ETP | 10

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Berbeda pendapat itu wajar, asal kitanya mampu menakar, dan tak melupakan etika dalam berujar."

⏭️⏸️⏮️

PERKATAAN Hanin terngiang-ngiang dan sulit untuk dienyahkan, saya mendadak dilanda rasa penasaran. Kira-kira siapa perempuan yang Hanin maksud?

Pantas saja lelaki itu lebih nyaman HTS-an dengan saya. Orang dia sudah memiliki tambatan hati. Sungguh, terlalu percaya diri sekali saya ini.

Berharap dia memiliki hati, tapi nyatanya tidak sama sekali.

"Kamu lagi ngelamunin apa sih, Tha?"

Saya pun menoleh sekilas. "Ada, lha," jawab saya sekenanya.

"Ada yang ganggu pikiran kamu, apa?"

"Bukan sesuatu yang penting."

"Kalau nggak penting kenapa sampai dipikirin," sahutnya.

"Sudah ah, lebih baik lanjut recording. Harus berapa menit, intonasinya seperti apa?" kata saya mengalihkan pembicaraan.

Saat ini kami sedang membuat video perjalanan asmara klien Hamzah, entah apa namanya. Lupa saya, yang jelas video itu memuat tentang awal mula mereka bertemu hingga akhirnya memutuskan untuk mengikat janji pernikahan.

Narasinya sudah ada, hasil dari diskusi saya dengan pihak yang bersangkutan. Sekarang hanya tinggal mengedit saja, menyatukan audio saya dengan potongan gambar dan video yang sebelumnya sudah Hamzah ambil.

"Dikira-kira saja, untuk durasi ikut hasil recording kamu," jawabnya.

Saya mengangguk dan memulai proses recording. Ruangan yang sepi dan kedap suara sangat penting saat proses recording berlangsung. Beruntung rumah ini memilliki ruangan khusus yang memang diperlukan untuk menunjang kegiatan tersebut.

Sedangkan dia lebih memilih untuk fokus pada pekerjaannya. Ruangan kerja Hamzah dibiarkan terbuka, bisa dibilang berada di antara kamarnya dan juga kamar Hanin. Dari segala sudut bisa terlihat, bahkan jika dilihat dari ruang keluarga, tempat tersebut ter-ekspos sangat jelas.

Semula tempat itu dijadikan perpustakaan terbuka yang diperuntukkan bagi Hanin, tapi saat ini menjadi tempat paling nyaman bagi Hamzah kala menuntaskan pekerjaan. Banyaknya buku yang terpajang seolah menjadi hiasan, dengan PC yang berada di tengah-tengah.

"Dengarkan dulu, kadang mulut juga suka typo," kata saya seraya menyerahkan hasilnya.

Dia menurut dan begitu serius mendengarkannya. "Sudah bagus, Tha."

"Orang-orang heboh sekali mempersiapkan pernikahan sampai menggelontorkan budget di luar nalar," cetus saya saat sudah duduk di kursi samping dia.

Ada Mama juga yang sedang menonton televisi di ruang keluarga, beliau memantau kegiatan kami. Memang selalu seperti itu, agar tidak terjadi sesuatu yang tak diinginkan.

"Nikah mewah sudah seperti tradisi dan menjadi sebuah keharusan. Hakikat pernikahan sederhana dikonotasikan sebagai pernikahan karena adanya sebuah kecelakaan," sahutnya.

"Benar juga sih, kalau ada yang nikah hanya di KUA selalu diterpa gosip-gosip miring, bahkan nikah dengan budget seadanya di rumah pun masih diomongin."

"Nikah besar-besaran juga masih sering diomongin tetangga. Enggak ada habisnya kalau menanggapi omongan orang lain," imbuh dia di tengah kegiatannya.

"Hade goreng jadi omong."

Saya menoleh pada saat mendengar Mama ikut larut dalam diskusi kami.

Kalau diartikan dalam bahasa Indonesia, baik buruk jadi pembahasan. Apa yang dikatakan beliau memang fakta nyata, sudah banyak contohnya.

"Lebih baik budget nikah ditekan seminimalis mungkin, uangnya bisa dialokasikan untuk hal-hal yang lebih bermanfaat untuk planning berumah tangga ke depan," ungkap Hamzah yang saya balas anggukan setuju.

"Enggak bisa gitu dong, Ham. Kalau rezekinya ada, sah-sah saja menggelar pernikahan mewah," ujar Mama tak setuju.

"Iya kalau ada, kalau nggak ada gimana? Jangan memaksakan keadaan hanya untuk membuat kagum para tetangga, Ma," sela dia.

"Enggak harus mewah sampai habisin uang ratusan juta, tapi seenggaknya bisa menggelar pernikahan yang layak untuk dikenang. Itu moment sekali seumur hidup lho, Ham," balasnya tak mau kalah.

"Layak menurut Mama itu mewah dan megah sebagaimana pernikahan Hanin. Digelar di gedung, pakai jasa WO ternama, hiburannya lengkap, wajib menggunakan adat Sunda, ngundang ribuan orang, dan lain sebagainya. Bukan pernikahan seperti itu yang Hamzah inginkan."

Saya mematung melihat perdebatan di antara mereka. Baru kali ini saya menyaksikan secara langsung Hamzah dan Mama beradu tegang.

"Kamu itu anak sulung, lelaki satu-satunya, wajar kalau Mama menginginkan pernikahan terbaik untuk kamu kelak, Ham. Salah memangnya?"

"Mama nggak salah, mindset Hamzah saja yang nggak sejalan dengan pemikiran Mama," tukas dia dengan suara rendah.

"Maaf, Tha, kalau kamu harus mendengar dan melihat sesuatu yang nggak seharusnya," kata Hamzah seraya melirik ke arah saya.

Saya mengangguk singkat sebagai respons. "Sudah sampai mana ngeditnya? Mau saya bantu?"

"Enggak usah, mending kamu temenin Mama ngobrol. Kalau sama saya kadang suka kurang nyambung, sinyalnya nggak ketemu," titah Hamzah yang saya balas anggukan.

"Mama lagi nonton apa?" tanya saya sedikit basa-basi untuk menghilangkan aura ketegangan yang sebelumnya menghinggapi.

"Televisi cuma jadi backsound supaya nggak sepi saja, Tha," sahut beliau.

Saya tersenyum tipis. "Ya sudah mending ngobrol sama Nitha."

"Di teras belakang yuk, butuh asupan udara segar," ajaknya.

Saya mengangguk setuju.

"Mama sama Hamzah memang kerapkali terlibat perdebatan panas, tapi ya hanya sebentar. Nanti juga akur lagi, kamu nggak usah tegang gitu. Mama jadi nggak enak," katanya saat kami sudah duduk di kursi anyaman bambu.

"Justru Nitha yang nggak enak, seharusnya Nitha nggak menyaksikan kejadian tadi. Mau bagaimanapun Nitha bukan siapa-siapa, hanya orang luar."

"Kamu sudah Mama anggap kayak anak sendiri, Tha. Enggak usah ngerasa nggak enak gitu."

Saya tersenyum samar, dianggap sebagai anak, Tha. Ingat, bukan menantu.

"Emangnya salah yah kalau Mama mau yang terbaik untuk Hamzah?" tanya beliau.

"Definisi terbaik setiap orang itu beda-beda, Ma. Terbaik menurut Mama belum tentu terbaik juga untuk A Hamzah, begitu pun sebaliknya. Di rumah Nitha juga sering kok adu mulut sama Mama, beda pendapat itu hal yang biasa."

"Mama minta Hamzah untuk kerja kantoran, jadi PNS atau kerja di BUMN agar bisa menjamin masa depannya. Tapi, Hamzah menolak dan bersikeras untuk menjadi fotografer, yang bahkan pada saat itu upahnya saja nggak seberapa. Kuliah sesuai jurusan yang dia mau, Mama izinkan meskipun belum sepenuhnya rida. Keinginan Mama dan keinginan Hamzah selalu bertentangan, dari kecil hingga beranjak SMA Hamzah mau menuruti segala keinginan Mama. Tapi, semenjak akan masuk perguruan tinggi, dia jadi mengabaikan Mama."

Standar sukses orang-orang yang hidup di perkampungan seperti saya memang PNS. Gaji yang setiap bulan teratur, tunjangan di hari tua yang sudah terjamin, menjadi impian hampir setiap orang tua. Seolah profesi itu yang paling mulia dan bisa menjamin masa tua.

Saya sudah tahu betul bagaimana kerasnya Mama pada Hamzah, terlebih dalam hal pendidikan dan juga karier. Standar yang beliau patok, sulit untuk Hamzah penuhi karena memang tidak sesuai dengan keinginan hati.

"Bukan abai, tapi lebih pada pola pikir A Hamzah yang sudah semakin berkembang. Dia sudah bisa memilih dan menentukan jalannya sendiri, beda sama dulu yang belum bisa mengambil keputusan karena faktor kedewasaan yang belum matang," tutur saya sehati-hati mungkin. Takut salah ucap, bisa bahaya.

"Mungkin benar apa yang dikatakan Hanin, Mama terlalu banyak mau, terlalu berambisi menuntut ini dan itu, ekspektasi yang Mama patok terlampau tinggi," katanya sendu.

Saya bingung harus merespons seperti apa. Rasanya tidak memiliki keberanian cukup untuk mengungkapkan argumen. Benar-benar kelu untuk menimpali.

⏮️◀️⏭️

Padalarang, 10 September 2023

Bab kali ini agak melow dan tegang 🤧 ... Peluk jauh Hamzah dan juga Mama Anggi 🤗☺️

Dukung selalu cerita Epilog Tanpa Prolog dalam Event GMG Branding Challenge 2023 ✨

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro