ETP | 17

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Niat hati ingin mengakhiri, tapi jalan takdir seolah tak meridai, dan malah menjerumuskan diri jauh lebih dalam lagi."

⏮️⏸️⏭️

JIKA orang lain memilih untuk mencurahkan isi hati dengan cara bercerita pada seseorang, saya lebih memilih untuk meluapkannya dalam wujud tulisan.

Semua rasa saya tumpahkan di sana, perasaan senang, sedih, marah, kecewa, bahkan putus asa. Menulis seolah menjadi pelampiasan, kepuasan akan datang kala semua itu sudah dituntaskan.

Sebuah terapi yang bisa meminimalisir hadirnya penyakit hati. Bait-bait kata diibaratkan seperti obat yang memabukkan, sekaligus membuat diri ini merasa jauh lebih tenang.

Laptop menjadi sahabat saya kala dirundung kepiluan, ada banyak cerita yang saya sembunyikan, terlebih ihwal kegamangan yang kerapkali menghantui. Termasuk ketidakjelasan yang saat ini tengah dialami.

"Di hadapan Mama saya terlihat balik-balik saja, seolah menikmati kegundahan. Namun, pada nyatanya tidak demikian. Selalu ada satu waktu di mana air mata saya tumpah secara tiba-tiba, tanpa sebab yang jelas sampai akhirnya isakan itu tenggelam dalam lelap."

Menatap langit-langit kamar menjadi pemandangan yang sangat sayang untuk dilewatkan. Meskipun terasa biasa, tapi setidaknya ada objek yang bisa saya ajak berbicara.

Meskipun hanya satu arah.

"Saya merasa tidak berhak untuk meminta kejelasan, karena nyatanya saya bukanlah siapa-siapa. Saya sadar betul bahwa diri ini sudah terlalu jauh melangkah dalam kekeliruan. Ya, saya sudah salah dalam memilih dan memutuskan sampai akhirnya saya harus terjebak seperti sekarang."

Tatapan saya begitu nyalang, menerobos masuk seolah tengah berbicara langsung pada sosok yang selalu membuat saya dirundung kegundahan.

"Bukan pernikahan yang saya inginkan, hanya sebatas ingin diberi kepastian. Menjalani HTS di usia saya sekarang benar-benar membingungkan, tidak ada hal yang mengasikan karena sesungguhnya ketegasan jauh lebih saya butuhkan."

"Saya hanya ingin mendengar satu kata yang terlontar dari bibirnya, cukup katakan iya atau tidak. Dengan begitu saya bisa mengambil sikap dan melanjutkan hidup saya dengan lebih terarah. Tidak lagi terombang-ambing dalam kebimbangan."

Allah seolah belum meridai, jawaban yang selama ini saya cari belum kunjung diberi. Seakan Dia lebih senang melihat saya dirundung kegelisahan. Saya sudah berpasrah, saya pun sudah berserah diri pada-Nya.

Namun apa yang saya lakukan belum kunjung membuahkan hasil. Ibadah yang saya jadikan sebagai perantara untuk lebih mendekat pada-Nya seolah sia-sia dan percuma. Entah harus berapa banyak lagi air mata dan panjatan doa agar Dia mendengar segala rintihan saya.

Perasaan menjadi ujian paling nyata seorang wanita, jika bukan agama yang menjadi pedoman, dia akan gila karenanya. Saya yang masih berusaha untuk tetap waras dan selalu melibatkan Allah dalam segala urusan saja, masih dibuat gila setengah mati dengan perasaan yang membingungkan ini.

Pantas banyak orang yang lebih memilih untuk mengakhiri hidup, karena ujian perasaan jauh lebih menyiksa. Bukan hanya otak dan pikiran yang terkuras, melainkan batin pun ikut serta.

"Kadang saya menyesali pertemuan yang terjadi, jika saja saya tidak bertemu dengannya mungkin saya akan baik-baik saja, bukan hanya sebatas 'terlihat' baik-baik saja."

Lelehan air mata tiba-tiba meluncur bebas. Hal biasa kala malam datang dan keheningan menyapa. Ternyata sakitnya masih sama, walaupun sudah cukup terbiasa.

Saya memiringkan tubuh, mengambil tasbih yang berada di atas nakas lantas memainkannya seraya berdzikir. Lantunan istighfar lebih sering saya gaungkan, karena hanya dengan itu saya bisa lebih merasa tenang.

Berharap saat terbangun nanti, saya merasa jauh lebih baik dari ini.

⏮️⏸️⏭️

Setumpuk halaman pertama novel menyambut pagi saya, ada sebanyak dua kardus yang harus saya tanda tangani hari ini. Sangat banyak, dan pasti akan membuat jari-jari saya pegal bukan kepalang.

Saya membongkarnya dan langsung mengeksekusi lembar demi lembarnya. Semakin cepat saya kerjakan, maka akan semakin cepat pula selesai. Sungguh sangat tidak sabar, melihat karya saya terpampang nyata di Gramedia dan sejumlah toko buku yang ada di Indonesia.

"Tha Mama ke toko dulu, kamu sibuk kayaknya hari ini."

Saya pun menghentikan kegiatan saya dan menoleh ke arah beliau. "Kalau semuanya selesai, Nitha akan susul Mama."

Mama hanya mengangguk sebagai respons. Lantas bergegas pergi setelah mengucapkan salam.

Atmosfir dari perdebatan sengit semalam ternyata masih sangat terasa. Saya cukup bisa bersandiwara dengan menampilkan mimik wajah biasa, tapi tidak dengan Mama yang terlihat masih tegang.

Sekarang saya merasa khawatir, takut apa yang semalam saya tuturkan melukai perasaan beliau. Sekalipun saya masih menggunakan kosakata yang sopan, tapi untuk intonasi suara, saya yakin naik satu atau dua oktaf.

Memilih untuk mengejar langkah Mama, saya rasa merupakan pilihan yang tepat. Saya hanya ingin memastikan bahwa beliau sampai di toko dengan selamat.

Gerakan tungkai saya tertahan saat mendapati Mama sedang berbincang dengan Hamzah. Ada keperluan apa dia menemui Mama di waktu sepagi ini?

"Zanithanya ke mana? Kok Mama malah jalan kaki."

"Lagi sibuk membubuhkan tanda tangan untuk novelnya," sahut Mama.

Dia terkekeh pelan. "Ya sudah, biar Hamzah antar Mama ke toko."

Kontan Mama memberi gelengan. "Mama nggak mau merepotkan Nak Hamzah. Mama juga nggak mau bergantung apalagi memanfaatkan kebaikan Nak Hamzah."

Saya mematung di balik pohon mangga mendengar ucapan Mama. Ternyata, apa yang saya katakan semalam tertanam apik dalam ingatannya.

"Kenapa Mama bicara seperti itu? Hamzah ada salah yah sama Mama?"

"Bukan Nak Hamzah yang salah, tapi Mama yang salah."

Dari lipatan kening Hamzah, bisa saya pastikan dia bingung dengan jawaban yang baru saja Mama berikan.

"Mama nggak bermaksud apa-apa sama Nak Hamzah, tapi Mama minta maaf kalau selama ini selalu merepotkan Nak Hamzah. Selalu merusuh dan mengganggu Nak Hamzah, padahal Mama tahu, Nak Hamzah punya banyak kesibukan."

"Mama kok ngomong kayak gitu? Hamzah sama sekali nggak merasa terbebani. Apa yang Mama katakan itu salah besar."

"Nak Hamzah mau ke mana? Pagi-pagi sudah di sini. Mau mampir ke rumah yah," ujar Mama seperti mengalihkan pembicaraan.

"Tadinya Hamzah mau menemui Zanitha, tapi telat karena malah ketemu Mama di sini. Nanti saja ketemunya, kalau ada Mama di rumah."

"Ada suatu hal penting yang ingin Nak Hamzah sampaikan?" seloroh Mama.

Dia tersenyum samar. "Bisa dibilang begitu, tapi lain waktu juga bisa. Enggak harus sekarang."

Mama terlihat manggut-manggut. "Kalau sekiranya mendesak Mama bisa putar balik, kita ke rumah lagi."

Sebuah gelengan dia berikan. "Nanti saja, lagi pula sekarang pun Hamzah nggak punya banyak waktu. Harus segera pergi ke tempat photoshoot, ada pemotretan."

"Makin sukses saja nih, bangga Mama sama Nak Hamzah. Punya hobi yang dibayar itu jauh lebih menyenangkan, daripada kerja di bawah telunjuk atasan."

Dia meringis kecil. "Aamiin, Ma."

"Kok lesu gitu jawabnya? Kenapa?"

"Enggak papa. Hamzah hanya lagi membayangkan kalau yang ngomong kayak gitu orang tua Hamzah sendiri, pasti bahagia sekali."

"Insyaallah cepat atau lambat keinginan Nak Hamzah akan terealisasi. Selisih paham dan beda pandangan antara anak dan orang tua itu biasa, malah Mama sama Zanitha pun sering kayak gitu."

"Sebagai orang tua, kita menginginkan yang terbaik untuk anak-anak, tapi kadang kita suka lupa untuk menakar. Sampai di mana batas kita untuk turut campur dalam kehidupannya. Mama juga masih belajar untuk bisa melakukan yang terbaik untuk Zanitha, bukan hanya baik di mata Mama saja, tapi bagi dia juga."

Mata saya mendadak panas dan mulai berembun. Perkataan beliau sangat amat menohok hati.

Memandang sesuatu memang tidak bisa hanya dari satu sudut pandang. Sebab, netra manusia memiliki keterbatasan, tidak bisa menjangkau semua bagian.

⏭️◀️⏮️

Padalarang, 17 September 2023

Dukung selalu cerita Epilog Tanpa Prolog dalam Event GMG Branding Challenge 2023 ✨

Lanjut nggak nih?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro