Bab 28

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng



------------------------<<>>--------------------------

Gita berjanji dalam hatinya, ia akan menceritakan semua tentang dirinya pada Sakti sepulang dari Bandung. Apapun yang akan disampaikan oleh dokter nantinya.

"Nyonya Anggita Rahayu." Seorang perawat memanggil nama Gita membuat permepuan itu mendongak lalu menatap suaminya.

"Iya, Sus." Sakti menjawab panggilan itu. Ia berdiri dan mengulurkan tangannya ke hadapan Gita.

-------------------------<<>>---------------------------

"Apa yang bisa saya bantu?"

Gita dan Sakti saling tatap, membuat dokter laki-laki dihadapannya terkekeh pelan.

"Pertama kalinya berobat?"

Gita menatap Sakti yang mengangguk kepadanya.

"Nggak, dok," jawab Gita, "saya sudah periksa sebelumnya tapi bukan dengan dokter." Dalam hatinya ia bersyukur karena dokternya bukan berjenis kelamin perempuan.

Dokter tersenyum ramah menanti kelanjutan kalimat dari pasangan yang baru pertama kali ia temui.

"Jadi, Anda berdua mengalami masalah dengan penetrasi vagina?" tanya dokter tanpa malu setelah menunggu beberapa saat. Kedua orang ini sama sekali tidak ada yang berbicara setelah kalimat pertama sang istri.

Sakti berdehem mengurangi kegugupannya kala mendengar pertanyaan dokter yang terkesan vulgar. "Istri saya bilang, dia seorang vaginismus. Saya sudah mencari tahu ke beberapa artikel tapi belum ada yang membuat saya benar-benar mampu memahami tentang vaginismus."

"Mbak Gita tahu kalau Mbak ini vaginismus?" tanya dokter setelah mendengar uraian Sakti.

Gita mengangguk membenarkan. "Tahu, dok."

"Sudah memberi tahu suami apa itu vaginismus?"

Gita menggeleng lalu menundukkan kepala. Entah kenapa ia merasa tersudutkan dengan pertanyaan itu. Dokter yang melihat gelagat itu pun tak jadi melanjutkan pertanyaannya. Laki-laki bersneli itu kini menatap sang suami.

"Seperti yang sudah pernah jelaskan sebelumnya kepada Mas Sakti via DM instagram. Vaginismus adalah kekakuan otot dinding vagina yang tidak bisa dikendalikan oleh penderitanya." Dokter melirik Gita sekejap."Sehingga menyebabkan kesulitan, kendala, maupun kegagalan penetrasi."

"Maksudnya penetrasi dalam hubungan badan, dok?"

Dokter terkekeh."Segala sesuatu yang masuk ke vagina adalah penetrasi Mas."

Jawaban yang sangat tidak diduga oleh Sakti sehingga ia terperangah mendengarnya.

"Pemakaian tampon atau menstrual cup yang setiap bulan dilakukan oleh para perempuan, itu termasuk penetrasi. Pemeriksaan medis baik yang menggunakan jari atau alat bantu seperti spekulum atau USG trasvagina, itu juga termasuk penetrasi. Apalagi Cuma alat reproduksi laki-laki, Mas." Dokter menjelaskan dengna sangat gamblang.

Gita yang turut mendengarkan mendesah lega. Ternyata selama ini sudah salah menduga. Vaginismus ini tidak hanya tentang masalah hubungan badan antara suami istri.

"Kira-kira apa yang menyebabkan vaginismus, dok?" Gita bertanya dengan suara pelan. Ia memberanikan diri untuk bertanya.

Dokter tersenyum. "Penyebab vaginismus adalah tidak ada. Hingga saat ini belum ada fakta ilmiah yang menunjukan penyebab vaginismus."

"Bukan karena stress dan pikiran, dok?"

Kali ini dokter tidak lagi terkekeh. Ia tertawa. "Ini adalah asumsi yang cukup menyesatkan. Mbak mau bilang, kalau selama ini selalu dibilang kurang rileks dan kurang foreplay?"

Mau tidak mau Gita mengangguk. Itulah yang ia dengar selama ini.

"Sebelumnya saya akan jelaskan tentang ini." Dokter menunjukkan sebuah gambar di atas meja. Itu adalah anatomi tubuh bagian selangkangan perempuan. Sakti yang awalnya penasaran merasa jengah ketika menyadari gambar itu. Ia yang semula mendekat ke arah meja mulai mundur.

"Nggak usah malu, Mas. Apa yang akan saya jelaskan sama seklai jauh dari hal yang berbau porno atau apapun. Kita akan lihat dari sudut pandang medis."

Mendengar penjelasan dokter akhirnya Sakti kembali mendekatkan tubuhnya ke arah meja.

"Pada tubuh wanita terdapat tiga lubang. Yaitu, uretra, vagina, dan anus." Dokter menunjukkan masing-masing lubang dengan jarinya. "Hanya uretra dan anus saja yang kerjanya dipengaruhi oleh pikiran. Ada sistem reglasi berkemih pada uretra yang dipengaruhi pikiran. Ada sistem regulasi defekasi pada anus yang dipengaruhi oleh pikiran. Itulah yang membuat kita bisa menahan hasrat buang air. Kapan harus dikeluarkan dan kapan harus ditahan.

"Namun, tidak ada regulasi pikiran yang berperan dalam otot-otot vagina karena otot vagina merupakan otot yang kerjanya tidak dipengaruhi oleh pikiran. Pada vagina yang normal, penetrasi bentuk apapun dapat terjadi kapan saja pada situasi apapun, walaupun perempuan tidak menginginkannya."

Dokter menatap Gita yang kini rona aura wajahnya tak lagi sendu. Ia tampak merenungi semua penjelasan dari dokter.

"Jangan pernah mengaitkan masalah vaginismus ini dengan kurang rileks. Itu hanya mitos. Pemeriksaan medis yang menggunakan alat seperti USG trasnvaginal atau spekulum, tidak mengharuskan foreplay bagi pasiennya. Jadi, vaginismus tidak bisa dikaitkan dengan masalah foreplay atau kurang rileks."

Diam-diam Sakti menggenggam erat tangan Gita.

"Jadi sebetulnya saya tidak mengalami masalah kesehatan jiwa kan, dok?"

Dokter tampak mengembuskan napas lalu bertanya, "Kapan Mbak Gita tahu Mbak ini vaginismus?"

"Sekitar tujuh atau delapan tahun yang lalu." Gita menjawab dengan cepat.

"Sudah pernah melakukan terapi ?"

Kini perempuan itu terdiam tak menjawab. Dokter juga tampak mafhum dengan diamnya pasien di hadapannya ini.

"Vaginismus bisa disembuhkan. Saya jamin itu."

Gita menatap dokter denga raut wajah tak percaya. "Benarkah, dok?"

Dokter mengangguk. "Proses terapi untuk menyembuhkan vaginismus adalah dengan dilatasi. Vaginismus tidak bisa sembuh sendiri tanpa adanya upaya dilatasi sebelumnya."

"Dilatasi itu apa, dok?" tanya Sakti yang juga sama penasarannya.

"Dilatasi adalah sebuah proses penetrasi buatan, baik dengan menggunakan jari sendiri yang kita sebut dilatasi mandiri maupun dengan alat bantu dilator yang kita sebut dilatasi berbantu."

Gita memandang Sakti yang tampak merenungi penjelasan dari dokter.

"Apakah dijamin vaginismus akan sembuh setelah melakukan terapi dilatasi ini?"

Dokter tersenyum menenangkan. "Hampir kebanyakan pasien vaginismus yang sduah melakukan terapi dilatasi tidak akan mengalami kegagalan penetrasi. Tapi perlu diingat, terapi dilatasi tetap butuh proses dan waktu. Belum lagi kita juga perlu tahu tingkat derajat keparahan vaginismus."

"Berarti penderita vaginismus ini banyak, dok?"

Dokter mendesah. "Dari data yang ada menunjukkan, penderita vaginismus berkisar antara7-14% dari populasi perempuan."

Pasangan Sakti dan Gita cukup terperangah dengan fakta tersebut.

"Cukup banyak ya, dok?"

"Mbak Gita nggak sendirian. Nggak perlu berkecil hati."

Sakti terdiam lalu menatap Gita yang tampak merenung. Ia tersenyum kepada istrinya lalu berujar, "See, kamu nggak sendirian dan ternyata kamu bisa sembuh, kan? Jadi nggak perlu merasa khawatir lagi. Ini bukan penyakit yang memalukan, kok."

Dokter tersenyum mendengar penuturan Sakti yang tampak membesarkan hati Gita. Ia merasa takjub dengan pasangan ini karena tak jarang beberapa pasiennya malah tak didukung oleh suami mereka.

"Betul yang dibilang sama suaminya, Mbak. Nggak perlu merasa malu. Dengan Mbak terbuka tentang diri sendir kepada suami, pasti akan ada jalan keluar. Lagipula vaginismus itu penyakit yang terdaftar di WHO. Faktanya jelas, kekakuan otot yang tidak bisa dikendalikan."



Author Note:

Oke,,, part ini pasti membosankan banget ya.

ini adalah part dialog dengan dokter yang benar-benar asli dokter ya.

semoga dengan adanya part ini, kita semua jadi tercerahkan ya.

seperti yang dibilang, vaginismus itu real. bukan penyakit yang diada-adakan.

yang dibutuhkan untuk para pejuang vaginismus adalah pengobatan bukan rasa kasihan dan penghakiman.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro