📘 2. Dari Dalam Lemari

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hawa di ruangan kelas begitu dingin. Serasa menusuk tulang. Pasti karena AC yang diset 16 derajat selsius. Pasti!

Bahkan setelan kemeja putih ditambah jaket masih saja terasa tembus. Beruntungnya ketika sesi perkuliahan sudah tuntas semua, sore ini tidak hujan. Bisa bertambah parah bagiku kalau hujan, karena aku belum mengangkat jemuran di indekos.

"Bang, pecel tempe bacem satu," pintaku. Kaki lima dengan terpal biru ini sudah seminggu menjadi langganan. Ya, karena letaknya yang sejalur dari kampus ke indekosku. Tak lupa pula pada harganya.

"Dibungkus apa makan sini?"

"Eee, dibungkus."

Kurogoh smartphone di dalam saku jaket. Hmm, masih 03.07 p.m. Cukuplah untuk berleha-leha sejenak di kamar sebelum acara nanti malam.

"Ini, Dek." Abang kaki lima menyodorkan nasi bungkus dalam plastik. Kuraih saku kemeja. Seingatku ada lima ribu rupiah di sana. Ah ya benar.

Kuberikan uang itu dan menerima bungkus plastiknya. "Makasih, Bang."

"Yaaa."

Jangan khawatir, aku sudah hapal harganya. Sehingga langsung cabut dari lokasi tak memberikan kesan bayar kurang langsung kabur atau bayar lebih niat sedekah. Yah, andai bisa begitu.

Tak lama berjalan dari kaki lima itu sampailah aku di tempat yang ada kasurnya. Hanya itu dapat kupikirkan sekarang usai seharian berada di kampus. Sebenarnya tidak melelahkan hanya tiga mata kuliah sehari, tetapi terlalu lama berada di tempat bising dan banyak orang membuatku jenuh.

Kunci kuputar dan pintu kubuka, memperlihatkan kamar yang telah ditinggal sejak tadi pagi. Tentu saja milikku, memangnya kamar siapa yang kubuka ini?

Jangan kira, walau aku laki-laki, tetapi kamarku tetap rapi. Lihat, selimut saja masih terlipat bentuk persegi.

AHHHH ITU DIA, KASUUUR! Jika boleh batinku menjerit. Kedua sepatu fantofel sudah terlepas di depan kamar. Eh, aku lupa menutup pintu, ah biarlah, toh lingkup indekos tertutup dari orang luar. Juga ada cctv yang meliput bagian depan 24/7. Jadinya, sekejap saja pikiranku menjadi tenang ketika badan, yang masih terbalut jaket, bersentuhan dengan pulau kapuk.

Drrrrtttt drrrrrtttt

Enghhh, apa si itu...

Teretet teretet teretet

Duh, jaketku bergetar. Oh bukan, panggil WhatSapa dari hape. Siapa si ah, baru aja mau tidur.

Oh, kontak yang sudah aku save rupanya. Alfi toh. Kutekan gambar ponsel hijau di layar lalu kembali terpejam.

"Halo? Assalamualaikum," suara Alfi dari seberang sana.

"Engggh, ya, waalaikumsalam warahmatullah. Naon Fi?"

"Awakmu sido melok ngkok bengi, Fas?" (Kamu jadi ikut nanti malam, Fas?)

"Iya."

"Aku bonceng awakmu yo."

"Iya."

"Pedhaku trae sek dienggo masku."
(Sepeda motorku soalnya masih dipakai kakakku)

"Humn, iya."

"Yawes, tak nteni nang ngarep kosmu bar Isya." (Yaudah, kutunggu di depan kosmu habis Isya)

"Oke."

"Oke wes, suwon." (Oke dah, makasih)

"Iya."

Alfi lalu menutup panggilan. Bukannya aku cuek atau apa, aku cuman sudah berada di posisi enak. Setelah itu kututup hape dan wajahku ke kasur.

Dari indekosku ke kampus berjalan saja cukup. Tetapi untuk acara nanti malam, yakni ngopi, para partisipan setuju memilih tempat yang cukup jauh dari kosku. Ya, mau gak mau harus memakai sepeda motor yang diizinkan orang tuaku untuk di kirim ke sini.

Mereka memilih warung kopi yang luas karena akan ada banyak anak di sana. Lebih tepatnya satu program studiku, Informatika.

Sebenarnya aku malas untuk ikut. Lebih enak berleha-leha. Tapi rasanya tidak enak juga kalau tidak mencoba bersosialiasi dengan yang akan menjadi seperjuangan dalam menempuh cobaan dosen. Maksudku, apa ruginya? Yang ada malah banyak manfaatnya.

Misalnya? Ummm, berbagi jawaban tugas pastinya, hehe. Sangat beneficial. Juga untuk mengetahui tipe-tipe seperti apa orang-orang yang menyertaiku selama sesemester, itu kalau tidak ada yang berhenti atau resign.

Ah, speaker masjid sudah membacakan mualliq, pertanda adzan sebentar lagi. Kubangunkan diriku dari posisi nyaman. Bisa-bisa ketiduran betulan nanti. Sekarang waktunya mandi.

Kebiasaanku sebelum mandi adalah membawa baju bersih bersama dengan handuk ke kamar mandi. Handukku kalau tidak salah ada di jemuran, berarti aku tinggal mengambil baju di lemar–

–ASTAGA APA INI!!!

Jantungku mau lepas rasanya. Badanku gemetar semua. Untungnya aku bukan tipikal orang yang gampang berteriak tetapi di dalam hati aku seperti orang yang terjepit pintu. AAAKKKKHH APA ITU YA GUSTIIII!!!

Terkejut sampai terjungkal ke belakang, aku pun masih mengesot mundur menjauhi objek aneh yang jatuh dari dalam lemariku. Padahal kecoa pun tidak berani masuk ke sana saking bersihnya.

Hah?! Benda itu berdiri?! Oh bukan, benda itu seorang bocah rupanya, tubuhnya banyak tertutupi tanaman panjang dan basah berwarna kegelapan. Tunggu hei, anak siapa ini?!

Kupikir aku bisa lega setelah mengetahui bentuk atau sosok asli dari benda yang ternyata adalah makhluk itu. Tapi bocah itu rupanya baru saja menyadari kehadiranku. Seketika ia melotot dan mengadahkan tangannya ke arahku. Bentar, bentar, kenapa ada cahaya ungu dan untuk apa tangannya it–

"Arkkhh!!!"

Tu-tu ... TUBUHKU MENEMPEL DI LANGIT-LANGIT KAMAR!!! APA INI?!?!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro