik dibanding sebelum akad nikah.

-------------------------<<>>---------------------------

Gita terlihat bergumam mengikuti lirik lagu yang sedang diputar di dalam mobil. Sementara Sakti yang sedang menjadi sopir hanya terdiam menikmati. Kendaraan roda empat itu akhirnya memasuki sebuah gedung bertingkat yang tampak tidak terlalu ramai.

"Kita bakalan tinggal di sini?" tanya Gita memastikan. Ia sudah melepaskan sabuk pengaman tapi masih tetap duduk di kursi penumpang.

Sakti yang baru mematikan mesin mobil menengok dan mengangguk sambil tersenyum. "Yup. Itu adalah pilihan terbaik yang kita punya. Ayo turun."

Gita mengikuti langkah Sakti. Ia mengeluarkan kopernya dari bagasi yang langsung diambil alih oleh Sakti.

"Kamu tinggal ikuti saya aja."

Gita mengangkat kedua bahunya. Matanya memancarkan kata 'terserah'.

Sakti berjalan di depan diikuti oleh Gita. Ekor mata laki-laki itu menangkap gerakan istrinya memijit pelipis.

"Kamu lelah?" tanya Sakti.

Gita mengembuskan napas pelan. "Nggak kok. Cuma—"

Perempuan itu terdiam. Ia membuang muka. Dari pantulan dinding lift, Sakti dapat melihat istrinya menutup mata. Entah apa yang ada dalam pikirannya, Sakti tidak berbicara apapun.

Di lantai lima, lift berhenti. Sakti segera melangkah menuju unitnya. Di depan pintu ia menunggu Gita yang berjalan pelan di belakangnya. Saking pelannya perempuan itu bahkan menabrak Sakti yang berdiri diam.

"Ini unit saya. Dan akan jadi unit kita."

Pintu apartemen pun dibuka lebar. Gita melangkah masuk mendahului Sakti setelah lelaki itu mengangguk. Pandangannya jatuh pertama kali ke arah dapur yang sangat luar biasa. Terutama karena memang ruangan itulah yang pertama kali terlihat begitu orang masuk.

Sekilas pandang Gita dapat menilai bahwa dapur sudah mengalami beberapa perubahan. Di sisi kirinya terdapat dua pintu bersebelahan.

"Pintu-pintu ini adalah pintu kamar. Di sini ada tiga kamar tidur. Ini kamarku." Sakti menunjuk pintu terdekat dari arah pintu masuk. "Sementara, kamu bisa pakai kamar yang di ujung. Lebih dekat ke kamar mandi."

Gita termangu mendengar kalimat suaminya. "Maksud Mas Sakti, kita nggak tidur satu kamar?"

Sakti memandang Gita. "Dan membuatmu mengalami mimpi buruk sepanjang malam?"

Gita memgerucutkan bibir dan bergumam pelan. Ia menyadari sindiran dalam kalimat Sakti itu.

"Ini kopermu. Kamu yakin pakaianmu hanya itu? Tampaknya sedikit sekali."

Gita mengambil alih kopernya dan beranjak menuju pintu yang ditunjuk Sakti sebagai kamar tidurnya. "Ini Cuma sebagian kecil. Masih banyak bajuku di rumah Bapak. Lagipula jarak dari apartemen ini ke rumah Bapak nggak terlalu jauh. Nanti aku ambil sedikit- sedikit."

"Tinggalin aja di sana. Kamu bisa beli baru untuk disimpan di sini."

Gita yang mau membuka pintu mematung sejenak. Ia menoleh hendak protes tapi rupanya Sakti sudah lebih dulu masuk ke kamarnya. Perempuan itu berdecak kecil dan memutuskan untuk segera beristirahat.

~~~

Suara ketukan pintu membangunkan Gita dari tidurnya. Ia bangun dengan segera dan melihat arlojinya. Ternyata ia sudah tertidur selama tiga jam. Hal terakhir yang diingatnya adalah ia menaruh koper di samping ranjang dan merebahkan tubuhnya. Awalnya ia hanya ingin sekedar berbaring tapi rupanya ia terlelap cukup lama.

Ketukan dipintu membuat Gita menyahut, "Sebentar."

Perempuan itu gegas turun dari ranjang dan membuka pintu. Di depan pintu Sakti terlihat lebih segar. Ia hanya mengenakan henley tshirt berwarna abu-abu pudar dan celana drawsting.

"Tampaknya kamu benar-benar kelelahan."

"Sorry," kata Gita sambil tersenyum.

"Saya tunggu di meja makan."

Gita segera menutup pintu begitu menganggukkan kepala. Ia menyandarkan tubuhnya di dinding. Barulah ia menyadari satu hal.

Hei, kamar mandi kan di luar. Berarti gue harus gerak ninja dong kalo mau ke kamr mandi.

Perempuan itu menyesal karena sempat tertidur lama. Akhirnya ia memutuskan untuk bersalin baju dan hanya sekedar ke kamar mandi untuk cuci muka.

Di meja makan Sakti tampak menyusun peralatan makan dengan rapi. Ia menyusunnya berdasarkan ukuran dari peraltan makan itu sendiri. Gita yang baru saja keluar dari kamar mandi memperhatikan bagaimana Sakti menyusun ulang peralatan makan itu.

"Mas Sakti masak?" tanya Gita.

Sakti meletakkan mangkuk di atas alas rotan. "Nggak ini delivery food kok. Belum sempat belanja untuk isi kulkas."

Keduanya kini duduk saling berhadapan. Gita melihat menu yang tersaji di atas meja. Makanan yang dipesan Sakti cukup banyak. Gita hanya geleng-geleng kepala merasa mibazir. Setelah menyendokkan nasi ke piringnya, perempuan itu menadahkan tangan dan berujar, "Priring Mas Sakti mana?"

Sakti tertegun. "Piring saya? Buat apa?"

"Eh, Mas Sakti mau makan kan? Sini biar aku ambilkan nasi dan lauknya."

Mendengar penjelasan Gita, barulah laki-laki itu paham. Ia menyerahkan piringnya ke tangan Gita. Menu pilihan Sakti hanya cumi asam manis dan cah brokoli.

"Kamu sendiri belum ambil lauk?"

Gita tersenyum. "Ini juga mau ambil," katanya sambil mengambil seekor gurame bakar saus padang ke piringnya.

Keduanya kemudian makan dalam diam. Hanya sesekali tedengar dentingan sendok yang beradu dengan piring. Dan itu berasal dari piring Sakti karena Gita lebih memilih makan menggunakan tangan.

"Selain kerja di Geulis Butik, kamu kerja di mana lagi?" tanya Sakti.

Gita menelan makanannya lalu berujar, "Cuma jadi MC aja, Mas."

"Udah lama kerja jadi MC?"

"Ini bukan kerja. Cuma ngisi waktu luang. Kira-kira udah sekitar tujuh tahun sih aku ambil kerjaan MC ini." Gita menatap Sakti ragu-ragu. "Mas Sakti nggak akan ngelarang aku kerja, kan?"

Sendok yang baru saja hendak disuapkan ke mulut Sakti berhenti di udara. Laki-laki itu kemblai meletakkan sendok di piring. Ia menatap istrinya lembut.

"Kamu boleh tetap kerja kok," kata Sakti, "Saya nggak akan mengekang aktifitas kamu. Kamu boleh tetap kerja di Geulis Boutiqe. Kamu juga boleh tetap ambil job MC. Bukankah kita teman? Sebagai teman sudah seharusnya saling mensupport bukan."

Gita tersenyum sumringah." Makasih banyak, Mas."

Selesai makan dan membereskan meja. Sakti memberi tahu bahwa kamar yang ada diantara kamar mereka adalah studio khususnya. Studio untuk mengedit semua konten memasaknya.

Keduanya menghabiskan malam itu sambil bercerita. Malam pertama yang benar-benar mengakrabkan mereka berdua. Sakti bercerita tentang kegiatan dan jadwalnya sebagai seorang dosen di salah satu perguruan tinggi swasta. Gita yang membagi semua pengalamannya tentang memandu acara. Keduanya bercengkerama seakan tiada hari untuk esok.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro