ETP | 12

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Banyaknya tuntutan, tingginya standar, malah membuat diri dirundung keresahan."

⏭️⏸️⏮️

USIA kerapkali menjadi patokan siap tidaknya seseorang untuk menikah. Standar bagi perempuan jika sudah menginjak angka kepala dua, pasti akan didesak untuk segera berakad.

Lain hal dengan lelaki, semakin matang usia malah semakin bagus katanya. Perempuan kerapkali dijuluki perawan tua, tapi laki-laki tidak pernah diberi judgement bujang tua.

Sedikit heran, tapi apa mau dikata itulah kenyataan.

"Tahun ini kamu 28 tahun, kan?" tanya saya.

Dia yang tengah menyesap kopi hitam menghentikan sejenak kegiatannya. "Memangnya kenapa?"

"Sudah tua ternyata."

"Umur itu hanya angka, Tha," kilahnya.

"Enggak ada keinginan untuk menikah?"

Dia mengernyitkan dahi. "Enggak ada angin, nggak ada hujan tiba-tiba bahas soal pernikahan. Apa saya nggak salah dengar?"

"Pertanyaan saya salah memangnya?"

"Ditanya malah balik nanya," protesnya.

"Kamu juga gitu. Enggak berkaca?"

"Saya belum kepikiran ke sana," jawabnya seperti tak ada minat sedikit pun.

"Kenapa?"

"Enggak papa."

Saya mendengkus kasar. "Kayak nggak ada jawaban lain saja. Dijelaskan bisa kali."

"Itu sudah sangat menjelaskan."

Saya pun tak berkomentar. Sedikit sebal dengan reaksi yang dia perlihatkan. Jauh dari ekspektasi.

"Memangnya kamu ada rencana untuk menikah dalam waktu dekat?" Dia malah bertanya balik.

"Enggak ada."

Dia manggut-manggut, lantas kembali menyesap kopinya.

"Bagaimana kelanjutan naskah kamu? Jadi diterbitkan ND Publisher?" selorohnya seperti mengalihkan pembicaraan.

"Insyaallah."

"Alhamdulillah."

Saya mengangguk dan mengaminkan.

"Dipta gimana, Tha?"

"Maksudnya?"

"Di mata kamu Dipta orangnya seperti apa?" jelasnya lebih detail.

"Baik."

"Hanya itu?"

Saya mengangguk singkat. "Saya baru mengenal Mas Dipta, ketemu juga baru tiga kali. Sejauh saya mengenalnya dia memang pribadi yang baik dan menyenangkan. Nyambung kalau diajak diskusi, mungkin karena dunia saya dan dia sedikit bersinggungan."

"Harus banget pakai 'Mas', Tha? Tiga kali? Setahu saya dua kali, waktu di kafe saat perkenalan, kedua saat saya jemput kamu di parkiran. Memangnya ada lagi?" komentarnya.

"Mas Dipta, kan usianya di atas saya. Wajar bukan kalau saya memanggilnya seperti itu? Ada yang salah?"

Saya memakan mendoan terlebih dahulu, lantas kembali berucap, "Memang tiga kali, pertemuan pertama saat kita bertemu bertiga, pertemuan kedua saat nggak sengaja ketemu di Gramedia, dan ketiga saat A Hamzah jemput saya."

"Kenapa nggak bilang saya kalau kamu ketemu Dipta di Gramedia? Se-spesial itukah Dipta sampai harus pakai 'Mas' segala?"

"Menangnya harus? Justru aneh kalau saya pakai kata Aa, berasa sok akrab banget. Kata 'Mas' terdengar lebih sopan dan formal. Kalau mau sebut 'Pak' malah takut menyinggung," jelas saya seadanya.

"Sejauh apa kamu mengenal Dipta?"

"Sebatas tahu kalau Mas Dipta itu seorang editor sekaligus owner ND Publisher, dan juga Co Executive Produser dari ND Production," jawab saya berterus terang.

"ND Production, rumah produksi yang berkantor pusat di Jakarta?"

Saya mengangguk singkat. "Iya, ND Production milik ayahnya Mas Dipta. Kalau ND Publisher milik Mas Dipta pribadi, makanya berkantor pusat di Bandung."

Dia geleng-geleng. "Saya kira Dipta hanya sebatas editor biasa, ternyata jauh lebih dari itu. Definisi orang kaya yang membumi dan rendah hati."

"Setuju."

"Saya dan Dipta satu angkatan, tapi hidup saya masih gini-gini saja. Enggak ada apa-apanya."

"A Hamzah baik-baik saja?" tanya saya, pasti ada sesuatu yang terjadi. Dia terlihat tidak seperti biasanya.

"Di saat teman seangkatan sudah sebar undangan, pamer kehamilan, gendong anak dan gandeng istri saat kondangan, sukses dalam hal pendidikan dan pekerjaan. Sedangkan saya tidak ada perubahan."

Saya terdiam sesaat, merasa tersentak dengan apa yang baru saja saya dengar. Dia bukan tipikal orang yang mudah membanding-bandingkan hidupnya dengan orang lain.

Tapi yang terjadi sekarang? Sungguh di luar dugaan.

"Semua orang ada masanya, kadar bahagia seseorang juga nggak dilihat dari sebanyak apa pencapaiannya. A Hamzah kenapa?"

Dia sedikit memaksakan diri untuk tersenyum. "Enggak papa, sedikit mengeluh bukankah hal yang manusiawi?"

Saya mengangguk. "Sangat amat wajar, mengeluh bukan bentuk kurangnya rasa syukur, tapi adakalanya memang kita merasa berada di titik terendah. It's okey."

"Hidup itu kadang lucu yah, Tha. Di saat kita mau sesuatu, malah ditentang, tapi di saat kita sudah nggak menginginkannya malah dipojokkan. Agak kocak memang!"

"Namanya juga hidup, nggak selalu berjalan sesuai dengan apa yang kita harapkan," sahut saya seadanya.

"Ada yang mau A Hamzah ceritakan?"

Dia tersenyum getir lantas menggeleng.

"Berbagi cerita memang nggak menyelesaikan masalah, tapi bisa sedikit menenangkan hati yang gundah. Kalau berat untuk cerita sama saya, kamu bisa cerita langsung sama Allah," saran saya sedikit tersenyum.

Dia melirik ke arah saya sekilas. "Mama minta saya untuk lanjut S2 dan meninggalkan hobi sekaligus pekerjaan saya sebagai fotografer. Ambisi beliau untuk menjadikan anaknya sebagai pekerja 'kantoran' begitu membara, sampai lupa kalau tuntutannya tidaklah membuat saya bahagia."

"Lanjut S2?"

Dia mengangguk. "Pendidikan saya haruslah lebih tinggi dari Ayah ataupun Mama, pekerjaan saya pun harus lebih baik dari mereka."

Saya mematung. Ternyata yang dikatakan Hanin benar, dia tertekan dengan banyaknya tuntutan. Saya kira semua baik-baik saja, ternyata saya yang tidak tahu apa-apa.

"Untuk menjadi pekerja kantoran tidak harus S2, saya rasa S1 pun lebih dari cukup."

"Gelar S1 saya sia-sia di mata mereka, tidak bernilai karena saya mengambil jurusan yang tidak mereka kehendaki," jawabnya.

Saya tidak bisa sedikit pun berkomentar, takut salah bicara dan malah semakin membuat dia kepikiran. Lebih baik menjadi pendengar yang baik, tanpa harus sok tahu memberi saran.

"Apakah standar sukses harus kerja kantoran, berseragam?"

Saya menggeleng pelan. "Kadar kesuksesan setiap orang itu beda-beda. Kita nggak bisa gampang menilai hanya karena dia kerja kantoran ataupun berseragam."

"Tapi mungkin di mata orang tua, itu suatu kebanggaan. Melihat anaknya berpakaian rapi saat berangkat kerja, ditempatkan di ruangan ber-AC, hari-harinya dihabiskan dengan menatap layar laptop dan bertemu orang-orang penting. Tapi itu bukan suatu keharusan, saya rasa standar sukses nggak selalu harus jadi pekerja kantoran."

Kadang kala ada orang tua yang menjadikan sang anak sebagai tameng untuk pamer. Basa-basi, kerja di mana? Sebagai apa? Gajinya berapa? Dan lain sebagainya. Semakin bonafit profesi sang anak, maka akan semakin merasa di atas angin pula.

Tapi, saya rasa Mama Anggi bukanlah tipikal orang tua seperti itu. Beliau memiliki ambisi besar agar sang putra memiliki kehidupan yang jauh lebih baik dan terjamin.

"Andaikan orang tua saya memiliki pemikiran serupa seperti kamu, Tha," sahutnya diiringi senyum getir.

"Orang tua itu kadang suka lupa menakar kemampuan, memiliki ambisi besar untuk menjadikan keturunannya jauh lebih baik. Tapi, mereka seolah menutup mata bahwa tidak semua keinginan bisa diwujudkan. Bahagia versi orang tua, berbeda dengan versi anaknya," ungkap saya sehati-hati mungkin dalam memilih kosakata.

"Saya butuh seseorang yang mampu menyeimbangkan kehidupan saya yang penuh akan tuntutan."

Saya menampilkan senyum tipis.

"Ternyata benar laki-laki akan diberatkan dengan dua pilihan. Mengejar karier dengan konsekuensi kehilangan cinta, atau memilih cinta dengan konsekuensi karier yang masih biasa saja. Keduanya memiliki risiko, tapi kasus yang saya alami ada di point pertama," cetusnya melirik sekilas ke arah saya.

"Maksud A Hamzah?"

Dia hanya tersenyum samar, lantas menandaskan kopinya.

⏮️⏸️⏭️

Padalarang, 12 September 2023

Dituntut untuk sempurna dan memujudkan cita-cita orang tua tidaklah mudah. Semangat para pejuang rupiah dan juga pejuang akad nikah.

Mau lanjut atau cukup?

Dukung selalu cerita Epilog Tanpa Prolog dalam Event GMG Branding Challenge 2023 ✨

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro